Tersingkir dari Liga A UEFA Nations League setelah hanya mencatat dua hasil imbang. Keok di fase grup Piala Dunia untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, Jerman memang butuh udara segar. Sejak penampilan mereka di Rusia, Joachim Low selaku nakhoda telah dikritik publik karena membawa pemain-pemain veteran ke Piala Dunia.
Mantan kapten Der Panzer, Michael Ballack, bahkan melempar kritik kepada Low. Menyebut mantan asisten Jurgen Klinsmann tersebut sudah terlalu lama menangani Jerman. “Ketika Anda berada di satu tim terlalu lama, terkandang apa yang dilakukan sudah tak memberi dampak yang sama,” kata Ballack kepada Deutsche Welle.
Perkataan Ballack itu ada benarnya. Arsenal dan Arsene Wenger juga pernah merasakan hal serupa. Namun, asosiasi sepakbola Jerman (DFB) tetap percaya kepada Low. “Kami sangat senang Low tetap bertahan di tim nasional,” ungkap Manajer Der Panzer, Oliver Bierhoff.
Low sendiri tahu bahwa keputusannya untuk memenuhi kontrak hingga Piala Dunia 2022 akan dipantau dengan seksama dan mendapatkan kritik. “Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada DFB karena masih mempercayakan pos ini. Terlepas dari kritik yang muncul, saya merasa mendapat dukungan dari DFB,” kata Low.
Tahun 2018 bukanlah hal yang menyenangkan untuk diingat oleh Jerman. Low pun ingin memulai 2019 dengan lembaran baru. Sayangnya, ia melakukan sebuah keputusan yang kontroversial di mata publik Jerman, terutama pendukung Bayern Munchen.
“Ini merupakan tahun yang baru dan kami ingin menjadikannya sebagai awalan bagi tim nasional Jerman. Kami membutuhkan ruang untuk pemain-pemain muda generasi masa depan Der Panzer,” buka Low.
“Saya rasa Thomas Muller, Mats Hummels, dan Jerome Boateng sudah cukup bermain bersama dan merasakan masa-masa kejayaan yang unik,” lanjutnya memastikan tiga pemain Bayern tersebut tidak akan membela Der Panzer selama dirinya masih melatih.
Muller secara terbuka mengungkapkan perasaannya tentang hal ini. Lewat rekaman yang ia unggah di Twitter, pencetus terminologi Raumdeuter tidak dapat menutupi rasa kecewanya kepada Joachim Low.
Meine Meinung ⚽️🇩🇪 #DFB #esmuellert #Nationalmannschaft pic.twitter.com/QJuKa4QbhP
— Thomas Müller (@esmuellert_) March 6, 2019
“Saya tahu tim nasional harus membuat keputusan. Namun hal ini membuat saya marah. Saya, Jerome [Boateng], dan Mats [Hummels] masih bisa bermain di level tertinggi dan selalu tampil 100% ketika dipanggil tim nasional,” begitu kira-kira ucapan Muller dalam rekamannya.
Bukan hanya Muller, CEO Bayern Karl-Heinz Rummenigge juga mempertanyakan keputusan Low. “Melihat waktu keputusan itu diambil, saya rasa apa yang mereka perbuat layak untuk dipertanyakan pemain dan publik,” kata Rummenigge.
Belajar dari Wenger dan Ferguson
Waktu pengambilan keputusan Low memang layak dipertanyakan. Muller, Hummels, dan Boateng, tengah merasakan masa-masa terbaik mereka musim ini. Mengangkat performa Bayern Munchen sampai masuk perbincangan untuk juara 1.Bundesliga lagi.
Bayern memang sudah seharusnya masuk ke dalam perbincangan juara 1.Bundesliga, Die Roten merupakan juara bertahan dalam enam musim terakhir (2013-2018). Namun musim 2018/2019 cukup berat untuk Bayern.
Mereka sempat duduk di peringkat enam klasemen sebelum akhirnya naik ke posisi dua dan menyamai poin Borussia Dortmund (54) di pekan ke-24. Hanya mencatatkan satu kekalahan sejak 24 November 2018, Muller, Hummels, dan Boateng layak untuk membela Jerman.
Ballack sudah mengatakannya, “Ketika Anda telalu lama menangani satu tim, apa yang dilakukan mungkin tidak memberikan dampak serupa”. Tapi saat pelatih itu memilih untuk bertahan, satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah merombak komposisi tim dengan wajah-wajah baru.
Hal ini pernah dilakukan Arsene Wenger di Arsenal. Ketika the Gunners mulai stagnan di peringkat empat klasemen Premier League, Wenger mengandalkan pemain-pemain muda untuk memberi gairah baru kepada Arsenal. Cesc Fabregas, Aaron Ramsey, Jack Wilshere, seketika menjadi andalan tim yang dipimpin William Gallas.
Sir Alex Ferguson juga pernah melakukan hal serupa di Manchester United. Setelah melihat Manchester United terdampar di papan tengah untuk dua musim beruntun (1989-1991), ia mulai memperkenalkan darah segar ke dalam tim Setan Merah. Mulai dari Ryan Giggs pada 1991, hingga Neville bersaudara di 1994/95.
Hasil dari perjudian ini tidaklah instan, tapi terbukti sukses. Manchester United meraih tiga piala dalam satu musim atau treble 1998/99. Sementara Arsenal sukses mengakhiri puasa gelar dengan Piala FA 2013/14 sebelum menduduki peringkat dua klasemen akhir liga dua musim kemudian.
Mencari Pengganti Muller
Jerman memiliki banyak bek muda yang layak diberi kesempatan untuk main di tim senior. Low tidak akan kesulitan mencari pengganti Hummels dan Boateng. Niklas Sule, Jonathan Tah, hingga Thilo Kehrer bisa dipanggil mengisi pos tersebut.
Masalah besar Low adalah menggantikan Muller. Membela Der Panzer sejak 2010, Muller bisa mengisi berbagai posisi sesuai kebutuhan pelatih. Ia beroperasi di sisi kanan Jerman saat ditangani Klinsmann. Kemudian pindah ke belakang penyerang saat diasuh Low.
Posisi apapun yang diisi Muller, ia memberi daya ledak dan mobilitas yang diperlukan untuk menghidupkan permainan. Jerman tak punya banyak pemain seperti Muller. Begitu langka talenta Muller, ia bahkan menyebut diri sendiri sebagai Raumdeuter.
Marco Reus dan Julian Brandt bisa menjadi opsi meski memiliki posisi yang berbeda dengan Muller, mereka memberikan daya ledak yang sama setiap kali merumput.
Tapi jika Low ingin memberikan ruang pada pemain muda, dua opsi lain adalah gelandang Bayer Leverkusen Kai Harvetz dan sayap Werder Bremen, Johannes Eggestein. Harvetz mencuat pada 2016. Ia adalah titik terang Bayer saat terlempar ke papan tengah liga.
Musim berganti, pelatih datang dan pergi, Harvetz tetap konsisten. Memasuki 2019, Harvetz sudah mencetak lima gol untuk Bayer dan mengangkat mereka ke zona Liga Europa. Baru mendapat 67 menit oleh Low dan dia jelas layak diberi kesempatan lebih.
Eggestein memiliki kasus berbeda. Pemain kelahiran May 1998 tersebut belum mampu mendobrak barisan reguler Werder Bremen yang menduduki papan tengah liga. Tapi Eggestein yang masih berusia 20 tahun memiliki potensi besar untuk jadi pemain hebat.
Memiliki status sebagai top-skorer liga junior dalam tiga musim beruntun (2013-2016), ia dapat menjadi opsi bagi Low yang kekurangan penyerang dalam beberapa tahun terakhir. Namanya bahkan sudah dikaitkan dengan berbagai kesebelasan tenar seperti Manchester United, Liverpool, dan Bayern. Jika ada waktu yang tepat untuk menguji segala ekspektasi pada dirinya, sekarang mungkin saat tepat bagi Low.