Kegagalan Tammy Abraham mengeksekusi tendangan penalti di final Piala Super Eropa menghadapi Liverpool pada Agustus lalu, berbuntut panjang. Ketika kembali ke ruang ganti, handpone-nya panas. Di media sosial, komentar-komentar keji mengalir deras ditujukan padanya.
“Aku ingat bicara pada ibuku, dia begitu emosional, dia menangis. Anda tahu, dia hanya berpikir: ‘Kenapa dia? Kenapa dia?’ Komentar itu jelas tak enak didengar, terutama melihat anakmu jadi bahan pelecehan,” kata Abraham, dikutip dari CNN.
“Buatku, aku punya karakter yang kuat, sehingga rasis tak berefek besar buatku. Tapi ucapan rasis itu bisa berdampak pada orang-orang yang tak punya kepribadian macam aku. Ini adalah momen yang menantang buatku, aku mengalami begitu banyak emosi. Setiap orang bisa gagal penalti, tapi dengan gagal penalti saya jelas hancur.”
Musim ini, Abraham dipanggil ke tim utama Chelsea. Sebelumnya, ia hanya dipinjamkan ke Bristol City, Swansea City, dan Aston Villa, dalam tiga musim terakhir. Namun, di bawah Lampard, Abraham mulai melihat seberkas cahaya.
“Aku sering mendapatkan pelecehan rasial, tapi Frank Lampard selalu merangkulku, mengangkatku ke atas,” tambah Abraham.
Faktanya, Abraham mengakui kalau ia sering salah tingkah saat bertemu Lampard. Bagaimana tidak? Lampard adalah pemain idolanya, dan kini ia bisa bekerja bersamanya. Dukungan dari Lampard dan semua pihak di dalam tim memberikan peran besar dalam membantu pemain berusia 21 tahun tersebut menangani serangan rasial.
“Langsung setelahnya, anak-anak, pemain dan semua orang di Chelsea mendukungku. Besoknya, [Lampard] memanggilku untuk mengetahui kondisiku. Dia tak ingin membahas situasinya karena dia tahu bagaimana perasaanku, tapi dia hanya ingin tahu bagaimana kondisiku, memastikan kalau aku tak terganggu dari sepakbola dan kehidupan pribadiku baik-baik saja,” kata Abraham.
“Amat menyenangkan bisa mendapatkan dukungan saat Anda melalui masa-masa seperti itu.”
Menuntut Penanganan Serius
Rasisme yang dialami Abraham hanyalah awalan. Setelahnya, Paul Pogba, Marcus Rashford, dan Kurt Zouma, juga menjadi sasaran serangan rasial. Hal ini membuat banyak pihak mempertanyakan kemauan pemangku kebijakan seperti FA ataupun FA dalam melindungi pemain dari serangan rasial.
Twitter sampai-sampai harus turun tangan menangani lebih dari 700 insiden pelecehan rasial yang terkait dengan sepakbola Inggris. Twitter bahkan telah bertemu dengan PFA dan organisasi anti-rasisme, Kick It Out. Namun, Abraham merasa kalau itu masih belum cukup.
“Ini hanya memberikan semua orang alasan untuk online, di belakang laptop mereka, di belakang telepon, untuk mengatakan apa yang mereka inginkan. Sebagian orang mungkin tak berpikir kami melihatnya, tapi kami memang melihatnya dan mereka hanya ingin mendapatkan reaksi.”
“Jadi, Twitter harus mengerti. Mereka bicara banyak soal cyber bullying dan bullying hadir di media sosial. Aku pikir, sejumlah orang tak merasa kalau pesepakbola juga manusia, yang punya kepribadian. Kami semua manusia, kami melihatnya dan itu berdampak bagi kami. Kini, Twitter harus melakukan sesuatu.”
Dukungan Orang-Orang Terdekat
Setelah serangan rasial tersebut, performa Abraham seperti tak terpengaruh. Dari empat pertandingan di Premier League, ia sudah mencetak empat gol. Hal ini tak lepas dari dukungan orang-orang terdekatnya: kedua orang tuanya, kekasih, dan sahabat masa kecilnya.
“Mereka telah bersamaku sepanjang ini, kamu tahu, masa yang menyenangkan, masa yang buruk, mereka selalu mengangkatku,” ucap Abraham
Abraham sangat menyadari perjuangan yang dihadapi oleh para pemain kulit hitam dalam beberapa dekadesudah berlalu tetapi ia juga terkejut karena perjuangan ini tidak hanya berlanjut, tetapi tampaknya semakin buruk.
“Saya pikir masalah itu sudah lama hilang,” katanya. “Tentu saja Anda akan selalu mendapatkannya sekarang dan kemudian di negara-negara tertentu tetapi tidak, saya tidak berpikir itu akan menjadi masalah di zaman kita sekarang.”
Sebagai putra dari keturunan Nigeria yang pindah ke Inggris pada usia muda, ia bahkan lebih menyadari perjuangan yang dihadapi oleh minoritas di masyarakat luas.
“Ketika saya mengalami pelecehan rasial, ayah saya tertawa dan berkata, ‘Dengar, nak, ini bukan apa-apa. Ini tidak seperti apa yang sudah biasa kami lakukan, kamu tahu, ini lebih dari media sosial. Ini berbeda ketika orang-orang mengatakannya di hadapanmu, jadi ini bukan masalah untuk dikhawatirkan. Ini adalah masalah kecil. Kamu akan berhasil melewatinya dengan kuat.’ (Ucapan orang tua saya itu) Itu selalu enak didengar, terutama dari orang tuamu.”
Abraham tumbuh di London bagian selatan, di mana bagian tersebut dikenal sebagai bagian multikultural. Abraham pun bangga dengan warisan Nigeria-nya dan peran yang dimainkan dalam membentuk masa kecilnya.
“Kami adalah orang Kristen yang taat. Saya memiliki banyak keluarga Nigeria yang tinggal di sekitar saya, banyak teman Nigeria, banyak teman Afrika,” katanya. “Banyak teman dari berbagai budaya yang telah terbiasa dengan budaya Nigeria saya, terutama datang ke rumah saya dan makan makanan ibu saya. Aku selalu bangga.”