Berbicara tentang Watford FC, mungkin banyak orang yang tidak terlalu memperhatikan sepak terjang klub asal kota Watford, Hertfordshire yang terletak 24 km sebelah barat London. Kehadiran mereka ke Premier League pada musim 2015/2016 diprediksi hanya akan menjadi klub “yo-yo”.
Nyatanya, klub yang dimiliki oleh pengusaha Italia, Gino Pozzo kini banyak diperbincangkan banyak pihak, terutama para pemerhati ekonomi. Berbagai keputusan yang diambil klub berkostum kuning-hitam ini ternyata membuat mereka bisa bertahan lama di Premier League –setidaknya sudah 3 musim dan hal tersebut merupakan sebuah prestasi.
Mulanya, klub berjuluk The Hornets ini gemar bermain di divisi kedua sepakbola Ingris, Championship sejak terdegradasi dari Premier League pada musim 2006/2007. Kedatangan keluarga Pozzo yang saat itu dikenal memiliki berbagai saham di berbagai klub seperti Udinese dan Granada ditengarai sebagai salah satu faktor sukses yang menghinggapi Watford saat ini.
Langkah Cerdik klan Pozzo Menjalankan Watford
Seperti model bisnis yang dijalankan oleh Giampaolo Pozzo, sang anak Gino Pozzo juga meniru langkah “pelan tapi pasti” yang kerap dijalankan sang ayah di Udinese. Musim 2012/2013 yang menjadi awal setelah pengakuisisian dari tangan Laurence Bassini. Watford yang tentunya memiliki kemudahan untuk bertukar pemain dengan Udinese tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Musim itu, 10 pemain Udinese dan 2 pemain Granada diboyong secara pinjaman ke Vicarage Road. Pengecualian untuk striker Fernando Forestrieri yang dibeli sengan nilai yang dirahasiakan, juga dari Udinese.
Sialnya, meskipun tampil impresif dibawah asuhan Gianfranco Zola –yang penunjukannya kontroversial- pasukan Watford gagal melaju ke posisi promosi otomatis. Langkah mereka di babak play-off juga harus terhenti oleh Crystal Palace di laga final dengan skor pahit 0-1.
Sempat mengalami kemerosotan prestasi di musim berikutnya, usaha Pozzo untuk mengangkat Watford menuju level selanjutnya berbuah manis pada dua musim berikutnya. Musim 2014/2015, dibawah 3 manajer yang berbeda sejak awal musim (Beppe Sannino kemudian Oscar Garcia, Watford berhasil keluar sebagai runner-up dan berhak promosi ke Premier League. Perjudian Pozzo untuk menunjuk Slavisa Jokanovic menjadi kunci. Troy Deeney dkk. hanya terpaut selisih 1 poin dari sang juara, Bournemouth.
Ketepatan Merekrut Pemain
Hal yang paling mencolok apabila membandingkan Watford dengan klub-klub lainnya adalah masalah kejelian mereka untuk merekrut pemain berkualitas dengan harga semurah mungkin. Apabila memunginkan, gratis. Sebagai contoh, 7 dari 11 pemain yang mereka rekrut pada musim 2014/2015 adalah free transfer. Diantaranya adalah kiper Huerelho Gomes dari Spurs dan Marco Motta dari Juventus. Sebagian sisanya bisa ditebak, pemain dari Udinese dan Granada yang juga menjadi pemain kunci seperti Odion Ighalo, Juan Carlos Paredes, dan Miguel Layun.
Bermain di Premier League dan mendapatkan kucuran dana segar untuk membenahi tim tak serta-merta digunakan Watford dalam berbelanja pemain. Alih-alih menguras bajet transfer, pembelian mereka terbilang jitu. Contohnya pembelian pemain seperti Ettiene Capoue dari Spurs seharga 5,7 juta paun, Abdoulaye Doucoure dari Granada, Jose Holebas dari AS Roma dengan 1,8 juta paun, yang hinggakini bahkan masih menjadi pemain kunci bagi Watford.
Di musim 2016/2017 pun Watford seperti tak kehilangan keahliannya dalam merekrut pemain. Meskipun harganya tak semurah sebelumnya, rekrutan seperti Roberto Pereyra dari Juventus (13 juta paun), Isaac Success dari Granada (12,5 juta paun), Daryl Janmaat dari Newcastle (7 juta paun).
Nama-nama seperti Will Hughes, Nathaniel Chalobah, Tom Cleverley, dan Andre Gray adalah rekrutan efektif Watford musim lalu. Ini semakin menegaskan kalau posisi Watford yang terus menerus memperkuat tim mereka.
Begitu pula ketika berbicara keahlian Watford dalam menjual pemain. Richarlison misalnya. Watford merekrutnya musim lalu dengan nilai 11 juta paun dan menjualnya ke Everton dengan nilai 40 juta paun. Begitupun dengan keputusan mereka yang menjual striker tajamnya, Odion Ighalo ke klub CSL, Changchun Yatai seharga 20 juta paun.
Meskipun transfer Watford bukan tanpa cela. Mereka juga gagal total saat merekrut Younes Kaboul (dilepas kontrak), Mauro Zarate, dan Juanfran yang sulit mendapat tempat di tim inti.
Memecat Pelatih Sebagai Sebuah Cara Bertahan
Seperti stereotype pemilik klub asal Italia yang gemar memecat pelatihnya, begitu pula dengan Gino Pozzo. Selama 7 tahun kepemilikan keluarganya di Watford, Pozzo sudah mengganti sebanyak 9 pelatih kepala. Dimulai dari pemecatan kontroversial Sean Dyche pada awal musim 2012/13, pemecatan Gianfranco Zola, Beppe Sannino. Nama-nama tenar seperti Slavisa Jokanovic, Quique Snchez Flores, Walter Mazzari, dan terakhir, Marco Silva juga tak luput dari “kebuasan” Pozzo.
Strategi yang dipilih ini ditengarai tak lain untuk mempertahankan posisi Watford sebagai klub Premier League. Uang hasil hak siar dan juga bonus posisi finis yang besar tiada lain adalah jalan untuk mempertahankan stabilitas keuangan Watford FC. Ditambah, penjualan mahal dua bintangnya, Richarlison dan Odion Ighalo memberikan sumbangsih besar dalam neraca keuangan mereka.
Bersama pelatih kepala Javi Gracia, Watford kini mencapai posisi tertinggi selama era Pozzo. Hingga pekan ke-32, The Hornets bertengger di posisi 8 klasemen. Hanya terpaut 1 poin dari Wolverhampton Wanderers yang berada diatasnya. Apabila dibandingkan dari nominal belanja diantara keduanya, tentulah Watford lebih unggul.
Watford adalah contoh bagaimana Pozzo bisa bertahan dari kerasnya persaingan Premier League. Ia dapat membuktikan, bahwa kompetisi paling bergengsi sejagad tersebut tak melulu masalah uang. Kepastian terdegradasinya Huddersfield Town dan Fulham –klub yang menghabiskan 100 juta paun di musim ini seakan menjadi bukti nyata.
Meskipun tentunya tak semua klub bisa mengadaptasi semua langkah yang diambil Watford, agaknya menjadi tepat kalau tim-tim promosi Premier League harus mencontoh apa yang mereka lakukan.