Kesempatan dan Peluang Sven-Goran Eriksson di Timnas Filipina

Foto: Goal.com

Timnas Filipina kembali membuat gebrakan. Setelah sukses dengan program naturalisasi yang membawa mereka menjadi semifinalis Piala AFF dalam tiga gelaran berturut-turut (2010, 2012, 2014), kali ini mereka kembali membuat gebrakan: merekrut Sven-Goran Eriksson.

Dahulu kala, Filipina bukanlah kekuatan sepakbola di wilayah Asia Tenggara. Konsentrasi olahraga masyarakatnya yang lebih terfokus pada basket membuat perkembangan olahraga lain di negara ini, termasuk sepakbola, tidak begitu terasa/ Sampai sekira 2009, sepakbola menjadi anak tiri di negara Filipina.

Namun, semua berubah saat Dan Palami menjadi manajer Timnas Filipina pada 2009. Impiannya untuk mengangkat derajat sepakbola Filipina di mata dunia membuatnya melakukan berbagai langkah, termasuk menerapkan kebijakan naturalisasi di tubuh Timnas Filipina. Jadilah nama-nama seperti Younghusband bersaudara, Manuel Ott, Neil Etheridge, dan Misagh Bahadoran dikenal sekarang ini.

Selain menerapkan beberapa kebijakan strategis, Dan juga merekrut pelatih-pelatih andal agar kualitas permainan dari Timnas Filipina terangkat. Simon McMenemy adalah nama yang pertama muncul, mengantarkan Filipina ke semifinal Piala AFF 2010. Sekarang, Simon mulai banyak berkelana di tim-tim Indonesia macam Mitra Kukar dan Bhayangkara FC.

Setelah Simon, ada nama Thomas Dooley yang sukses mengantarkan Filipina ke Piala Asia 2019. Raihan Dooley yang apik ini yang membuat nama Filipina mulai terangkat, tidak hanya di Asia Tenggara, tapi juga di level Asia. Dan sekarang, mereka melakukan gebrakan baru lagi: merekrut Sven-Goran Eriksson. Dalam waktu dekat, Eriksson akan menjadi nakhoda Filipina dalam ajang Piala AFF 2018.

Apa yang bisa ditawarkan pelatih berusia 70 tahun tersebut untuk “The Azkals”?

Taktik Pragmatis Sven-Goran Eriksson 

Sven-Goran Eriksson bukanlah nama baru di dunia kepelatihan sepakbola. Masanya sebagai pelatih sudah dimulai sejak akhir 1970-an silam, ketika dia melatih Degerfors IF, menjadi asisten pelatih dari Tord Grip, sosok yang dia kagumi. Dari situ, perjalanan panjangnya sebagai pelatih dimulai.

Berbagai klub di Eropa, seperti Benfica, AS Roma, Fiorentina, Sampdoria, Lazio, Manchester City, dan Leicester City, juga beberapa tim di Asia dan Afrika, semisal Guangzhou R&F, Shainghai SIPG, serta Shenzhen, pernah merasakan servis dari Eriksson. Dia juga akrab melatih beberapa tim nasional, seperti Timnas Pantai Gading, Timnas Meksiko, dan tentu saja Timnas Inggris.

Banyaknya pengalaman yang didapat oleh Eriksson ini mencerminkan bahwa sosok Swedia ini tentu bukan sosok sembarangan. Selain banjir pengalaman, sosok asal Swedia tersebut memiliki sesuatu yang disebut sebagai ciri khas. Dasar pemikiran yang selalu dia bawa ke manapun dia melatih.

Terpengaruh oleh gurunya selama di Swedia, Tord Grip, yang juga terpengaruh oleh gaya melatih Bobby Houghton dan Roy Hodgson, membuat Eriksson justru menjadi sosok Swedia yang betul-betul Inggris. Cara bermain Inggris benar-benar dia dalami, resapi, dan menjadi dari dasar dia melatih. Formasi 4-4-2, menekan lawan dengan agresif saat lawan tidak menguasai bola, serta bermain lebih “direct”, menjadi ciri dari tim yang diasuh Eriksson.

Selain kental dengan cara bermain Inggris, Eriksson juga dikenal sebagai sosok pelatih yang pragmatis. Baginya, bermain indah bukanlah sesuatu yang mesti. Hasil adalah hal yang terpenting, dan itu adalah sesuatu yang juga menjadi ciri khas lain dari tim yang dia asuh. Namun, tak jarang sistem pragmatis yang dia terapkan ini membuatnya jadi sosok yang dicaci maki.

Hal ini tampak saat dia melatih IFK Goteborg. Walau menjuarai Allsvenskan pada 1982 serta Piala Swedia pada musim 1978/1979 dan 1981/1982, hal itu tak serta merta membuat namanya dikenal harum di sana. Taktik pragmatis yang dia terapkan tidak disukai oleh para suporter Goteborg.

Meski begitu, dia bergeming. Dia percaya bahwa hasil apik akan membawa para suporter kembali lagi mendukung klub. Maka, dia terus menyajikan hasil, dan pada akhirnya, suporter memang kembali saat trofi demi trofi berdatangan ke Goteborg.

Gaya bermain seperti ini juga dia terapkan di tim-tim lain yang dia latih, macam AS Roma, Fiorentina, Lazio, serta Benfica. Uniknya, dari semua tim itu, ada satu hal lain yang kerap dilakukan oleh Eriksson: tidak bertahan terlalu lama. Paling banter, dia hanya bertahan satu sampai tiga musim di sebuah klub. Terkecuali di Timnas Inggris, dia mampu bertahan sampai lima musim.

Lalu, dengan riwayatnya yang tidak bisa melatih sebuah tim dalam waktu yang lama dan juga tidak terlalu bergelimang trofi (meski banyak pengalaman), apa yang bisa dijanjikan Eriksson untuk Filipina?

Kesempatan Eriksson di Filipina

Sebenarnya, sebelum menerima tawaran dari Timnas Filipina, dia sudah menerima banyak tawaran untuk melatih Timnas lain usai tak lagi berkarier di Tiongkok. Namun, ada satu alasan lain yang membuatnya mau menerima tawaran kerja dari Timnas Filipina: kesempatan membangun skuat.

“Kami membutuhkan keberanian, yakni keberanian menjual ide kepada Sven untuk meninggalkan warisan di Filipina,” ujar Dan Palami, manajer Timnas Filipina.

Kelihaian Eriksson membangun skuat yang stabil sudah tampak saat dia menangani AS Roma. Meski di musim perdananya dia dianggap gagal, namun, fondasi yang sudah dia bentuk di musim pertama menemukan hasilnya di musim kedua. Roma menjadi salah satu tim yang menakutkan di Italia.

Maka, dengan kemampuannya membangun fondasi skuat ini, sesuai dengan yang diujarkan Palami, Eriksson dapat meninggalkan sesuatu yang berharga bagi Filipina jika kelak dia tidak lagi menangani “The Azkals”. Fondasi yang dia bangun, kelak di ajang Piala AFF 2018 dan ajang Piala Asia 2019, dapat menjadi patokan bagi Filipina untuk membangun skuat di tahun berikutnya.

Ya, melihat hal ini, jelas Filipina sudah memikirkan sepak bola lebih jauh ke depan. Lalu, bagaimana Indonesia?