Masa kelam di era 1960-an dan awal 1980-an tengah menghantui tim nasional Belanda. Tim berjuluk De Oranje ini pernah gagal lolos ke Piala Dunia empat edisi berturut-turut sejak 1958. Jika ditotalkan dengan kegagalan mereka lolos ke Piala Eropa, maka ada enam edisi beruntun dari kedua kompetisi elit tersebut yang berlangsung tanpa kehadiran Belanda.
Untung saja, generasi emas era 1970-an, yang dipimpin Johan Cruyff dan Ruud Krol bisa memutusnya. Mereka pula yang mempopulerkan filosofi Totaal Voetbal di Piala Dunia 1974 dan Piala Dunia 1978, serta jadi runner-up berturut-turut.
Pada awal 1980-an, masa kelam itu sempat datang lagi, meski tak lama. Belanda gagal tampil di Piala Dunia 1982, Piala Eropa 1984, dan Piala Dunia 1986. Namun, generasi 1980-an dengan trio Marco van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard, plus Ronald Koeman menutupnya dengan trofi juara Piala Eropa 1988.
Itulah prestasi tertinggi Belanda dalam dua turnamen besar sepakbola dunia ini. Generasi emas itu berlanjut di era 1990-an, bersama De Boer bersaudara, Edwin van der Sar, Edgar Davids, Clarence Seedorf, Patrick Kluivert dan Dennis Bergkamp, yang diorbitkan Louis van Gaal.
Tongkat estafet kemudian dipegang oleh generasi 2000-an, di awali oleh Ruud van Nistelrooy dan Giovanni van Bronckhorst, yang dua kali berturut-turut menembus semifinal Piala Eropa 2000 dan Piala Eropa 2004.
Kemudian, dilanjutkan oleh generasi Robin van Persie, Rafael van der Vaart, Arjen Robben, Klaas-Jan Huntelaar, dan Wesley Sneijder yang memastikan Belanda tak pernah lagi gagal lolos ke Piala Dunia sejak edisi 2006 di Jerman. Bahkan, pada Piala Dunia 2010 mereka kembali jadi runner-up, dan finish sebagai peringkat ketiga di Piala Dunia 2014 lalu. Itulah prestasi terakhir mereka.
Kini, masa kelam itu kembali menghantui. Setelah gagal ke Piala Eropa 2016, pekan lalu Belanda pun telah memastikan tak bisa ikut ke Piala Dunia 2018. Anak-anak asuh Dick Advocaat terpaksa harus puas mengakhiri kualifikasi zona Eropa di peringkat ketiga Grup A, di bawah Prancis dan Swedia.
Meski tertinggal empat poin dari pemuncak klasemen, namun jumlah poin Belanda sebenarnya sama dengan Swedia, 19 poin hasil dari enam kali menang, sekali imbang, dan tiga kali kalah. Namun jumlah selisih gol yang hanya sembilan mereka kalah jauh dari sang lawan dengan selisih 17 gol.
“Kenyataan ini menyakitkan dan inilah adalah bagian dari dunia olahraga. Anda menang dan Anda kalah, Anda lolos dan Anda tersingkir,” ungkap Robben pekan lalu, seperti dikutip ONS.
Ketika itu, kemungkinan Belanda lolos ke Piala Dunia 2018 sudah semakin mustahil, meskipun mereka masih menyisakan satu lagi terakhir menjamu Swedia, Senin (9/10/2017) waktu setempat. Mereka harus menang 7-0 atas tim tamu jika ingin lolos, sebuah hal yang sangat mustahil. Hasilnya, Belanda hanya bisa menang 2-0, dan Robben sendiri yang memborong kedua gol itu. Kemenangan yang sia-sia.
Belanda terpuruk. Robben yang memutuskan pensiun usai laga tersebut, berdiri sendiri di tengah lapangan setelah pertandingan. Setelah melihat sekeliling stadion yang dipenuhi ribuan penonton, dia pun menatap rekan setimnya satu persatu. Tidak ada lagi Van Persie, Van der Vaart, Huntelaar, ataupun Sneijder. Skuat Belanda saat ini memang telah kehilangan generasi emas. Robben adalah satu-satunya pemain kelas dunia yang dimiliki Advocaat, dan faktanya dengan hanya memiliki satu pemain dunia saja memang sama sekali tidak cukup untuk membawa Belanda ke Piala Dunia 2018.
“Kami berada dalam sebuah fase di mana kami tidak memiliki pemain-pemain top. Pemain-pemain top makin tua dan pemain-pemain muda pada dasarnya terlalu untuk mengisi celah,” ungkap Ronald de Boer berpendapat, dilansir Goal Internasional.
Sepertinya memang benar, regenasi tim nasional Belanda seolah terputus. Namun, De Boer tetap yakin negerinya masih punya banyak pemain muda bertalenta besar, meskipun diakuinya memang belum berkembang. “Kami memiliki banyak pemain-pemain bertalenta, namun mereka belum sampai di masanya,” tambah pemain dengan 67 caps itu.
Pada kenyataannya, permasalahan Belanda ternyata tidak hanya sesederhana itu. “Kami kehilangan identitas. Identitas kami adalah selalu memiliki organisasi yang bagus dari permainan menyerang. Sekarang, jika kami melakukan itu, kami justru kebobolan terlalu banyak gol,” kata Martin Jol pula, mantan pelatih klub raksasa Negeri Kincir Angin, Ajax Amsterdam.
Sebenarnya hingga kini tim-tim Eredvisie Belanda masih tetap mempertahankan formasi sama, 4-3-3 ala Totaal Voetbal. Namun, sepertinya para pemain muda belum mampu menafsirkan filosofinya dengan benar saat di lapangan.