Menguji Kapasitas Penggunaan VAR pada Liga Indonesia

Foto: BBC.co.uk

Keputusan mengejutkan diambil oleh PSSI. Mereka akhirnya merestui pemakaian Video Assistant Referee (VAR) untuk kompetisi Liga 1 2019. Hal ini diputuskan melalui rapat Komite Eksekutif PSSI yang dilakukan pada pekan lalu.

“Untuk menjaga kompetisi Shopee Liga 1 2019, Komite Eksekutif PSSI memutuskan penggunaan Video Assistan Referee (VAR). Hal ini disepakati dalam rapat Komite Eksekutif PSSI yang berlangsung di Jakarta pada akhir pekan lalu. Terkait hal ini, PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator kompetisi, diminat untuk segera membuat kajian dari sisi anggaran dan infrastruktur,” ujar PSSI dalam situs resminya.

Keberadaan VAR sudah pasti mendapat apresiasi yang positif. Permintaan teknologi yang pertama kali dipakai dalam pertandingan Mellbourne City vs Adelaide United ini dianggap bisa memperkecil segala kontroversi yang mengiringi perjalanan Liga Indonesia setiap musimnya. VAR dianggap sebagai jalan keluar untuk menjaga mutu dan kualitas kompetisi Liga 1

Meski baru berlangsung dua pekan, namun beberapa kontroversi sudah hadir mewarnai kompetisi Liga 1 2019. Dari tekel keras Hamka Hamzah, aksi nakal Sandi Sute, diving Kushedya Hari Yudo, keputusan offside meski pemain berada pada posisi onside, serta pelanggaran yang harus diberi kartu merah, adalah beberapa kontroversi yang muncul dalam beberapa pekan terakhir. Hal ini membuat PSSI langsung menggelar evaluasi kepada beberapa wasit dan hakim garis yang dianggap bermasalah.

“PSSI berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas perangkat pertandingan di semua kompetisi. Kami tidak akan mentolerir setiap pelanggaran peraturan permainan apabila terbukti telah terjadi kesalahan,” kata Sekjen PSSI, Ratu Tisha.

Tujuan dari penggunaan VAR sendiri untuk membantu wasit dalam membuat keputusan ketika terjadi salah satu insiden dari empat insiden krusial yang bisa diidentifikasi dengan VAR. Keempat insiden tersebut adalah gol (sah atau tidak), penalti (ada pelanggaran atau tidak), kartu merah langsung, dan kesalahan identitas (seperti kasus Kieran Gibbs dan Alex Oxlaide Chamberlain).

Empat insiden ini kerap terjadi atau bahkan sering terjadi dalam kompetisi sepakbola Indonesia. Hal ini biasanya dikarenakan tensi tinggi dalam setiap pertandingan. Tidak jarang wasit luput hingga ragu-ragu untuk mengambil keputusan karena kejadian yang terjadi hanya sepersekian detik dari pandangan mata.

Permintaan adanya VAR sudah terjadi sejak kompetisi Liga 1 2017. Saat itu, wasit Fariq Hitaba membuat keputusan kontroversial sekaligus mengejutkan. Dalam pertandingan PS TNI melawan Persija Jakarta, ia menganulir keputusannya memberi penalti setelah melihat tayangan ulang.

Akan tetapi, tayangan ulang tersebut tidak didapat dari kamera VAR melainkan kamera televisi di pinggir lapangan. Fariq saat itu meminta juru kamera untuk memutar tayangan ulang. Ia kemudian mengubah keputusan penalti tersebut setelah merasa kalau keputusannya salah. Sayangnya, Fariq justru dihukum oleh komite wasit karena melanggar law of the games. Sejak kejadian ini, permintaan VAR di kompetisi sepakbola Indonesia semakin gencar. Akan tetapi, federasi saat itu masih menolak.

***

Saat ini, federasi sudah setuju dengan adanya VAR. Namun, masalah tidak berhenti sampai di sini. Penggunaan VAR sudah pasti membutuhkan stadion yang berkualitas. Khususnya memiliki Control Room yang bertugas menjalankan VAR. Sayangnya, stadion di Indonesia yang bisa menggunakan VAR mungkin bisa dihitung dengan jari.

Selain itu, apakah federasi sanggup menyiapkan banyak kamera di setiap stadion di Indonesia untuk menunjang pemakaian VAR. Pada laga Piala Dunia 2018 lalu, satu stadion membutuhkan 33 layar yang masing-masing menangkap sudut pandang berbeda. Delapan layar diantaranya merekam aksi dalam gerak super slow motion, sementara empat lainnya akan memutar gerak secara ultra slow motion.

Tentu saja hal ini sulit dipenuhi oleh beberapa stadion yang mayoritas belum modern layaknya stadion-stadion di Eropa meski PT LIB sendiri sudah diminta untuk segera membuat kajian dari sisi anggaran dan infrastruktur. Belum lagi soal kualitas rekaman. Untuk siaran di televisi saja, beberapa kali federasi dan official broadcaster mendapat banyak kritikan.

Selain itu, belum jelas kapan VAR ini akan digunakan. Dirk Soplanit, Direktur interim PT LIB menyebut kalau pemakaian VAR masih butuh kajian yang lengkap. Selain itu, belum jelas juga seperti apa mekanisme pemakaian VAR ini kedepannya.

Jika mencontoh VAR di Piala Dunia atau Liga Champions dianggap sulit atau bahkan mustahil, maka ada baiknya federasi mencontoh kompetisi Bandung Premier League (BPL). Kompetisi lokal di Kota Kembang ini menjadi pelopor dari pemakaian VAR di Indonesia. Inovasi mereka sempat membuat takjub masyarakat karena kemauan dan keinginannya untuk membuat kompetisinya terasa seperti liga profesional meski diisi oleh para pemain amatir.

“Saya ingin ada terobosan dalam kompetisi komunitas yang bisa mengundang perhatian dari masyarakat Bandung, Jawa Barat, bahkan Indonesia. Kalau kami buat yang biasa-biasa saja tentu kurang menarik,” kata Doni Setiabudi, CEO Premier League.

Prinsip pemakaian VAR di BPL tidak jauh berbeda dibanding di Eropa. Hanya saja dimodifikasi sedikit. Satu orang berada di pinggir lapangan sebagai operator yang mengoperasikan alat sederhana dengan satu laptop yang tersambung dengan layar besar yang nantinya digunakan sebagai VAR. Layar ini nantinya menangkap seluruh kejadian yang terekam dalam setiap kamera yang terpasang.

Yang menarik, seandainya pemain tidak menerima keputusan wasit setelah melihat VAR, maka wasit boleh mengajak pemain tersebut untuk melihat rekaman kejadian. Hanya saja si pemain akan terkena kartu kuning karena tidak menerima keputusan mutlak wasit. Sebuah kebijakan yang patut diuji cobakan di Liga 1 mengingat banyak dari pemain kita yang masih sulit menerima keputusan wasit.

***

Jika federasi, dan seluruh stakeholder lain mulai mendukung adanya penggunaan VAR, pertanyaan berikutnya adalah apakah para penggemar klub di Indonesia juga sudah siap menerima kehadiran VAR?

Banyak yang salah kaprah terkait kehadiran alat canggih ini. Banyak yang merasa kalau VAR membuat wasit bisa lebih adil dalam memimpin pertandingan. Akan tetapi, VAR tidak diciptakan untuk membuat wasit memimpin lebih adil melainkan membuat wasit bisa membuat keputusan dengan benar.

Ambil contoh kasus handball Presnel Kimpembe dalam laga PSG melawan Manchester United musim lalu. Ada yang beranggapan kalau keputusan wasit saat itu sudah benar. Namun tidak sedikit pula yang merasa kalau wasit salah mengambil keputusan. Penggemar PSG sudah pasti merasa keputusan tersebut tidak adil. Namun menurut wasit yang memimpin saat itu, keputusannya sudah benar.

Jika VAR jadi diterapkan di Indonesia, tentu pemakaiannya akan mengakibatkan berbagai macam cerita dan sudut pandang. Khususnya dari para suporter. Mereka yang nantinya diuntungkan dengan adanya VAR, pasti akan mendukung keputusan tersebut. Lantas bagaimana dengan suporter yang nantinya mendapat kerugian dari adanya VAR? Masihkah mereka mau berpikir objektif dan menanggalkan sifat-sifat yang membuat mereka terlihat menjadi suporter yang hipokrit alias munafik?

Keputusan-keputusan wasit yang dianggap berat sebelah adalah salah satu faktor kenapa kerusuhan di sepakbola Indonesia masih merajalela. Pertanyaan berikutnya kembali muncul, Apakah dengan VAR konflik yang disebabkan karena keputusan wasit bisa diminimalisir? Hal ini dikembalikan lagi kepada para suporter seperti pada paragraf di atas untuk dituntut berpikir objektif mengingat suporter yang dirugikan bisa saja suatu saat diuntungkan dengan adanya VAR.

Akun anonim paling terkenal, @MafiaWasit, mempunyai kalimat yang sangat unik yaitu: Masalah yang kerap muncul di kalangan suporter adalah mereka paham bagaimana sebuah pertandingan dapat berjalan tetapi mereka tidak paham dengan aturan yang melingkupi pertandingan tersebut.

Selain suporter, kualitas wasit juga harus ditingkatkan lagi agar pemakaian VAR ini nantinya bisa berjalan dengan baik. Perlu diingat kalau VAR hanya instrumen untuk membantu kinerja mereka di atas lapangan. Keputusan terakhir tetap ada di tangan wasit. Kalau kualitas wasitnya seperti yang ditampilkan dalam beberapa laga Liga 1 sejauh ini, maka teknologi apa pun nampaknya tidak memberikan pengaruh apa-apa bagi sepakbola Indonesia.