Lukisan Indah Lucien Favre di Borussia Dortmund

Foto: Tz.de

Prancis adalah negeri yang terkenal akan sentuhan seninya yang apik. Meski Lucien Favre tidak lahir di Prancis, melainkan di Swiss, goresan seninya begitu terasa dalam skuat Borussia Dortmund yang dia asuh saat ini.

Sekira awal 2010-an, yaitu pada musim 2010/2011 dan 2011/2012, Borussia Dortmund pernah merajai Bundesliga. Di bawah asuhan Juergen Klopp, yang kini menangani Liverpool, Dortmund datang menawarkan permainan baru yang lebih agresif, dinamis, dan menghibur bernama “gegenpressing”. Dengan skema seperti itu, Dortmund muncul sebagai kekuatan baru di Bundesliga.

Total, di bawah asuhan Klopp, Dortmund meraih lima gelar dalam rentang waktu 2010 sampai 2013, dengan rincian dua trofi Bundesliga, satu trofi DFB Pokal, dan dua trofi DFL Supercup. Klopp juga sukses mengantarkan Dortmund ke partai final Liga Champions musim 2012/2013, sebelum akhirnya takluk oleh Bayern Muenchen,

Maka, kepergian Klopp pada musim 2014/2015 menyisakan sebuah kehilangan bagi skuat berjuluk “Die Schwarzgelben” tersebut. Setelah Klopp pergi, pelatih-pelatih macam Thomas Tuchel, Peter Bosz, serta Peter Stoeger, gagal membawa Dortmund berbicara banyak lagi di ajang Bundesliga dan juga Eropa.

Musim 2018/2019, Lucien Favre direkrut oleh Dortmund dari Nice untuk membawa sebuah perubahan. Dari sinilah, goresan kanvas Favre di Lembah Ruhr pun dimulai.

Sentuhan Magis Lucien Favre

Sejauh ini, baik itu di ajang Bundesliga maupun Liga Champions, Borussia Dortmund mampu menampilkan permainan mengesankan. Di ajang Bundesliga, Dortmund mampu menorehkan 7 kali kemenangan dan 3 kali hasil imbang dari 10 laga, tanpa sekalipun tersentuh kekalahan.

Di ajang Liga Champions, Dortmund juga mencatatkan raihan yang tidak jauh berbeda. Dari tiga laga yang sudah dijalani di fase grup, ketiganya sukses dilalui Dortmund dengan kemenangan. Teraktual, mereka sukses mengalahkan Atletico Madrid dengan skor telak 4-0 di Westfalenstadion.

Berkat penampilan apik ini, Dortmund, sampai saat ini, sukses menjadi pemuncak klasemen Bundesliga dan juga Grup A Liga Champions musim 2018/2019. Kebangkitan pun sedang dirasakan oleh skuat Dortmund, setelah musim 2017/18 yang mengecewakan. Kebangkitan yang saat ini tengah dijalani Dortmund, tak lepas dari goresan tangan Favre.

Menurut Raphael Hoenigstein, Favre sempat dinilai tidak akan cocok dengan kultur Ruhr yang kental dengan kelas pekerjanya, karena Favre lahir di daerah pegunungan yang sepi di perbatasan Swiss dan Prancis bernama Saint-Barthelemy. Namun, Favre justru menjawab keraguan tersebut dengan sebuah bukti. Dortmund, dengan tangan seninya, diubah menjadi tim yang begitu sakti sejauh ini.

Skema Dortmund di Bawah Favre

Pada dasarnya, Favre menerapkan skema dasar 4-2-3-1 di tubuh Dortmund, skema yang tidak jauh beda dengan apa yang pernah Tuchel terapkan dulu. Namun, di sini Favre mengisinya dengan beberapa mikro taktik yang ciamik, dengan perubahan komposisi ketika bertahan, transisi, dan menyerang.

Saat bertahan, skema 4-2-3-1 dari Favre ini akan berubah menjadi 4-1-4-1, dengan salah satu gelandang bertahan yang naik sejajar dengan para pemain lini kedua yang turun. Soal tekanan, ketika bertahan Favre pun menerapkan hal ini, namun tidak sekalap Tuchel maupun Bosz. Di bawah asuhannya, para pemain Dortmund tahu kapan harus keluar menekan, dan kapan harus menjaga struktur pertahanan.

Dalam proses tekanan yang dilakukan, para pemain Dortmund biasanya baru akan menekan ketika pemain bertahan lawan tampak canggung dalam menguasai bola. Saat lawan mantap menguasai bola, mereka akan menekan dengan jarak sekira setengah sampai satu meter, untuk menutup opsi umpan dari lawan.

Skema bertahan yang berbeda diterapkan Favre ketika lawan sudah berhasil menerobos masuk ke lini pertahanan. Sembari mengikuti aliran bola yang dilakukan lawan, para pemain di lini pertahanan (lazimnya empat bek dan dua gelandang bertahan), akan tetap mempertahankan postur dan bentuk dari lini pertahanan itu sendiri. Inilah yang membuat lini pertahanan Dortmund sulit ditembus lawan.

Sedangkan untuk skema menyerang, Favre tidak hanya mengandalkan kreativitas dari para pemainnya saja. Sadar bahwa dia memiliki deretan pemain berkelas di lini serang, dia dengan leluasa menerapkan skema menyerang yang berbeda-beda di tiap pertandingan, tergantung lawan yang dihadapi.

Namun, pada dasarnya serangan Dortmund selalu dimulai dari bawah. Manuel Akanji maupun Dan-Axel Zagadou menjadi inisiator serangan dari lini pertahanan, dengan Axel Witsel selaku pendukungnya. Rekan Witsel di lini tengah, baik itu Thomas Delaney, Mahmoud Dahoud, maupun Julian Weigl, berperan sebagai distributor bola.

Bola yang dikirimkan dari tengah ini akan diolah sedemikian rupa oleh kuartet lini depan Dortmund, dengan sosok kunci bernama Marco Reus. Seperti halnya ketika diasuh Favre di Borussia Moenchengladbach, Favre menempatkan Reus di posisi gelandang serang, tepat di bawah penyerang, untuk memaksimalkan kualitas yang dimiliki oleh sang pemain.

Untuk kuartet di lini depan sendiri, tak ada pemain yang diam di posisinya, bahkan sosok Paco Alcacer yang menjadi penyerang tunggal di depan sekalipun. Kuartet penyerang Dortmund ini akan terus bergerak, ditopang oleh lini tengah sebagai penyalur bola dan para bek sayap yang menjadi pengawal di sisi sayap, untuk membongkar pertahanan lawan.

Cara inilah yang berhasil dilakukan oleh Dortmund untuk membongkar lini pertahanan Atletico yang dikenal padat, sekaligus membawa mereka sukses mencetak 43 gol sejauh ini, dengan total kebobolan yang hanya 13 gol saja. Hasil dari goresan Favre ini juga berdampak terhadap catatan individu pemain.

Reus sukses menorehkan 7 gol dan 4 asis di semua ajang pada musim ini. Alcacer juga mampu membukukan 8 gol, ditambah Sancho yang mampu menjadi salah satu pengepul asis terbanyak di Eropa musim ini dengan torehan 7 asis di semua ajang. Favre, dengan goresan kuas yang dia sapukan, sukses menciptakan sebuah lukisan indah di kanvas yang keras di Lembah Ruhr bernama Dortmund.

Rencana Lain Lucien Favre di Dortmund

Layaknya seperti seniman kebanyakan, Favre adalah sosok yang teliti akan segala detail yang ada. Dia selalu memiliki rencana lain, saat rencana utamanya gagal dilaksanakan. Dia juga paham betul kebiasaan dan kemampuan para pemainnya, sehingga dia paham bagaimana memaksimalkan kemampuan pemain yang dia miliki.

Dia juga tidak takut akan para pemain bertahannya yang masih muda. Walau dalam beberapa kesempatan, seperti ketika Dortmund ditahan imbang Hertha Berlin, para pemain mudanya melakukan kesalahan, Favre tidak khawatir. Pemahamannya yang baik akan kemampuan para pemainnya menghilangkan rasa khawatir yang dia miliki.

“Wajar jika pemain berbuat satu atau dua kesalahan di dalam pertandingan,” ujarnya.

Sekarang, di bawah deru mesin perusahaan-perusahaan yang berada di sekitar Lembah Ruhr, Favre, dengan ketenangan dan ketelitiannya, tetap meneruskan proses melukis yang sedang dia lakukan. Jika tidak ada gangguan yang menderanya, sudah terbayang dalam benak Favre bagaimana bentuk lukisan kelak yang akan selesai di akhir musim nanti.

Bentuk lukisan yang menggambarkan para pemain Dortmund sedang mengangkat trofi juara, itulah yang ada di benak Favre, untuk saat ini.