European Super League vs UEFA Champions League: Semua Demi Uang

Publik sepakbola dibikin geger ketika pada Senin (19/4) kemarin 12 kesebelasan memprokalmirkan sebuah kompetisi baru bernama European Super League (ESL). Yang bikin kaget adalah absennya ke-12 kesebelasan ini untuk memberi tahu UEFA dan FIFA sebagai induk sepakbola Eropa.

FIFA dan UEFA berang. Keduanya mengancam akan memberi sanksi berat buat siapapun yang nekat ikutan ESL. Sanksi tersebut adalah dikeluarkannya kesebelasan dari kompetisi domestik sementara para pemainnya tak boleh membela timnas.

UEFA beruntung karena publik sepakbola di Eropa banyak yang menentang ide pendirian ESL. Mereka tak suka karena ESL mematikan sejarah Liga Champions itu sendiri, sekaligus menjadi cerminan betapa rakusnya para pemilik klub yang serakah.

Protes pun bertebaran di mana-mana. Sampai akhirnya, ide ESL memakan korban. Andrea Agnelli mundur dari jabatannya sebagai Presiden Juventus. Ed Woodward juga mundur dari jabatan sebagai Vice-Chairman Manchester United yang mulai efektif pada akhir tahun ini.

Rabu (21/4) dini hari tadi, enam kesebelasan Premier League yang terlibat dalam pendirian ESL mundur. Kini, ESL hanya menyisakan Real Madrid, Juventus, Barcelona, dan Atletico Madrid. Ini tak lepas dari gelagat Inter Milan dan AC Milan yang kemungkinan besar ikut mundur.

Nyatanya ESL tak lebih dari sekadar gertakan. Ditambah lagi langkah-langkah yang dilakukan, khususnya Agnelli sebagai Ketua European Club Association, terkesan sengaja agar UEFA tidak tahu. Hal ini membuat geram Presiden UEFA, Aleksander Ceferin, yang mengecam pergerakan diam-diam Agnelli.

Alasan di Balik Pembentukan European Super League

Presiden Real Madrid, Florentino Perez, menjadi yang paling vokal soal pembentukan ESL. Motif yang paling utama adalah uang. Perez menyebut kalau klub terdampak oleh pandemi virus corona dan total kerugian dari 12 kesebelasan pendiri tersebut mencapai 1,2 miliar paun.

Perez mengklaim kalau ESL akan menyelamatkan sepakbola karena anak-anak muda saat ini tak lagi tertarik dengan sepakbola karena ada banyak pertandingan dengan kualitas rendah. ESL hadir sebagai solusi dengan menghadirkan pertandingan antar-kesebelasan top Eropa setiap pekannya.

Mengapa klub berani membentuk ESL? Salah satunya karena mereka dijanjikan akan mendapatkan bagian sebesar 3 miliar paun yang disiapkan oleh bank investasi, JP Morgan.

Pandemi virus corona membuat kondisi kian buruk karena pertandingan menjadi terganggu dan penonton tak bisa datang. Ini yang membuat klub merugi karena kehilangan pendapatan dari tiket di hari pertandingan. Di sisi lain, klub punya pemain superstar dengan gaji tinggi yang harus dibayar. Selain itu, klub juga belum pasti bisa ikut Liga Champions setiap tahunnya. Padahal, pendapatan dari Liga Champions relatif bisa membantu keuangan klub.

Kenapa ESL Tidak Disukai?

Secara teknis, ESL akan memberikan uang yang besar buat klub pendiri dan pesertanya. Anehnya, bukan cuma pengamat dan federasi, tapi juga penggemar klub yang terlibat juga tak suka.

Salah satu alasannya karena 15 klub pendiri tidak perlu melalui babak kualifikasi maupun terdegradasi. Ini adalah sesuatu yang tak adil dan tak kompetitif.

Sebagai contoh dari BBC, Arsenal tidak lolos ke Liga Champions sejak 2016/2017, tapi mereka digaransikan satu tempat, tak peduli seburuk apapun mereka main di kompetisi domestik. Di sisi lain, juara Premier League juga belum tentu lolos ke ESL kalau mereka bukan anggota permanen.

Dengan adanya kesebelasan pendiri yang tak terdegradasi nantinya akan membuat sepakbola di Eropa jalan di tempat, karena kompetisi tertinggi hanya didominasi oleh kesebelasan elit belaka.

Selain itu, para penggemar juga enggan apabila nantinya klub mereka dilarang bermain di Liga Champions karena nekat mengikuti ESL. Belum lagi para pemain yang tak bisa membela timnas hanya karena keserakahan para pemilik klub.

Kritik yang paling utama adalah ESL menghancurkan nilai-nilai dari sepakbola itu sendiri. Bahwa sepakbola saat ini hanyalah bagian dari industri yang mengedepankan uang.

Mantan bek Manchester United, Gary Neville, menyebut kalau dirinya sebenarnya tidak mempermasalahkan kehadiran uang di sepakbola. “Namun, prinsip utama sepakbola adalah persaingan yang adil. Prinsip itu membuat tim seperti Leicester City bisa juara Liga Inggris dan lolos ke Liga Champions.”

Format Kompetisi European Super League

ESL nantinya akan berisi 15 kesebelasan pendiri ditambah dengan lima tim lain lewat babak kualifikasi. Sistemnya, ke-20 kesebelasan ini dimasukkan ke dalam dua grup yang berisi 10 kesebelasan. Setiap kesebelasan main kandang-tandang satu sama lain.

Tiga kesebelasan teratas lolos ke babak gugur. Tim di peringkat keempat dan kelima memainkan babak play-off untuk mendampingi enam kesebelasan lain yang lolos.

Curangnya, ke-15 kesebelasan pendiri mendapatkan hak istimewa untuk tak terdegradasi.

ESL akan berlangsung setiap Agustus tiap tahunnya. Pertandingan ESL akan digelar tengah pekan, yang menyaingi kompetisi Eropa lainnya. Klub pendiri tetap akan bermain di liga domestik setiap akhir pekan. Pertandingan final digelar pada Mei tahun selanjutnya.

Liga Champions adalah Kompetisi yang Berkompromi

Liga Champions yang dikelola oleh UEFA bukannya tidak ada kelemahan. Semua tim yang bertanding di sana, ujung-ujungnya akan mengarah pada uang. Buat sebagian klub, pendapatan di Liga Champions bisa jadi lebih besar ketimbang bila mereka menjuarai liga domestik.

UEFA sebenarnya mengakomodasi keinginan klub elit untuk mendapatkan uang. Misalnya saja, Liga Champions awalnya adalah kompetisi untuk para juara (Champions). Seiring waktu berjalan, klub elit tidak selamanya menjadi juara. Terkadang mereka hanya di peringkat kedua atau di bawahnya.

Lalu munculah ide untuk membuat pemeringkatan berdasarkan koefisien. Setiap negara punya koefisiennya sendiri. Semakin besar koefisien, semakin banyak pula kuota yang didapatkan untuk bisa main di Liga Champions.

Aturan koefisien ini bahkan bisa “diakali” agar sebuah negara bisa mengirimkan lebih dari satu wakil. Contohnya saja, di Liga Champions musim 2017/2018, Inggris mengirimkan lima wakilnya.

Kok bisa? Bisa.

Inggris tetap menempatkan tiga wakilnya di babak utama dalam hal ini adalah Chelsea (peringkat pertama), Tottenham Hotspur (peringkat kedua), dan Manchester City (peringkat ketiga). Liverpool sebagai peringkat keempat harus menghadapi babak play-off, dan untungnya mereka lolos.

Satu tempat lagi didapatkan Manchester United dengan statusnya sebagai juara Europa League. Dalam aturan memang disebutkan bahwa juara Europa League akan langsung lolos ke babak grup Liga Champions. Di sisi lain, United hanya menempati peringkat keenam di Premier League, yang seharusnya tidak lolos ke Liga Champions berdasarkan koefisien tadi.

Keluhan dari klub elit sebenarnya hampir selalu diakomodasi oleh UEFA. Kita bisa melihat perubahan format kompetisi Liga Champions yang berubah setiap beberapa tahun. Di awal kemunculannya, Liga Champions menggunakan format gugur.

Lalu pada musim 1991/1992 berubah menjadi babak kualifikasi sebanyak dua ronde dengan masing-masing dua leg, yang dilanjutkan dengan dua babak grup. Juara masing-masing grup langsung lolos ke final.

Pada 1994 berubah lagi dengan pembagian ke empat grup. Juara dan runner up lolos ke babak gugur. Pada era ini, yang lolos ke Liga Champions masih hanya juara liga dan juara bertahan.

Pada 1999, Liga Champions menjadi lebih panjang dengan dua babak grup. Di era ini, satu negara bisa mengirimkan sampai empat klub! Baru sejak 2003, Liga Champions menggunakan satu babak grup yang terbagi ke dalam delapan grup seperti yang kita kenal hingga saat ini.

Mengapa UEFA melakukan ini? Tentu saja karena sebagai bagian dari kompromi bagi klub-klub elit penyuka uang tunai.

Lantas, mengapa mereka masih tetap ingin bikin kompetisi dengan format baru? Ya apalagi kalau bukan karena serakah. Karena toh, format ESL juga akan diterapkan di Liga Champions musim 2024 nanti. Kaget?