Southampton mengakhiri Premier League 2018/2019 di peringkat ke-16 klasemen dengan hanya keunggulan lima poin dari Cardiff yang menempati posisi tertinggi zona merah. The Saints sudah dua musim beruntun harus berjuang di papan bawah sejak kembali mewarnai Premier League pada 2012/2013.
Padahal saat masih diasuh Mauricio Pochettino, mereka termasuk salah satu kuda hitam di divisi tertinggi sepakbola Inggris. Tradisi itu dipertahankan oleh Ronald Koeman dan Claude Puel. Mauricio Pellegrino yang datang sebagai pengganti Puel gagal melanjutkan tradisi itu. Ia pun digantikan dengan Mark Hughes.
Penunjukkan Hughes sebelumnya dapat dilihat sebagai penurunan kualitas the Saints. Meski Pellegrino gagal di St.Mary’s setidaknya ia memiliki rekor yang cukup impresif bersama Alaves. Lolos ke final Copa del Rey 2016/2017 dan akhiri musim tersebut di 10 besar klasemen akhir.
Sementara Hughes yang sudah mulai karier manajerial sejak 1999 belum pernah memiliki catatan positif. Kesebelasan terbaik yang pernah ia tangani adalah Manchester City di era Thaksin Shinawatra. Sisanya, hanya Quenns Park Rangers, Fulham, dan Blackburn Rovers. Kesebelasan papan tengah ke bawah di Inggris.
Awalnya Hughes memang datang hanya untuk menyelamatkan Southampton dari zona degradasi. “Ini adalah proyek yang menarik. Saya mengenal baik kesebelasan ini. Tidak bisa menolak ketika tawaran itu datang. Tapi untuk saat ini fokusnya adalah memastikan Southampton tetap ada di Premier League,” kata Hughes.
Berhasil menjalankan tuganya, Hughes diberikan kontrak tiga tahun oleh Southampton. Terlepas dari rekornya di masa lalu yang kurang mengesankan. Perjudian the Saints itu akhirnya gagal. Meski menahan imbang Manchester United 2-2 di pekan ke-14, Hughes gagal mengangkat Southampton dari zona merah. Ia pun didepak dari St.Mary’s.
Beruntung Presiden Southampton Ralph Krueger sadar akan kesalahannya. “Southampton selalu dibentuk melalui identitas yang jelas. Kami selalu mengembangkan pemain-pemain yang datang ke sini. Entah itu dibeli dari klub lain atau produk akademi. Kita harus kembali ke jalur itu dan memaksimalkan potensi yang ada,” kata Krueger.
Hubungan Hasenhuttl dan Klopp
Foto: The Sun
Beruntung bagi Krueger, mantan kepala pelatih RB Leipzig, Ralph Hasenhuttl bersedia untuk meninggalkan jabatannya di Jerman dan terbang ke St.Mary’s. Hasenhuttl disebut sebagai ‘The Alpien Klopp’. Keduanya sama-sama memiliki kepribadian yang unik dan gaya bermain atraktif untuk tim mereka.
Hasenhuttl sendiri mengakui bahwa Klopp adalah inspirasi bagi dirinya. “Klopp merupakan pelatih yang berpengaruh untuk saya. Saya dijuluki ‘Alpien Klopp’ dan bagaimana saya bisa menjadi kepala pelatih seperti sekarang memang karena dirinya,” kata Hasenhuttl.
Klopp juga mengakui Hasenhuttl sebagai salah satu rekan seperjuangannya. “Sejak dirinya datang ke Southampton, mereka jadi memiliki gaya main yang jelas. Saya paham mengapa dirinya disebut ‘Alpien Klopp’. Kami sama-sama menerapkan tekanan yang luar biasa pada tim lawan, selalu teratur dan memiliki transisi cepat,” kata Kloop.
“Saya dan Hasenhuttl pernah mengambil lisensi kepelatihan bersama-sama dan memulai perjuangan kami di Jerman. Kami lama di sana. Ia telah membuat kesebelasan seperti RB Leipzig diperhitungkan. Hal serupa akan dilakukannya bersama Southampton,” lanjutnya.
“Saat Anda tidak harus memulai karier manajerial di kesebelasan seperti AC Milan. Memulai dari bawah. Hal itu membuat Anda selalu merasa sibuk serta ambisius,” puji Klopp kepada Hasenhuttl yang memulai karier manajerialnya di divisi tiga Jerman, Unterhaching.
Mengembalikan Mental Southampton
Foto: Read Southampton
Biasanya pergantian manajer akan memberikan dampak instan kepada performa sebuah tim. Paolo Di Canio di Sunderland atau Ole Gunnar Solksjaer dan Manchester United bisa jadi contohnya. Tapi hal itu tidak dirasakan The Saints bersama Hasenhuttl.
Ia kalah di pertandingan pertamanya sebagai manajer Southampton. Kalahnya dari Cardiff City yang juga berjuang menjauhi zona merah pula. The Saints turun satu anak tangga dari posisi 18 yang merupakan tempat mereka saat ditinggal Hughes.
Menelan tiga kekalahan dari lima pertandingan pertamanya, Hasenhuttl tak memulai karier di St.Mary’s dengan baik. Namun, perlahan tapi pasti the Saints berhasil meraih poin-poin krusial. Menahan imbang Chelsea tanpa gol, dan meraih kemenangan dari Wolverhampton, Everton, dan Tottenham Hotspurs.
Satu kunci yang diubah Hasenhuttl adalah mental para pemain Southampton. “Dia telah memperlakukan semua pemain dengan setara. Selalu bisa memenangkan kami saat ada kesalahan di atas lapangan dan bisa dipercaya ketika situasi sulit datang,” kata bek asal Polandia, Jan Bednarek.
“Hasilnya kami menjadi lebih bekerja keras dari sebelumnya. Saya sendiri sudah merasa menjadi pemain yang lebih baik,” lanjut Bednarek. Selain Bednarek, pemain Southampton yang sangat menunjukkan perubahan di atas lapangan adalah James Ward-Prowse.
Ward-Prowse sudah digadang-gadang menjadi pemain besar sejak lama. Ia bahkan pernah disandingkan dengan David Beckham. “Saat pertama saya datang, dia [Ward-Prowse] tidak banyak terlibat di tim. Tapi dirinya menunjukkan perubahan dan selalu bisa dipercaya,” puji Hasenhuttl.
“Saya senang melihat Ward-Prowse di bawah Hasenhuttl. Ia jadi seorang pekerja keras. Bisa mengitari lapangan lebih banyak dibanding pemain-pemin lain dan memiliki umpan-umpan akurat,” puji Jamie Redknapp yang juga pernah berseragam Southampton pada akhir kariernya.
Siap Melihat Warna Asli Southampton
Foto: Read Southampton
Ward-Prowse hanya satu contoh bagaimana Hasenhuttl bisa menghidupkan kembali potensi pemain di St.Mary’s. Terlepas dari rumor yang mengatakan Southampton akan dirombak dan berbelanja besar-besaran di 2019/2020, Hasenhuttl juga siap menggunakan akademi the Saints sebagai tulang punggung klub.
Sejak Hasenhuttl menangani the Saints, empat debutan sudah ia diberikan kesempatan di Premier League: Kayne Ramsey, Callum Slattery, Tyreke Johnson, dan Angus Gunn. Hal ini tidak dilakukan oleh Hughes. Tidak ada satupun pemain akademi the Saints yang diberikan kesempatan di Premier League oleh Hughes.
Padahal jika melihat sejarah Southampton, mereka adalah salah satu akademi terbaik di Inggris. Theo Walcott, Wayne Bridge, Matt Le Tessier, Kevin Phillips, Adam Lallana, Gareth Bale, Luke Shaw, terlalu banyak untuk disebut.
Saat di bawah Hughes, Southampton kehilangan karakter mereka. Ward-Prowse bahkan tak dimaksimalkan. Padahal Hughes memiliki tujuh pemain jebolan akademi tim asuhannya saat itu. Hal itu akan diubah oleh Hasenhuttl.
Mengingat pengalamannya di RB Leipzig, kesebelasan itu juga bukanlah tim yang senang berbelanja. Mereka memaksimalkan koneksi dengan kesebelasan RedBull lainnya dan fokus ke pengembangan pemain muda. Selama dua musim ditangani Hasenhuttl, RBL selalu jadi kesebelasan dengan skuad paling muda di 1.Bundesliga.
Pasalnya ia percaya, anak-anak muda itu bisa memberikan banyak hal kepada tim. “Tidak akan mungkin memenangkan Bundesliga dengan skuad U-23. Kita butuh pengalaman juga. Tapi anak-anak muda ini bisa membagi beban mereka. Kita bisa menang dengan tim ini,” kata Hasenhuttl saat masih menangani RBL.
Persepsi yang sama masih ia bawa di Southampton. Dirinya sangat senang melihat the Saints yang fokus pada akademi. “Para pemain muda hanya memiliki satu hal di pikiran mereka, menang! Itu adalah keuntungan bagi saya,” kata Hasenhuttl. “Anda akan melihat permainan yang sangat bergairah dari tim ini,” janjinya.