Dalam mengukur kesengitan rivalitas tim Big Six Premier League, penting pula memerhatikan rekor pertemuan di antara keenamnya sejak musim 2016-17 sampai 2018-19. Setidaknya, Manchester City, Liverpool, Chelsea, Tottenham Hotspur, Manchester United, dan Arsenal mesti saling bersua enam kali (kandang-tandang) untuk laga liga.
Ajang lain yang lazim mempertemukan mereka antara lain, Piala FA, Piala Liga, dan Community Shield. Tentu tidak diabaikan kompetisi Eropa, yakni Liga Champions dan Europa League yang musim lalu menjadi titik kulminasi era Big Six yang sengit.
Perhitungan hasil perjumpaan (head-to-head) perlu dilakukan. Barang kali, City yang juara Premier League dua tahun beruntun sering raih hasil memble saat bertemu lima tim papan atas lainnya. Siapa tahu juga, Manchester United era Jose Mourinho (plus Ole Gunnar Solksjaer) sebenarnyaa cukup bertaji dengan taktik defensif yang semakin keras kepala saat dihadapi pertandingan besar.
Berikut ulasan lengkapnya:
Satu Minor City
Ternyata, City memang masih dominan untuk rekor pertemuan. Namun tidak untuk perjumpaan dengan Liverpool. Dalam delapan laga yang tersaji, The Cityzens tersungkur empat kali dan hanya sanggup unggul dua partai. Satu pertandingan yang mereka menangi cukup berkesan, karena skornya telak 5-0 pada pertemuan pertama Liga Inggris (9/9/2017). Apalagi ketika itu berhias adegan sepakan tinggi Sadio Mane yang telak mendarat di wajah Ederson Moraes.
City selalu bisa menepuk dada saat berhadapan di wajah empat tim lain. Chelsea sempat digasak 6-0 di liga musim lalu, pernah meremukredamkan Spurs 4-1 pada Desember 2017, dua kemenangan di Old Trafford, dan hanya sekali kecolongan laga dari Arsenal yang setidaknya mereka bobol dua kali dalam setiap delapan pertandingan.
Liverpool Terbaik dalam Urusan Ini
Tidak ada yang mampu menandingi capaian Liverpool kalau urusan hasil perjumpaan di antara klub Big Six. Bahkan, seperti yang dipaparkan di atas, untuk City sekalipun. Ingat bagaimana Pep Guardiola memainkan sepak bola negatif lewat penguasaan bola yang bosan minta ampun di Anfield musim lalu?
Guardiola melakukannya setelah menilik betapa produktif dan alergi kekalahan Liverpool di Anfield selepas dipugar. Apalagi, musim sebelumnya mereka keok 3-0 pada pertemuan pertama perempat final Liga Champions di stadion tersebut. Liverpool mampu menjinakkan medan yang masih menjadi cela dalam era Guardiola di langit biru Manchester: Kejayaan Liga Champions.
Rekor atas Chelsea, bisa dibilang imbang. Dua kali menang, tiga kali seri, dua kali kalah. Skornya pun tipis, karena hanya pada laga liga kedua musim lalu, ada selisih kemenangan di atas satu gol (2-0).
Hasil imbang lainnya juga tertangkap pada duel Derby of England. Entah terlalu dipenuhi kadar gengsi yang membuat tegang, masing-masing tim hanya sekali menang. Empat kali seri cukup menegaskan kalau permainan menekan dan berkecepatan tinggi Liverpool masuk ke dalam agenda bertahan MU yang masih ditukangi Mourinho. Semua laga mereka berlangung di liga, tidak pernah jumpa di kejuaran lain.
Perjumpaan dengan Tottenham tidak perlu banyak dijelaskan, karena final Liga Champions cukup merangkum segalanya yang begitu membanggakan The Reds. Apalagi Arsenal yang mereka telan bulat-bulat nyaris di seluruh pertandingan.
Visi Trofi Chelsea
Untuk urusan perjumpaan melawan klub Big Six lain, Chelsea paling sering. The Blues sampai 11 kali menghadapi Arsenal. Dari Piala FA, Piala Liga, Community Shield, sampai final Europa League mereka saling bersua.
Tiada seri saat N’Golo Kante berhadapan dengan Tottenham. Manchester United mampu mereka atasi, kecuali pada setahun era Maurizio Sarri. Sedangkan perjumpaan dengan City justru menghasilkan ingatan tentang Kepa Arrizabalaga yang cedera dan tidak mau diganti.
Untung ada tiga trofi.
Tottenham Lumayan
Lewat tiga kemenangan dalam tujuh pertemuan terakhir, London Utara sepenuhnya putih dalam tiga tahun terakhir. Rival mereka, Arsenal selalu dikangkangi di klasemen pada periode ini.
Bicara Tottenham jelas tidak bisa mencerabut konteks kondisi mereka sebelum Mauricio Pochettino datang. Oke, mereka belum seutuhnya tangguh saat diterjang City, Liverpool, MU, dan Chelsea pada banyak pertemuan.
Namun siapa pula yang mampu mengesampingkan mereka yang menyingkirkan City musim lalu? Liverpool pernah diterkam 4-1 sekaligus membuktikan Dejan Lovren hanya seorang badut. Dua pertandingan liga di tahun 2018, Chelsea digulung dengan skor identik 3-1. Liywhites tidak lagi canggung pulang membawa tiga angka dari Old Trafford, seperti pada musim lalu.
Negatif United
Bukti sepak bola negatif MU yang tiga tahun ke belakang banyak dikomandoi Jose Mourinho, terlihat benar dalam selisih gol yang kebanyakan minus mereka saat berjumpa anggota Big Six. Cuma kepada Arsenal selisih gol mereka bisa plus, itupun sebutir gol saja.
Kerennya, lewat hasil perjumpaan bisa ditangkap MU sebenarnya punya hasil bagus. Tampak betul MU menjaga harkat martabat di hadapan tim besar. Toh, mereka memang pemilik gelar Premier League terbanyak.
Spurs yang finis di atas mereka, mereka banyak tundukkan. Apalagi Arsenal. Liverpool, sering masuk ke dalam rencana permainan mereka. Bayangkan, David De Gea hanya kebobolan lima gol meskipun lini depan juga menjaringkan empat gol belaka.
Chelsea memang unggul dalam jumlah kemenangan, tapi musim lalu The Red Devils sukses menyingkirkan Chelsea dari Piala FA. Menggagalkan ambisi mempertahankan gelar tim milik Roman Abramovich.
Sayang, warna kota Manchester masih biru muda dengan hanya ada selingan warna merah menyeruak.
Miris, Tragis, Arsenal
Segalanya berjalan dari buruk menjadi lebih buruk bagi Arsenal sepanjang tiga musim ini. Sudah terhuyung-huyung di papan klasemen, Arsenal juga tidak sanggup berbicara banyak saat berjumpa rival-rival utama. Rekor perjumpaan mereka hanya menambah derita tanpa banyak jeda bahagia.
Lawan Liverpool, mereka remuk redam tanpa sekalipun menang. Bayangkan, hanya The Gunners yang kebobolan 20 kali di antara mereka. Bertanding ke Anfield dalam tiga musim terakhir, jumlah ke bobolan meningkat dari 3,4, sampai 5. Ibarat anak kecil menyebutkan angka, perlahan tapi pasti bertambah.
Sementara lawan City, pernah ada dua laga sekaligus yang berlangsung berdekatan (final Piala Liga dan Premier League), Mesut Oezil, cs. dibabat 3-0. Untung masih sempat sekali menang. Momennya pun menyenangkan, yakni saat menang 2-1 di semifinal Piala FA 2016-17. Momen kunci yang sedikit banyak menentukan mereka keluar sebagai juara turnamen.
Sebetulnya, rekor melawan Chelsea bisa dibanggakan. Mengingat betapa digdayanya Chelsea era Abramovich setiap kali jumpa Arsenal. Lewat lesatan Didier Drogba yang entah bagaimana dilanjutkan Eden Hazard, selama ini Chelsea menjadi momok. Mereka unggul lima kali, termasuk final Piala FA 2016-17 dan Community Shield 2017 via adu penalti.
Sayang, kekalahan final di Europa League terlahit pahit di lidah, pengar di kepala, dan begitu mengguncang Lucas Torreira. Paling beruntung dari kisah persaingan ini, justru Olivier Giroud. Dia yang menjalani separuh bersama Arsenal dan separuhnya bersama Chelsea, paling sering menyicip kemenangan. Maka tidak heran dia mengucapkan “Thank You Arsenal!” saat mencium trofi Europa League.
Seandainya Pierre-Emerick Aubameyang sukses menuntaskan penalti di menit terakhir pada Derbi London Utara musim lalu, rekor Arsenal versus Tottenham bisa agak lumayan. Namun memang langit kawasan tersebut kadung berwarna putih. Bisa menyuntikkan penenang, seperti persaingan dengan MU yang mereka tundukkan 2-0 di pertemuan terakhir.
Epilog
Rivalitas keenamnya terus berlanjut musim depan. Diawali Manchester City versus Liverpool di ajang Community Shield, lalu Liverpool jumpa Chelsea di Piala Super Eropa. Bahkan laga pembuka Premier League pun mempertemukan MU dengan Chelsea.
Ah, betapa asyik kita menikmati era Big Six!
Sumber: 11vs11, Premier League