Terjun Bebas ala Sunderland

Sunderland harus terdegradasi ke Championship Division, setelah di akhir musim lalu menempati juru kunci. Ini adalah cambukan keras bagi kesebelasan yang bermarkas di Stadium of Light tersebut karena rival abadi mereka, Newcastle United, justru meraih tiket promosi ke Premier League. Ironisnya kini The Black Cats terjembab di zona merah, dan terancam degradasi. Sulitnya meraih poin di kandang menyebabkan kesebelasan yang berdiri pada 1879 ini berada di posisi ke-21, hanya berjarak satu angka dari zona merah, dan dua angka dari posisi juru kunci.

Hingga pekan ke-22, Sunderland cuma sekali menang di kandang. Catatan buruk ini sudah terjadi sejak musim lalu. Baru pada pekan ke-22 Sunderland berhasil menang atas Fulham dengna keunggulan tipis 1-0. Ini membuat dalam 2017, Sunderland telah mempekerjakan empat manajer: Sam Allardyce, David Moyes, Simon Grayson, dan yang terbaru mantan manajer Tim Nasional Wales, Chris Coleman.

Pasca degradasi, Sunderland langsung melakukan cuci gudang. Pemain yang dilepas the black cats, seperti Jermain Defoe, Jan Kirchhoff, Sebastian Larsson, Victor Anichebe, Joleon Lescott, dan Steven Pienaar, dilepas secara free transfers. Sementara itu, Jordan Pickford dan Vito Mannone, dijual dengan harga yang cukup tinggi.

Selain Jordan Pickford, Jermain Defoe, dan Vito Mannone, pemain lain dianggap tidak memiliki kontribusi cukup baik bagi Sunderland. Kebijakan untuk pemain yang didatangkan untuk mengganti pemain-pemain tersebut, merupakan sosok yang tidak asing di Championship Division. Ini mirip dengan yang dilakukan Newcastle musim lalu, yang membawa mereka promosi ke Premier League.

Nama-nama seperti James Vaughan, Jason Steele dan Aiden McGeady merupakan sosok yang sangat familiar dengan Championship Division. Pergantian di kursi manajer juga dilakukan klub. Simon Grayson ditunjuk untuk membawa Sunderland mengarungi Championship Division, dengan target membawa kembali Sunderland berlaga di tingkat tertinggi.

Sunderland awalnya membuka kompetisi dengan meyakinkan. Mereka berhasil mengalahkan Norwich City di kandang lawan. Namun, kesebelasan peraih dua Piala FA ini justru terjun bebas setelah tak meraih satu kemenangan pun dalam 15 pertandingan. Hingga pekan ke-18, Sunderland nyaman di pos juru kunci.

Setelah Greyson dipecat, perannya digantikan sementara oleh Stockdale, untuk digantikan kembali oleh Chris Coleman. Awalnya, Coleman pun tampil meyakinkan dengan menang tandang atas Burton Albion. Sialnya, The Black Cats justru kembali kalah di kandang melawan Reading.

Sulitnya Sunderland meraih kemenangan ditengarai karena buruknya lini pertahanan. Di era Grayson, formasi 4-4-2 dengan Bryan Oviedo-John O’Shea-Tyias Browning-Adam Matthews menjadi kuartet pertahanan. Sebetulnya duet bek tengah, John O’Shea-Browning bermain cukup apik, tertapi Bryan Oviedo yang sangat argresif dalam membantu serangan, seringkali terlambat kembali ke pertahanan. Ini membuat Lee Cattermole, harus mundur untuk menutup lubang yang ditinggalkan Oviedo. Celah inilah yang dimanfaatkan tim lawan. Data dari Squwaka menunjukkan 38 gol yang bersarang di gawang Sunderland, 14 di antaranya berasal dari serangan balik.

Penguasaan bola Sunderland juga terbilang buruk. Mereka umumnya mendapatkan 48 persen penguasaan bola. Ini tak lain karena barisan gelandang Sunderland yang lebih memilih menjaga kedalaman. Selain itu, Sunderland juga lebih memilih memberikan umpan direct atau langsung ke sayap dengan membiarkan Aiden McGeady berkreasi. Taktik ini terbaca meskipun efektif dalam serangan Sunderland. McGeady sendiri hingga pekan ke 22 tercatat sebagai pencetak gol terbanyak kedua Sunderland setelah Jamie Vaughan.

Namun dari semua faktor teknis tersebut, faktor non teknislah yang menjadi penyebab sulitnya Sunderland meraih kemenangan di kandang. Hilangnya kepercayaan suporter dan buruknya pengelolaan tim dianggap sebagai alasan utama.

Dalam tiga musim terakhir kapasitas stadion yang mencapai 48.707 kursi hanya terisi setengahnya. Para suporter seperti kehilangan kepercayaan pada tim. Bandingkan dengan Newcastle United misalnya di mana St. James Park selalu penuh terisi.

Suporter kecewa dengan pemilik klub, Ellis Short, yang sudah mengambil alih klub sejak 2008. Suporter merasa Short lebih berorientasi pada keuntungan finansial ketimbang kejayaan tim. Di bawah kepemimpinan Short, penampilan Sunderland pun terkesan fluktuatif. Pelatih datang dan pergi seperti tanpa dipikirkan dengan matang. Penjualan pemain bintang juga disesalkan oleh suporter.

Intervensi Short juga diakui Gus Poyet. Ia bahkan merasa tak didukung oleh manajemen. Padahal, ia ditimpakan semua masalah, baik itu teknis maupun non teknis.

Masalah lainnya adalah dewan klub yang dirasa tidak memberikan respons positif. CEO Sunderland, Martin Bain, misalnya, dikenal sebagai sosok yang pelit untuk hal dana transfer. Di era Greyson, budget transfer yang dianggarkan bahkan hanya 1.25 juta paun!

Suporter pun berang. Apalagi penjualan Pickford mencapai 26 juta paun. Bain sendiri berdalih bahwa kesehatan finansial-lah yang utama. Hal ini memang tak salah karena Sunderland merupakan kesebelasan yang neraca finansialnya surplis. Berdasarkan Brand Directory, Sunderland adalah kesebelasan dengan keuangan paling sehat ke-21.

Kini, bersama Chris Coleman, Sunderland diharapkan mampu setidaknya ke babak play-off Premier League. Ini merupakan target yang cukup berat. Namun, melihat perkembangan klub dan permainan yang membaik, bukan tidak mungkin penghuni Stadium of Light ini bisa kembali ke Premier League. Meskipun tentu sangat berat.