Bek kiri Tottenham Hotspur, Danny Rose, mengatakan jika ia sering sekali dihentikan oleh polisi ketika sedang mengendarai mobilnya. Ia kerap diinterogasi dalam berbagai skenario yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Perlakuan ini terjadi lantaran ia bukanlah seorang orang kulit putih. Oleh sebab itu ia merasa sudah berada di titik tertinggi untuk kesal dan gusar pada rasisme di Inggris yang semakin parah.
Sementara itu, pemain timnas Inggris yang lahir di Doncaster itu telah sering pula dilecehkan secara rasial di lapangan. Yang paling terbaru saja terjadi ketika ia bermain untuk Inggris di Montenegro pada Maret 2019. Maka mungkin kegusaran Rose ini sudah memuncak karena masalah rasis sepertinya tidak pernah berhenti untuk terus menerus menerjang dirinya.
Setelah insiden di Montenegro tersebut, Rose sempat sangat tidak sabar untuk meninggalkan sepakbola karena ia sangat jijik dengan rasisme yang merusak perasaanya. Dan ia juga sudah kecewa dengan respon pihak berwenang lantaran cenderung abai ketika menangani persoalan ini.
Maka dengan bermodalkan semua pengalaman peliknya tersebut, Danny Rose sekarang telah membuka diri kepada masyarakat yang lebih luas. Ia kemudian bercerita tentang berbagai hal mengenai rasisme yang menerjang dirinya. Termasuk tentang pengalaman pertama kali dihentikan oleh polisi ketika ia berusia 15 tahun. Dan hal yang seperti ini masih sering terjadi sampai di usianya yang sudah menginjak 30 tahun.
“Saya sudah muak. Teman-teman saya ada di sana bersama saya di banyak waktu ketika hal itu terjadi. Terakhir kali, minggu lalu, ketika saya baru saja dari rumah ibu saya. Saya berhenti di tempat parkir sehingga mesin mati. Polisi masuk dan mereka membawa mobil anti huru hara. Ada tiga mobil polisi dan mereka menanyai saya,” pungkas Danny Rose kepada podcast Second Captains.
“Mereka mengatakan bahwa mereka memiliki laporan bahwa ada mobil yang tidak dikemudikan dengan benar. Jadi saya langsung berpikir; ‘Oke, tapi mengapa itu harus mobil saya?’ Saya mengeluarkan kartu identitas saya dan mereka menghirup napas ketika melihat kartu itu. Yang seperti ini hanya salah satu dari ketidakadilan bagi saya sekarang.”
“Apa yang dapat saya? Lima belas tahun hal ini sudah terjadi di luar dan di lapangan. Paling parahnya, tidak ada perubahan apa pun. Setiap kali, polisi pasti memilki template pertanyaan; ‘Apakah mobil ini dicuri? Dari mana Anda mendapatkan mobil ini? Apa yang Anda lakukan di sini? Bisakah Anda membuktikan bahwa Anda membeli mobil ini?’”
Selain soal mobil pribadinya yang sering ditanyakan polisi, Danny Rose juga menceritakan sebuah insiden ketika ia bepergian dengan kereta api. Petugas kereta yang dinaiki Rose kemudian dengan gampangnya menuduh mantan pemain akademi Leeds itu salah naik gerbong karena kulitnya yang gelap.
“Salah satu insiden terjadi ketika saya terakhir kali naik kereta. Saya membawa tas, dan petugas di sana langsung berkata; ‘Apakah Anda tahu ini kereta kelas satu?’. Saya langsung berkata; ‘Ya, jadi maksud Anda apa?’ Mereka meminta untuk melihat tiket saya dan saya menunjukkan kepada petugas wanita itu. Saya tidak bohong, ada dua orang kulit putih di sana berjalan santai tanpa ditanya hal yang sama,” jelas Rose.
“Saya bertanya balik kepada si petugas; ‘Apakah Anda tidak akan meminta tiket mereka?’ Dan dia hanya berkata: ‘Ah tidak, saya tidak perlu melihatnya’. Orang mungkin berpikir itu terjadi layaknya kejadian biasa, tetapi bagi saya itu adalah rasisme. Ini adalah hal-hal yang harus saya hadapi. Dihentikan sepanjang waktu dan ditanya apakah saya tahu ini kelas satu dan menunjukkan tiket saya, itu semua sangat membuat kesal.”
Sudah tidak bisa dipungkiri lagi, semua kejadian yang dialami Danny Rose merupakan tekanan yang sangat besar. Apalagi bagi seorang pemain sepakbola yang memiliki banyak tugas berat di atas lapangan. Oleh sebab itu, dilansir dari The Guardian, Rose mengatakan bahwa ia telah merasa dilemahkan oleh rasisme.
Karena bagi Rose, sudahlah tekanannya besar, kondisi lingkungan tempat ia tinggal (Inggris) pun tidak sepenuhnya mendukung dan menghargai dirinya. Ia justru memiliki banyak keraguan tentang kondisi diskriminasi seperti rasisme – di Inggris maupun juga di dunia– ini dapat berubah.
“Semua cerita ini adalah kehidupan sehari-hari bagi saya. Saya merasa malu, dan bahkan mengeluh atau mengemukakannya ketika Anda melihat insiden di Amerika. Di mana seorang pria, seorang pria kulit hitam, kehilangan nyawanya di tangan orang-orang yang seharusnya melindungi dan melayani mereka,” ungkap Rose dengan merujuk pada kematian George Floyd.
“Setiap kali saya mengatakan sesuatu atau mengeluhkan hal ini, pasti ada saja yang berkata; ‘Ya, jika Anda masih sanggup menerimanya, maka teruskan saja’. Saya sudah tidak tahu lagi. Rasanya saya hanya ingin menyerah dengan berharap bahwa segalanya akan berubah. Karena itulah harapan beberapa orang (kulit hitam) terhadap rasisme.”