Serigala Muda Leicester City Siap Mengaum Keras

Foto: Give Me Sports

Sekalipun baru tiga tahun lalu menjadi juara Premier League, seperti biasa Leicester City tidak diunggulkan dalam perbuatan posisi puncak. Leicester tetap dipandang sebagai tim papan tengah yang targetnya secepat mungkin memastikan diri tidak terdegradasi, berharap bisa lolos ke kompetisi Eropa musim depan, memberi beberapa perlawanan mengejutkan ke tim elite, sampai akhirnya lega juga bisa bertahan di papan tengah.

Sementara, kejutan besar mereka di musim kompetisi 2015/2016 masih dipandang sebagai suatu kebetulan yang hanya terjadi sekali dalam puluhan tahun. Tidak ada lagi hal semacam itu di tengah era sepakbola yang sangat ditentukan kekuatan finansial untuk mendompleng prestasi. Layakkah pandangan demikian? Naifkah seseorang meyakini klub semacam Leicester tetap pantas diunggulkan di bursa juara, karena kejadiannya pun belum lama berlalu?

Leicester finis di posisi ke-12 dan dua kali beruntun menempati posisi kesembilan dalam tiga musim terakhir. Dalam rentang tahun saja, The Foxes memecat tiga pelatih pasca menjungkalkan rasio 1:5.000 di meja judi soal peluang menjadi juara.

Setiap tahun, Jamie Vardy ditinggal kolega penentu kesuksesan besar mereka. Mulai dari N’Golo Kante (2016), Danny Drinkwater (2017), dan Riyad Mahrez (2018). Kante dan Mahrez sudah sanggup mengulangi capaian juara liga bersama klub baru mereka di musim pertama. Sementara Vardy masih setia di King Power Stadium untuk menjadi ikon tim Midlands.

Sekarang, Vardy memimpin tim muda Leicester yang mencoba meningkatkan peruntungan setelah banyak guncangan terjadi. Pasca pensiun dari periode sebentar tapi berkesan bersama tim nasional Inggris, Vardy memastikan fokus bersama tim berlogo serigala.

Di dalam skuat besutan Brendan Rodgers, praktis Vardy salah satu veteran yang disegani di tim. Selain tentu saja kapten Wes Morgan, kiper Kasper Schmeichel, jebolan akademi Andy King. Hanya ditambah Marc Albrighton dan Christian Fuchs, begitulah sisa skuat inti tim juara mereka saat ini. Sekalipun tidak bisa dikesampingkan bek veteran Jonny Evans yang kenyang kejayaan bersama Manchester United.

Skuat tim untuk musim 2019/2020 berisi mayoritas pemain muda yang tidak tahu benar bagaimana menciptakan ‘guncangan dahsyat’ karya manajer jenius Claudio Ranieri. Namun bukan berarti mereka tidak becus atau nihil peluang sama sekali memiliki capaian baru. Mereka justru seperti serigala muda yang siap mengaum keras musim depan.

Terlebih, kapabilitas mereka mulai terlihat setelah musim lalu dapat kepercayaan. Misalnya, James Maddison yang diplot menggantikan Mahrez sukses mencuri perhatian dengan gaya flamboyan mengingatkan publik kepada David Beckham. Pemain terbaik Norwich City musim 2017/2018 ini memang mengagumi Beckham, sikap wajar yang dia tampakkan pula kepada gaya melakukan eksekusi bola mati.

Maddison perlahan menjalin koneksi dengan Vardy. Vardy yang haus umpan-umpan daerah untuk menyelesaikan peluang begitu dimanjakannya. Total tujuh asis plus tujuh gol datang dari pemain berusia 22 tahun di musim pertamanya menjejak di kompetisi teratas.

Maddison memang perlahan menjadi poster boy era baru Leicester. Dia bahu membahu dengan Harvey Barnes, Hamza Choudhury, dan Demarai Gray yang juga turut menjadi tulang punggung tim Inggris U-21 di Piala Eropa level umur tersebut pada tengah tahun ini. Sayang The Young Three Lions masih tampil kurang memuaskan pada turnamen yang berlangsung di Italia.

Usia Maddison sama dengan bek kiri Ben Chilwell. Berbeda dengan Maddison yang masih perlu bersaing dengan para pemain sayap teras Inggris, Chilwell kadung sanggup menembus tim senior Inggris. Produk asli akademi klub ini memberi kesegaran dalam skuat Negeri Singa pasca menjadi semifinalis Piala Dunia 2018. Kepandaian Chilwell menyisir sisi kiri saat bertahan dan menyerang dia buktikan saat mengantar Inggris ke posisi ketiga Nations League.

Satu nama lain yang mencuri perhatian saat diberi kepercayaan menntas di Premier League yakni bek kanan Ricardo Pereira. Pemain yang direkrut dari FC Porto ini langsung nyetel dengan ritme Premier League. Bahkan untuk posisinya tergolong pemain elite.

Eksplosivitasnya di sisi kanan pertahan berbuah dua gol dan enam asis yang tentu tidak seutuhnya menunjukkan kontribusi besarnya musim lalu. Situs statistik Whoscored memberi penilaian tertinggi untuknya di antara pemain di skuat. Tidak pelak atas kinerjanya Pereira langsung diganjar penghargaan Pemain Terbaik Leicester musim 2018/2019.

“Saya sangat menikmati melihat pemain tampil dalam bentuk seperti itu. Saya pikir kami memiliki banyak pemain muda yang meladeni pemain sangat hebat tim lawan. Kami menunjukkan level permainan bagus hari ini, organisasi permainan, tekanan kami mantap,” pungkas manajer Brendan Rodgers selepas timnya memukul telak Arsenal 3-0, April lalu.

Rodgers, Sosok yang Tepat

Jamie Vardy kembali tajam di depan gawang setelah dibantu Brendan Rodgers. Foto: independent.ie

Penampilan spektakuler saat menang dari Arsenal bisa dibilang gambaran terbaik dari skuat Leicester muda di bawah kendali Brendan Rodgers. James Maddison, cs. menyentuh level prima dan energi besar dalam skema apik mencetak gol. Arsenal yang limbung kewalahan atas darah muda bertenaga Leicester yang datang di babak kedua.

Di tangan Rodgers, Leicester memiliki sepak bola menyerang dengan identitas jelas. Selara membobol gawang Vardy muncul lagi. Dia sanggup mencetak sembilan gol dalam 10 pertandingan. Berbanding terbalik saat masih dilatih Claude Puel yang cenderung bergaya main lamban, terbukti Vardy pun mencetak sembilan gol tapi dalam 24 laga. Saluran gol Vardy tersumbat dan Rodgers tahu bagaimana caranya melancarkan kembali.

Dampaknya memang signifikan. Leicester langsung meraih lima kemenangan, dua seri, dan tiga kali kalah dari sepuluh laga sisa musim lalu yang diambil alih eks manajer Glasgow Celtic. Tujuh belas gol mereka sarangkan dengan hanya sembilan kali kebobolan.

Arsenal dihajar telak, Chelsea ditahan imbang tanpa gol, dan cuma kalah tipis 0-1 dari City yang terus dipepet Liverpool di puncak klasemen. Total 17 poin mereka dalam periode tersebut hanya kalah dari City, Liverpool, Crystal Palace, dan Everton.

Performa menjanjikan yang patut dilanjutkan musim depan. Apalagi, pergerakan klub yang berdiri pada 1884 ini di bursa transfer sesuai misi dan kebutuhan skuat.

Transfer Mendukung Misi

Andalan baru lini serang Leicester, Ayoze Perez. Foto: Leicestermercury.

Hanya tiga pemain yang diboyong mereka sejauh ini, yakni Ayoze Perez dari Newcastle, James Justin dari Luton Town, dan Youri Tielemans dari AS Monaco. Kecuali Justin, Perez dan Tielemans sudah berkaliber Premier League.

Perekrutan Tielemans jelas menggembirakan. Status peminjamannya dari tengah musim lalu berganti permanen dengan biaya 40 juta paun. Seperti biasa, frase “pecah rekor transfer” bergaung sebagaimana klub Premier League lain mengumandangkan acap bursa pemain dibuka. Namun, berbeda dengan nama-nama lain yang menyandang status itu tapi flop, Tielemens sudah terbukti kapasitasnya.

Kerap digadang-gadang sebagai pemain muda terbaik Belgia era kekinian, Tielemans mendapati kepercayaan diri lagi setelah pindah dari Anderlecht ke Monaco yang karam musim lalu. Sekejap dia menjadi bos di lini tengah dengan kemampuan bertahan dan menyerang yang cukup bagus. Mengingatkan kepada Kante dan Drinkwater sekaligus.

“Youri secara brilian cocok dengan skuat musim lalu, dia telah menunjukkan sanggup membuat dampak di Premier League. Dia menambah opsi ke dalam sekelompok pemain yang bertalenta di sini,” sanjung Rodgers.

Satu nama lain, Ayoze Perez. Penyerang yang malang melintang bersama Newcastle United mendapati Leicester sebagai pelabuhan barunya. Keputusan tepat, mengingat The Magpies juga baru ditinggal entrenador Spanyol, Rafael Benitez yang visinya tidak sejalan dengan klub.

Performa Perez belakangan meningkat. Produktivitas golnya tumbuh perlahan tapi pasti. Pada usia 25 tahun, Perez menyambut tahun-tahun puncak karier dengan Leicester yang punya ambisi sama dengan pasukan muda.

Pada akhir musim lalu berseragam hitam-putih Newcastle, Perez sedang panas-panasnya. Delapan gol dia jaringkan dalam sembilan pertandingan. Tidak pernah dia mendapatkan performa semacam itu. Jadi, suatu keuntungan Leicester memboyongnya dengan biaya 30 juta paun.

Tren apiknya pun berlanjut pada uji coba perdana klub di pramusim. Melawan Scunthorpe, Perez mencetak gol tunggal kemenangan. Ambisi klub dan faktor Brendan Rodgers menjadi dua faktor penentu pemain binaan Tenerife ini meninggalkan Stadion St. James’ Park setelah lima tahun dia tinggal.

“Ada banyak kaulitas, pemain-pemain luar biasa dan mereka membuat perbedaan di liga ini. Kami punya skuat hebat dan kumpulan pemain muda bagus. Kami keluarga yang ingin meningkat dan melakukan hal baik,” ucap Perez.

Sangat menantikan melihat kiprahnya sebagai penyerang di belakang Jamie Vardy. Kecerdikannya membuka ruang dan menciptakan peluang pasti sangat sedap dilihat. Koneksi Perez, Vardy, juga Maddison tentu sangat menarik dinanti. Jika berjalan dengan baik, bisa jadi mereka menjadi salah satu trisula maut yang beredar di liga.

Mungkin kehilangan besar mereka terima kalau melepas bek Harry Maguire. Namun banderol harga yang ditetapkan melebihi rekor transfer untuk seorang pemain bertahan jelas keuntungan besar. Apalagi, Leicester telah menyiapkan Caglar Soyuncu dan Filip Benkovic sedari musim lalu untuk segera menjadi pilihan utama.

Para serigala muda Leicester siap mengaum keras di bawah arahan Rodgers. Bermimpi mengulangi kesuksesan hebat tiga tahun silam? Kenapa tidak? Bisa merusak dominasi Big Six? Mungkin saja.

sumber: theguardian/leicestermercury/transfermarkt.