Manajer Everton, Marco Silva, tidak berhasil menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya telah menyelesaikan masalah lama meski sudah menghabiskan biaya besar guna membeli pemain untuk timnya. Alih-alih memperbaiki keadaan, pemain yang dibeli justru kerap tampil tanpa semangat dan komitmen.
Kekhawatiran Everton sekarang sangat terkonsentrasi pada tabel bawah klasemen Premier League, dan situasi semacam ini tanpa disadari menambah masalah bagi Marco Silva. Di sisi lain, banyak yang mulai membandingkan Everton dengan tim lain yang jauh lebih sedikit menghabiskan uang tapi justru mendapatkan bentuk terbaik di musim ini.
Salah satu klub itu adalah Famalicao. Klub asal Portugal tersebut sejauh ini tak terkalahkan, bermain solid, dan membuat iri klub-klub lokal di Liga Portugal. Famalicao sendiri hanya memiliki kapasitas stadion lebih dari 5.000, tapi mereka saat ini memimpin klasemen di atas Benfica, Porto dan Sporting berkat dampak sukses dari manajer baru mereka, João Pedro Sousa, asisten lama Marco Silva musim lalu yang juga telah bekerjasama selama tujuh tahun di lima klub berbeda.
Di sisi lain, Sousa juga adalah orang yang diberikan kepercayaan oleh Silva pada musim lalu untuk membantunya memperbaiki lari pemain dan ketidakmampuan mereka yang kurang konsisten ketika bertahan saat bola mati. Namun dengan tidak adanya back up Sousa, hal seperti itu malah kembali lagi terjadi di musim ini.
Itulah yang menyebabkan mengapa banyak para suporter Everton yang geram dengan Silva karena sosoknya justru tidak membuat perubahan apapun di Goodison Park. Hal ini membuat mantan manajer Watford tersebut mulai bergerak ke arah jurang. Ia juga terus-terusan menerima banyak tekanan yang meningkat di atas bentuk permainan timnya itu.
Sampai-sampai, kemarahan besar dari para suporter Everton sempat membeludak dalam pertandinan melawan Burnley beberapa pekan lalu, yang akhirnya membuat Marco Silva inisiatif untuk menghentikannya dengan bertepuk tangan setelah pertandingan usai. Setidaknya, pria berusia 42 tahun itu masih memiliki kesopanan untuk mengakui kehadiran mereka, setelah sebagian besar pemain The Toffees lebih memilih langsung menuju ruang ganti.
Para pemain itu tampak melambangkan kurangnya ambisi dan tanggung jawab yang berkontribusi terhadap kinerja Everton di musim ini. Norma semacam itu mulai muncul dan merusak suasana tim sejak kedatangan Farhad Moshiri sebagai pemilik klub pada bulan Februari 2016. Pergolakan internal terus terjadi sejak saat itu, dan bahkan tiga minggu yang lalu, Silva sempat mengklaim kalau rasa krisis mudah terjadi meski uang banyak telah dihabiskan di bawah Moshiri.
Di satu sisi, sang pemilik klub tersebut pun selalu menuntut banyak dengan mengharuskan Everton masuk kualifikasi Eropa di musim ini karena dianggap ia sudah menghabiskan banyak biaya untuk mendatangkan pemain-pemain baru. Tapi, sepertinya sang pemilik klub mesti bersabar setelah tau apa yang terjadi di musim ini. Pasalnya, Everton tidak bisa memenuhi tuntutannya setelah hanya mampu finis di urutan ketiga dari bawah dalam delapan pertandingan Premier League.
Sekitar 117 juta paun pengeluaran dan 84 juta paun pendapatan Everton dinilai tidak mengubah apapun. Jendela transfer di musim panas ini pun tidak sepenuhnya berhasil, dan justru membuat mereka kehilangan dua sosok penyokong tim seperti Idrissa Gueye yang pindah ke Paris Saint-Germain dan Kurt Zouma yang kembali di Chelsea.
Everton hanya bisa menyisakan “remah-remah” yang ada di dalam tim mereka seperti Oumar Niasse. Lalu, terdapat juga dua pemain kondang seperti Gylfi Sigurdsson dan Richarlison, yang mulai mengalami penuruan performa setelah tidak berkontribusi maksimal di musim ini. Maka tidak mengherankan kalau Marco Silva terlihat pasrah dan sudah menerima bahwa keadaan seperti ini sangat terlambat untuk kembali dirombak.
Ditambah lagi, cedera André Gomes dan Jean-Philippe Gbamin telah menciptakan masalah tambahan untuk Silva di tim utamanya. Oleh karena itu, Silva mulai sedikit merubah skema taktiknya dengan menempatkan Fabian Delph dan Morgan Schneiderlin sebagai mitra lini tengah yang lebih defensif dengan (terpaksa) harus mengorbankan kualitas lini depan tim sebagai bahan konsekuensinya.
Maka dari itu, keputusan Silva tersebut merupakan akar inti dari ompongnya lini serang Everton di musim ini. Seperti Moise Kean misalnya, pemain muda baru berusia 19 tahun yang direkrut dari Juventus dengan mahar 29 juta paun itu belum mencetak gol sejak kedatangannya di musim panas kemarin. Selain itu, Silva juga hanya mau memilih Dominic Calvert-Lewin ketimbang satu-satunya striker yang berpengalaman, Cenk Tosun, untuk diplot sebagai opsi pertama karena sang pemain dianggap tidak cocok dengan gaya permainannya.
Baik dari aspek tim, pemain ataupun manajernya, semua sedang berada dalam kondisi yang sangat parah. Dan yang lebih parah dari itu semua adalah ketika melihat skuat awal Everton yang berharga lebih dari 250 juta paun saat laga melawan Burnley harus kalah dengan skor 1-0 di akhir laga. Maka tidak ada yang mengejutkan mengapa para suporter merasa marah kepada permainan tim kesayangannya?
Menurut salah satu pundit di The Guardian, Andy Hunter, menilai kalau sebenarnya Marco Silva sedang membuka jalan ke pintu keluarnya sendiri. Sebetulnya para petinggi Everton saat ini juga sedang memanfaatkan jeda internasional sebagai waktu untuk diskusi mereka soal perubahan kursi pelatih. Tapi, karena mereka akan menghadapi West Ham dan Watford satu minggu ke depan, maka Silva masih diberikan kepercayaan untuk membawa kembali wibawa The Toffees ke asalnya.