Vitesse Arnhem mengalami kebangkitan dalam lima tahun ini. Di Eredivisie, Vitesse konsisten di lima besar sejak musim 2012/2013. Musim ini pun demikian di mana Vitesse sukses mengumpulkan 10 poin hasil tiga kali menang dan sekali imbang dari lima pertandingan terakhir. Hasil ini mestinya menjadi kabar gembira buat penggemar. Namun, yang terdengar justru ungkapan kekecewaan terkait Feeder Club.
Protes ini memang sering terdengar. Sejumlah suporter Vitesse merasa kecewa karena kesebelasan yang mereka dukung memutuskan untuk menjadi feeder club-nya Chelsea. Mereka merasa ini membuat gengsi dan harga diri klub ini menjadi turun. Belum lagi gurauan suporter lain yang menganggap Vitesse adalah “Chelsea Reserve”, atau “Chelsea-B”. Ini dianggap merendahkan harga diri tim, mengingat Vitesse Arnhem bukanlah kesebelasan sembarangan dan merupakan tim elite. Vitesse juga sudah berusia 125 tahun yang menjadikan Vitesse sebagai salah satu kesebelasan tertua di Eredivisie.
Lalu sebenarnya, bagaimana kerja dari Feeder Club atau Satelite Club itu sendiri dan apa fungsinya?
Feeder Club biasanya menjadi solusi bagi kesebelasan besar untuk mencari, mengembangkan, dan memberikan pengalaman, terhadap pemain muda potensial. Feeder Club juga difungsikan sebagai sarana untuk mempromosikan tim secara global untuk mencapai keuntungan finansial. Bisa juga untuk mengakali izin kerja di Inggris yang punya syarat terbilang ketat, salah satunya 30% menit bermain di liga top Eropa.
Lantas, apa keuntungannya untuk tim kecil? Mereka mendapatkan pemain pinjaman yang biasanya calon pemain bintang untuk disekolahkan sebelum masuk ke tim utama. Buat tim kecil, dampaknya akan besar dengan kehadiran calon pemain bintang ini, mulai dari keuntungan penjualan merchandise dan tiket pertandingan, sampai yang lebih teknis dalam hal permainan di dalam lapangan.
Di Eropa, ada sejumlah kesebelasan dengan kerja sama macam ini. Salah satunya Manchester City dengan New York City Cosmos. Yang unik, keduanya merupakan berasal dari kepemilikan yang sama sehingga bisa saja proses kerja samanya lebih mudah.
Dalam kasus Chelsea dan Vitesse, hubungan keduanya biasanya hanya berupa peminjaman pemain muda di mana Vitesse mendapatkan prioritas untuk meminjam pemain muda Chelsea.
Feeder Club pun, juga menjadi sarana scouting bakat-bakat yang tersebar. Contoh dalam hal ini adalah Athelic Bilbao dengan Feeder Club-nya CD Basconia yang bermain di Tercera Division atau kompetisi tingkat keempat Liga Spanyol.
Basconia kerap menghasilkan para pemain jadi seperti Fernando Llorente, Markel Susaeta, atau yang sedang melejit Iñaki Williams. Ajax Amsterdam di Eredivisie Belanda juga memanfaatkan Feeder Club-nya, Ajax Cape Town, untuk mencari pemain kelas dunia. Contoh yang paling sukses adalah Steven Pienaar, yang melang melintang di kesebelasan besar di Eropa.
Buat Feeder Club, tidak jarang para pemain pinjaman justru menjadi pemain kunci. Publik Vitesse tentu mengenal Matt Miazga yang menjadi kunci pertahanan Vitesse, yang bahkan membuat mereka nyaman di lima besar Eredivisie.
Dalam hal pemasaran secara global, contohnya adalah Sevilla Juncos yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Sevilla FC. Juncos sendiri berlaga di Liga Kosta Rika. Lalu ada Chonburi FC Thailand dengan Manchester City yang kala itu, di jaman Thaksin Shinawatra, menjadikan Thailand sebagai strategi pasar untuk menembus pasar Asia Tenggara.
Perjanjian Feeder Club bisa diakhiri secara sepihak, apabila terjadi perubahan atau merugikan klub, contoh FK Qarabag (Azerbaijan), yang mengakhiri kerjasama dengan FC Twente ( Belanda ), pasca kesuksesan mereka menembus Liga Champions musim ini, atau Manchester City, yang menghentikan sementara kerjasama dengan Chonburi FC, dikarenakan kepemilikan klub yang berubah.
Sistem Feeder Club ini, juga memiliki dampak negatif. Selain bisa menghilangkan identitas klub, seperti yang terjadi pada Vitesse, pemain-pemain yang belum waktunya berkembang, sudah terlebih dulu di ambil oleh tim besar, sehingga bisa merusak karir pemain itu sendiri.
Contohnya adalah Freddy Adu yang “diserahkan” DC United ke Benfica, sehingga membuat karir sang pemain malah tidak berkembang. Atau ada lagi peminjaman secara “paksa” seperti yang terjadi pada Frank Lampard, yang bermain untuk Manchester City. Ia pun terpaksa menghadapi kesebelasan yang membesarkan namanya, Chelsea. Hal ini menjadi ironi karena sebagai profesional Lampard harus bermain sepenuh hati. Di sisi lain, rasa hormat Lampard amat besar buat Chelsea, yang membuat ia menitikkan air mata saat mencetak gol ke gawang kesebelasan yang membesarkannya.