Resep Keberhasilan Mikel Arteta di Arsenal  

Terlepas dari terdepaknya Arsenal dari ajang Europa League, pekerjaan sang pelatih kepala Mikel Arteta patut mendapat pujian. The Gunners  masih memagang rekor cukup mengagumkan yakni tak terkalahkan di ajang Premier League kalender tahun 2020. Sebanyak 14 laga dari semua ajang mampu dimenangi sebanyak 7 menang, 5 imbang, dan 2 kekalahan.

Arteta memulai kiprahnya sebagai pelatih kepala di Arsenal pada laga tandang Boxing Day, 26 Desember 2019. Kegagalan pelatih sebelumnya, Unai Emery sempat memunculkan nama-nama top untuk mengisi kursi panas Emirates Stadium. Namun akhirnya eks asisten Pep Guardiola di Manchester City inilah yang akhirnya mendapatkan pekerjaan menjadi pelatih kepala.

Sempat muncul keraguan akan kompetensi dari pria yang nyaris memperkuat timnas Inggris di Piala Dunia 2010 ini. Lalu sebenarnya, apa saja yang sudah dilakukan Arteta hingga Arsenal mendapatkan kestabilan dibawah arahannya sepeninggal Emery?

Pembenahan Lini Belakang dan Revolusi Peran Pemain

Saat berada dibawah arahan Unai Emery, lini belakang adalah hal yang kerap disoroti sebagai kelemahan Arsenal. Bahkan sebagai solusi praktis, jajaran manajemen harus merogoh kocek 8 juta paun untuk mendatangkan seorang David Luiz dari Chelsea serta Kieran Tierney dari Celtic seharga 25 juta paun.

Rupanya datangnya Luiz dan Tierney bukanlah solusi. Luiz tampil tidak sesuai harapan, sedangkan Tierney terkena cedera bahu yang memaksanya absen sangat panjang. Catatan kebobolan yang bahkan berujung kekalahan adalah santapan makan malam bagi Arsenal. Bahkan beberapa kekalahan terbilang memalukan bagi tim sekelas Arsenal. Misalnya kekalahan 1-2 atas Sheffield United di bulan Oktober yang menjadi tonggak bagi Arsenal mengalami 7 laga beruntun tanpa kemenangan sejak akhir Oktober hingga akhir Desember. Parahnya lagi, 2 laga diantaranya Arsenal kalah 0-2 dari Leicester City juga kekalahan 1-2 dari Brighton di stadion Emirates.

Berangkat dari kegagalan Emery di paruh musim pertama, Arteta lalu melakukan beberapa perubahan. Diantaranya yaitu memakai peran Inverted Wing Back di sektor kanan. Dalam skema ini, ketika Arsenal melakukan serangan, Arteta menginstruksikan bek sayap kanan mereka untuk bergerak ke posisi gelandang bertahan (DMF) ketimbang melakukan overlapping ke area flank.

Kosongnya sektor kanan akan diisi oleh pemain center back paling kanan yang bergeser. Secara taktik, apa yang dilakukan Arteta ini membuat formasi dasar 4-2-3-1 akan berubah menjadi 3-2-3-2 ketika melakukan buildup play.

Hal yang paling esensial lainnya adalah perubahan peran bek kiri mereka. Arteta memberi keleluasaan bagi pemain bek kiri mereka melakukan overlapping sangat tinggi untuk memberi supply kepada striker sisi kiri. Kosongnya sektor bek kiri ini nantinya akan diisi oleh gelandang bertahan yang biasa diisi Granit Xhaka. Sehinga secara teknis, peran Xhaka dibawah Arteta adalah menjadi pemain belakang atau bek.

Winger muda potensial mereka, Bukayo Saka secara mengejutkan diplot Arteta untuk menjalankan tugas ini. Alasannya, Saka yang memiliki kecepatan dan kemampuan untuk melakukan penetrasi ke area pertahanan lawan dan mendukung Pierre Emerick Aubameyang yang biasa bermain di sisi kiri pula. Perubahan revolusioner pada sektor kiri Arsenal ini secara taktik akan menyulitkan pemain sayap lawan: Apakah ia harus melakukan pressing terhadap bek sayap yang naik (Saka) atau bek yang berada di sisi kiri (Xhaka).

Contoh riil ini diperagakan ketika laga Arsenal kontra Manchester United yang berkesudahan kemenangan Gunners 2-0. Kombinasi “segitiga” antara Saka, Ozil, serta Aubameyang terbukti menjadi ancaman serius bagi gelandang sayap serta bek sayap MU.

Menumpuknya pemain di sektor kiri Arsenal juga secara taktik akan memberikan ruang bagi pemain yang berada di sayap kanan. Keunggulan pace yang dimiliki pemain-pemain muda Arsenal seakan menjadi momok bagi lini belakang lawan. Tak hanya Xhaka dan Saka, gelandang serang muda, Ainsley Maitland Niles juga dibaptis Arteta menjadi seorang bek sayap inverted.

Filosofi Berbeda Ditawarkan Arteta

Tak hanya perubahan peran di sektor pemain, Arteta juga memperjelas filosofi bermainnya. Sebagai pelatih, Arteta yang selama 3 tahun menjadi “murid” seorang Pep Guardiola juga membawa filosofi serupa: Bermain ekspresif dan menghibur. Seperti yang ia ungkapkan saat awal penunjukannya.

“Filosofi saya sangat jelas. Saya ingin sepakbola saya dimainkan secara ekspresif dan menghibur. Saya tidak bisa memiliki filosofi yang bergantung kepada penguasaan bola lawan,” ujar pria 37 tahun tersebut, seperti dikutip laman resmi Arsenal FC.

Berkembangnya tren highpressing football tak mempengaruhi Arteta untuk melakukan hal serupa. Alih-alih memaksakan para pemainnya melakukan permainan pressing ketat, ia sadar dengan minimnya adaptasi taktik. Kelemahan fisik serta kurang mumpuninya kemampuan pemain dalam situasi tanpa bola membuat Arteta menerapkan moderate pressing ketimbang high-pressing.

Ini juga yang membuat Arsenal dibawah kepelatihan Arteta bermain dengan struktur yang cenderung rigid (kaku) atau mempertahankan bentuk formasi ketika mendapat serangan. Sehingga bentuk formasi 3-2-3-2 akan berubah menjadi 2-3-5 ketika melakukan build up play dan 4-4-2 rigid ketika para pemain Arsenal mendapatkan tekanan dan berada posisi setengah lapangan.

(Atas: formasi ketika melakukan serangan; bawah: bentuk formasi ketika mendapat serangan)

Singkatnya, dalam strategi yang diterapkan Arteta, Arsenal meminimalisir transisi besar-besaran. Struktur pertahanan Arsenal tak berubah terlalu banyak ketika menyerang dan memiliki lebih banyak orang ketika melakukan serangan.

Peningkatan Individu Pemain Adalah “PR” Terbesar  Bagi Arteta

Terlepas dari keberhasilannya mengembalikan performa Arsenal yang mulai stabil, namun kurang sreg jika tak membicarakan nama seorang Mesut Özil. Gelandang yang ditebus 50 juta paun dari Real Madrid ini digadang-gadang akan membawa Arsenal ke masa kejayaan. Mulai dari era Wenger hingga Emery. Namun, tak satupun dari pelatih top tersebut dapat memoles Özil ke potensi terbaiknya.

Di bawah asuhan Arteta, peran Özil “dikembalikan” ke posisi terbaiknya yakni sebagai pengatur serangan. Alih-alih dimainkan di posisi lebih melebar, ia mendapat tugas mulia: Membangun fase buildup serangan dan menjadi penghubung antara pemain gelandang dengan para penyerang. Tak hanya itu, Özil juga akan bertindak untuk mencari celah antar lini.

Namun hingga kini performa Özil masih jauh dibawah harapan. Berdasarkan data whoscored, Özil hanya meraih rataan performa 6,6 dari total 9 laga terakhir yang dijalani. Ia hanya mencetak 1 gol dan belum mencetak asis sejak era Arteta.

Selain itu, persoalan inkonsistensi dalam hal starting XI belum mendapatkan solusi. Arteta terbukti kerap bereksperimen dengan memainkan starter yang berbeda-beda. Di ajang Premier League misalnya, Arteta masih mencari pasangan cocok bagi Granit Xhaka; kadang Torreira, kadang juga Guendouzi, meskipun pada laga kontra Everton (23/2), Arteta menduetkan Ceballos dengan Xhaka.

Di lini belakang, inkonsistensi ini juga sangat terasa. Meskipun dalam 6 laga awal Arsenal era Arteta, Ainsley Maitland-Niles diplot sebagai bek kanan, sang manajer kemudian goyah dengan menurunkan Hector Bellerin di laga kontra Chelsea (21/1) dan 4 laga EPL berikutnya. Malah, bek tengah Sokratis Papasthathopoulos dimainkan sebagai bek kanan ketika Arsenal disingkirkan Olympiakos 1-2 di ajang Europa League. Dan, akhirnya AMN diturunkan kembali kala Arsenal mengalahkan Portsmouth 2-0 di ajang Piala FA (2/3). Lain halnya dengan Bukayo Saka yang konsisten tampil di 9 dari total 14 laga yang telah dijalani Arsenal masa kepemimpinan Arteta.

Masalah performa juga dikeluhkan oleh Arteta langsung kepada Maitland-Niles, menurutnya Niles perlu lebih bekerja keras jika ingin mendapatkan tempat reguler. Hal ini membuktikan bahwa apa yang ditampilkan oleh Mikel Arteta masih jauh dari keinginannya.

Bisa jadi, performa The Gunners di bawah asuhan Mikel Arteta merupakan bentuk “teaser” dari bentuk permainan Arsenal di musim depan. Paling tidak, ada sebuah sistem yang memiliki arah dan hasil yang terbukti efektif. Hal ini juga bisa dimaknai bahwa pemain-pemain yang tak cocok dengan sistem Arteta harus siap-siap angkat kaki dari Emirates di akhir musim nanti.