Wacana Pelarangan Striker Asing yang Patut Dipikirkan Kembali

Baru-baru ini muncul wacana dari PT Liga Indonesia Baru (LIB) untuk mewajibkan klub-klub peserta Liga 1 memakai striker lokal sekaligus menghilangkan peran striker asing.  Regulasi ini rencananya akan dipakai pada musim kompetisi 2019. Krisis striker lokal menjadi alasan LIB untuk membuat regulasi tersebut.

“Itu (regulasi memakai striker lokal) masih dalam tahap rencanan dan merupakan masukan dari para peserta liga,” tutur CEO PT LIB, Tigor Shalom Boboy seperti dilansir dari detik.com. “Pemain lokal yang tersubur hanya ada dua, Lilipaly dan Samsul Arif. Lilipaly pun statusnya naturalisasi.”

“Regulasi pelarangan pemain asing di lini depan juga dipakai demi timnas Indonesia. Kapan kita terakhir punya penyerang berkualitas? Kami juga meminta masukan ini kepada klub karena kompetisi itu tentu menghasilkan pemain-pemain terbaik untuk timnas Indonesia,” tuturnya.

Tujuan Tigor membuat regulasi tersebut cukup beralasan. Saat ini, stok penyerang lokal di Indonesia dapat dihitung dengan jari. Mereka semua takluk dengan keberadaan para bomber asing. Bahkan di Asian Games 2018 ini, tim nasional bergantung kepada Alberto Goncalves dan Stefano Lilipaly yang merupakan produk naturalisasi.

Dalam tiga musim terakhir kompetisi, hanya Ferdinand Sinaga, Lerby Eliandri dan Samsul Arif saja bomber lokal yang bisa mencetak lebih dari 10 gol. Bahkan pada ajang Indonesia Soccer Championship 2016, tidak ada striker lokal yang masuk jajaran 10 besar pencetak gol terbanyak kecuali pemain naturalisasi.

Memiliki pemain asing di lini depan seolah menjadi ketentuan wajib bagi klub-klub Liga Indonesia sejak era Galatama. Tradisi itu kemudian terus dipertahankan hingga era Liga 1 saat ini. Musim ini saja, hanya Arema FC yang tidak memiliki pemain asing di lini depan dan memilih mengandalkan produk lokal dalam diri Rivaldi Bauwo dan Dedik Setiawan.

Sekilas, apa yang ditawarkan PT LIB merupakan langkah yang sangat positif. Regulasi ini akan membuat para bomber lokal akan mendapatkan kesempatan main yang jauh lebih sering. Bukan tidak mungkin nama-nama seperti Hanis Saghara, Rafli Mursalim, hingga Bagus Kahfi akan naik ke permukaan di kompetisi Indonesia sehingga kedepannya tim nasional tidak kesulitan lagi dalam mencari striker.

Namun selain dampak positif di atas, sebenarnya ada beberapa hal yang membuat regulasi ini patut dipertimbangkan. Ada beberapa risiko yang muncul apabila aturan ini diberlakukan pada 2019 nanti.

Posisi Pemain yang Sudah Semakin Fleksibel

Sepakbola modern saat ini begitu fleksibel dalam hal taktik dan juga peran di atas lapangan. Seorang penjaga gawang saat ini dituntut untuk dapat memutus serangan lawan serta membangun serangan alih-alih hanya diam menjaga gawang. Mohamed Salah yang berposisi asli sebagai wing forward di FC Basel sudah menjelma sebagai striker nomor 9 di Liverpool. Atau Marcelo yang berposisi sebagai bek kiri namun bisa menjadi seorang playmaker jika Toni Kroos maupun Luca Modric dijaga ketat pemain lawan.

Detil-detil seperti ini yang harus diperhatikan oleh PT LIB apabila wacana ini ingin dikatakan berhasil. Bukan tidak mungkin, pelarangan penggunaan striker asing ini justru membuat para pelatih memodifikasi posisi para pemainnya sebatas hanya di atas kertas alih-alih di atas lapangan.

Contohnya seperti ini, Persib Bandung akan melawan PSM Makassar. Dalam susunan pemain, pelatih Gomez memainkan formasi 4-2-3-1 dengan Patrich Wanggai sebagai striker tunggal. Sementara nama Jonathan Bauman dan Ezechiel N’Douassel ditempatkan di belakang Wanggai dan ditulis sebagai gelandang serang. Akan tetapi, ketika di lapangan, baik Bauman maupun N’Douassel justru lebih aktif bergerak di dalam kotak penalti alih-alih Wanggai yang perannya sebagai false 9.

Seandainya kasus di atas terjadi apakah PT Liga berani menegur Persib karena masih memainkan Bauman dan N’Douassel meski kenyataannya dalam daftar pemain keduanya didaftarkan sebagai gelandang. Kalau sudah begini pembelaan akan muncul dari para pelatih dengan menjadikan modifikasi taktik sebagai alasan.

Bukan tidak mungkin kedepannya kita sering melihat Marlon da Silva, Fernando Rodriguez, dan David da Silva akan memulai laga sebagai pemain belakang dan tengah namun ketika di lapangan peran mereka kembali ke awal yaitu sebagai mesin gol klubnya.

Ujaran “memangnya pemain tengah atau pemain belakang tidak boleh mencetak gol” bisa jadi akan muncul dari mulut pelatih-pelatih Liga 1 musim depan. Kalau sudah begini bukan tidak mungkin akan muncul regulasi yang lebih absurd dari sekedar tidak boleh memakai striker asing. Melarang pemain asing mencetak gol contohnya.

Ramai-Ramai Naturalisasi

Sudah bukan rahasia lagi kalau sepakbola Indonesia lebih memilih jalur instan sebagai cara meraih prestasi alih-alih pembinaan berjenjang. Salah satu caranya adalah dengan proyek naturalisasi. Sejak kesuksesan Christian Gonzales, proyek ini seolah tidak bisa berhenti untuk dilakukan.

Nama-nama seperti Alberto Goncalves, Ilija Spasojevic, Stefano Lilipaly, Ezra Walian, Sergio Van Dijk, Guy Junior, Greg Nwokolo, dan Herman Dzumafo Epandi, adalah para penyerang yang berganti kewarganegaraan dari proyek “malas” PSSI ini dalam lima tahun terakhir.

Jika pelarangan pemain asing digunakan, maka peluang untuk mencari pemain untuk dinaturalisasi bisa jadi akan semakin banyak untuk mengakali peraturan tersebut. Para pemain depan yang sudah lama bermain di Indonesia bisa jadi akan diganti kewarganegaraan demi mempertahankan eksistensi mereka.

Tidak hanya itu, beberapa klub mungkin akan blusukan mencari striker di beberapa negara yang memiliki hubungan Indonesia semisal Belanda. Hal ini sama saja dengan mematikan talenta lokal mengingat menaturalisasi pemain asing hanya akan membuka gerbang untuk menambah pemain asing baru di posisi lain.

Balik Lagi ke Masalah Pembinaan

Melarang striker asing bermain di Indonesia memang bisa menjadi cara untuk menyelesaikan masalah. Akan tetapi, bukan tidak mungkin hal ini akan membuat para striker lokal bisa menjadi malas berlatih karena sudah pasti mendapatkan menit bermain. Sementara itu para pemain belakang tidak akan mendapat ujian dari para striker asing yang memiliki kemampuan di atas rata-rata.

Hal ini yang menjadi alasan mengapa pembinaan jangka panjang menjadi sesuatu yang krusial dalam perkembangan sepakbola suatu negara. Membentuk liga dengan usia yang berjenjang disertai pengawasan penuh dari federasi mungkin bisa menjadi jalan alternatif. Dengan kompetisi berjenjang maka sebuah negara tidak hanya akan mendapat striker-striker masa depan, namun juga pemain-pemain yang berposisi di luar striker.

Namun jika operator kompetisi masih beranggapan kalau kesuksesan harus dicapai dengan cara instan, maka ada satu alternatif yang patut dicoba meski mengundang risiko yang cukup besar. Alternatif tersebut adalah dengan melarang penggunaan pemain asing sama sekali. Hal ini bisa menjadi cara yang efektik meski harus mengorbankan mutu kompetisi yang menjadi tidak menarik.