Ajax Amsterdam tampil begitu mengaumkan dan tak kenal takut ketika mereka melawan Chelsea di Stamford Bridge pada malam Liga Champions beberapa waktu yang lalu. Bahkan, mereka bisa bermain seperti itu hanya dengan sembilan orang sejak babak kedua. Namun, ternyata ada sesuatu yang jauh lebih menggemparkan dari penampilan tim asal Belanda tersebut.
Menurut salah satu pundit The Guardian, Barney Ronay, sesuatu itu adalah “jiwa muda” dan permainan para pemain muda Chelsea. Di awal sampai pertengahan waktu pertandingan yang penuh dengan riuh dan semakin liar itu, permainan The Blues sebenarnya masih berantakan. Tapi ketika 62 menit berlalu, Ajax mulai kewalahan meski memiliki keunggulan tiga gol (1-4). Dengan 71 menit berlalu, Ajax lalu hanya bermain dengan sembilan pemain dan tanpa keunggulan.
Chelsea sendiri telah mencetak dua gol bunuh diri dan dua penalty. Mereka bermain dengan empat bek di belakang dan kemudian mulai mengubahnya menjadi tiga bek di belakang pada babak kedua. Perubahan ini, entah bagaimana, menjadi penyokong terbesar mereka untuk menyusul skor menjadi 4-4. Sejak saat itulah, setidaknya pertandingan menjadi berbeda. Ini semua juga dibantu oleh pergerakan dan ambisi para pemain muda Chelsea yang tidak ada habisnya.
Di atas segala yang terjadi, pada intinya pertandingan ini adalah tontonan yang sangat menghibur. Chelsea telah melakukan 22 tembakan ke gawang dan seharusnya mereka bisa menang. Tapi, sebetulnya Ajax juga sangat ceroboh. Dengan sembilan pemain di lapangan setelah Daley Blind dan Joel Veltman dikeluarkan dari lapangan, mereka justru terus berdatangan mencari gol. Hal ini memang tampak agung dan terlihat tanpa rasa takut, tapi sebenarnya, dampak dari permainan mereka itu memberikan The Blues banyak ruang.
Begitu pula dengan Chelsea, sepanjang pertandingan, mereka terus mencoba menghapus semua penampilan buruk yang dihasilkan oleh barisan belakang mereka yang compang-camping dengan berbagai pola serangan. Karena, selama satu jam, barisan pertahanan mereka sempat diobrak-abrik oleh Dusan Tadic CS. Bahkan tak tanggung-tanggung, mereka terus digempur sampai sepuluh menit tepat sebelum tendangan rendah Donny van de Beek mengubah skor menjadi 4-1.
Melihat situasi seperti ini, Frank Lampard dengan sigap berpaling, dan memberikan senyum mengerikan di wajahnya. Lampard juga sempat kesal saat menyaksikan Christian Pulisic memberikan bola jauh ke atas lapangan, namun tidak ada satu pemain pun yang bisa menyambut umpan ciamik tersebut. Pada tahap ini, Chelsea begitu terlihat kesulitan. Mereka bahkan seperti merasa frustasi dengan permainan mereka sendiri.
Namun, dengan inisiatif sebuah narasi yang ditegakkan oleh para pemain Chelsea, terutama para pemain muda, pasukan The Blues akhirnya berhasil mengubah situasi pelik tersebut menjadi menyenangkan. Ajax Amsterdam, yang juga diisi oleh banyak pemain muda, malah menjadi tempat bermain Jorginho CS di atas lapangan. Chelsea juga menempuh rute permainan yang sama seperti ketika pasukan muda Ajax mengobrak-abrik barisan pertahanan mereka.
Hanya saja ada satu atau dua perbedaan di sana, yang juga menjadi sebuah perbedaan situasi di atas lapangan. Seperti misalnya, dalam 40 menit pembukaan, Mason Mount dan Pulisic hanya menyelesaikan lima operan di antara mereka. Dan selama babak pertama, kedua pemain itu kerap memberikan bola dengan mudah ke Ajax (sebanyak 11 kali), lebih sedikit dari yang mereka lakukan pada pemain mereka sendiri. Tapi saat itu, Ajax masih terlalu kompak, terlalu kuat, dan terlalu luwes dalam gerakan mereka.
Namun, setelah perubahan yang dilakukan, Chelsea bermain sangat menyerang dengan berbagai gempuran yang mereka bisa lakukan untuk mengejar skor 1-4. Pasukan The Blues juga terlihat lebih hati-hati dalam melakukannya (itu pun karena mereka takut akan melakukan kecerobohan yang akhirnya justru menambah keunggulan Ajax). Hal ini sedikit lebih berbeda dengan yang Ajax lakukan ketika memainkan skema serangan tertata di babak pertama –mirip seperti yang pernah merkea lakukan saat melawan Tottenham pada musim lalu.
Nah, jika mempertanyakan “apa sebenarnya yang membuat Chelsea bisa melakukan semua ini?” Semua orang mungkin akan lebih tergoda untuk melihat kekacauan performa Chelsea saja, titik-titik lemahnya, atau kehilangan kontrolnya. Padahal, ada sesuatu yang sebetulnya tidak bisa diabaikan, yaitu adalah sesuatu yang vital tentang cara tim bekerja. Di satu sisi, ada pula begitu banyak pembicaraan selama beberapa pekan terakhir ini tentang cara bermain Chelsea, dan hal ini merupakan salah satu faktor yang relevan dengan apa yang terjadi di pertandingan melawan Ajax.
Maka, seperti yang juga sudah disebut di awal, semua perubahan yang Chelsea lakukan saat melawan Ajax adalah lahir dari jiwa pemain muda yang begitu menggebu-gebu. Mereka semua adalah pemecah kebuntuan, dan tampaknya hal ini begitu sangat luar biasa untuk sebuah klub yang akhirnya menemukan sedikit “jiwa muda” di atas sanksi larangan transfer pemain. Atau lebih tepat dan singkatnya, Chelsea berhasil menemukan sesuatu yang begitu “mengejutkan” selama 15 tahun terakhir.
Selain itu, Chelsea juga setidaknya berhasil mendapat satu poin untuk menjaga level mereka dengan Ajax. Semangat, kehangatan dan keinginan untuk merebut tempat di posisi 16 besar begitu besar dalam tim mereka. Jadi, “jiwa muda” itu mungkin belum berakhir. Bahkan, empat poin dari dua pertandingan terakhir (Liga Champions) masih bisa menjadi salah satu motivasi para pemain muda untuk terus konsisten menampilkan bentuk apik mereka selama musim ini.
Sumber: The Guardian