Mauricio Pochettino mengaku kalau dirinya mungkin saja berhenti dari jabatannya sebagai manajer Tottenham Hotspur andai ia menjuarai Liga Champions musim lalu. “Untungnya” Spurs kalah 0-2 dari Liverpool, dan Pochettino tetap bertahan.
Pochettino sendiri digosipkan akan menjadi manajer permanen Manchester United usai The Red Devils mendepak Jose Mourinho. Selain itu, Real Madrid dan Juventus juga dikabarkan tertarik menggunakan jasa pelatih berkebangsaan Argentina ini. Namun, Pochettino justru merasa kembali berenergi dan lebih bertekad meraih prestasi ketimbang sebelumnya.
“Tentu saja, (Meninggalkan Tottenham) itu selalu ada di kepala, Anda tak pernah tahu. Dengan caraku, aku selalu memprioritaskan klub ketimbang diriku sendiri. Mungkin kalau hasilnya berbeda setelah final, Anda bisa berpikir, ‘OK mungkin ini adalah momen untuk keluar dari klub, meninggalkan klub dan memberi mereka kemungkinan akan bab baru dengan staf pelatih yang baru,” tutur Pochettino dikutip dari The Telegraph.
Akan tetapi, justru setelah final itu Pochettino merasa kalau ini bukanlah cara yang bagus untuk mengakhiri kariernya di London Utara seperti itu. Ia mengaku kalau dirinya bukanlah tipe orang yang menghindari masalah atau situasi sulit.
“Aku mencintai tantangan besar, tantangan yang sulit dan tentu saja sekarang untuk membangun mentalitas itu untuk membuatnya menjadi mungkin mengulang musim yang sama, itu amatlah mengasyikkan dan banyak memotivasiku,” tutur Pochettino.
Pochettino pun menegaskan kalau segalanya akan berubah andai Spurs menang dari Liverpool. “Anda tahu ketika Anda menyentuh kejayaan, Anda akan berperilaku berbeda, atau merasakan hal yang berbeda, atau para pemain merasa berbedan dan tantangan juga menjadi berbeda,” kata Pochettino.
Pochettino mencontohkan Kieran Trippier saat menjelaskan bagaimana ia membutuhkan tantangan di usianya yang menginjak 28 tahun. Untuk itu, ia memilih pindah ke Atletico Madrid meski senang bermain untuk Spurs dan bekerja bersama Pochettino.
“Itu ada di dalam dirimu dan hanya kamu yang tahu bagaimana rasanya. Ini bukanlah tentang setuju atau tidak setuju, ini tentang menerima apa yang kamu rasakan. Kamu adalah seorang individu, Anda punya tantangan masing-masing dan Anda harus menerimanya kalau semua bagiannya membahagiakan,” ucap Pochettino.
Pochettino menerima kalau ada sejumlah manajer lain yang akan melakukan hal berkebalikan dengannya. Akan ada manajer yang memilih pergi saat klubnya gagal. Ada pula yang memilih bertahan saat klubnya sukses.
“Karena aku mengenal Tottenham dan Tottenham tidaklah sama dengan klub lain dan diriku, dan staf pelatih, juga tak sama dengan staf pelatih yang lain. Tak ada yang lebih baik, tak ada yang buruk, kami hanya berbeda,” kata mantan manajer Southampton ini.
Meskipun memutuskan untuk tinggal bersama Spurs, tapi Pochettino mengakui kalau dirinya berjuang untuk mengenyahkan mimpi buruk saat kalah dari Liverpool. Bahkan, masa liburannya pun menjadi tak tenang, karena ia sulit move on dari pertandingan final tersebut.
Hal ini terbilang wajar mengingat berhasilnya Spurs ke final juga mengejutkan. Apalagi mereka melakukan comeback fantastis kala melawan Ajax Amsterdam di semifinal. Selain itu, Spurs juga melakukan persiapan selama tiga pekan. Tingkat mood para pemainnya sudah di level tertinggi, tapi mereka masih tetap gagal.
“Untuk pertama kalinya dalam sejarah Tottenham, kami mencapai final Liga Champions. Kami hadir begitu dekat untuk menang. Kami layak menang melawan tim hebat seperti Liverpool. Tapi tentu saja, pekan lalu kami mulai berlatih, memotivasi diri kami lagi untuk melihat ke depan ke musim yang lain,” tutup Pochettino.