Stade Pierre-Mauroy semestinya menjadi tempat untuk mengakhiri perburuan gelar juara Ligue 1 musim ini. Namun, yang terjadi justru pembantaian, terhadap si pemuncak klasemen. Di tangan rival terdekatnya, Lille, Paris Saint-Germain dihancurkan 1-5. Selain memalukan, kekalahan ini juga menunda perayaan gelar juara Liga Prancis yang seharusnya terjadi pada Minggu (14/4) malam itu.
Paris Saint-Germain sejatinya sudah memimpin La Liga dan hampir tak terkejar dalam sisa tujuh laga. Kylian Mbappe dan kolega sudah mengumpulkan 81 poin, sementara Lille di peringkat kedua mengumpulkan 64 poin. Artinya, terdapat jarak 17 poin, sementara sisa pertandingan Lille hanya enam. Ini artinya, kalau PSG tidak kalah, mereka akan langsung merayakannya di Stade Pierre-Mauroy.
Dalam pertandingan itu sendiri, PSG sebenarnya tidak bermain buruk. Secara total penguasaan bola, PSG mendapatkan 56 persen, meskipun secara agresivitas, mereka kalah 10 attemps berbanding 15.
Lille berhasil mencetak gol cepat lewat gol bunuh diri Thomas Meunier pada menit ketujuh. Empat menit kemudian, PSG berontak lewat gebrakan di sisi kiri mereka lewat Juan Bernat. Namun, pada menit ke-36, Bernat justru diusir wasit karena melakukan pelanggaran terhadap Nicolas Pepe. Superioritas Lille mulai terlihat di babak kedua. Secara berturut-turut Nicolas Pepe, Jonathan Bamba, Gabriel, dan Jose Fonte, merobek jala gawang Alphonse Areola.
Ini merupakan kali kedua PSG gagal merayakan gelar juara Ligue 1 lebih cepat. Sebelumnya, mereka berpeluang meraih gelar andai menang melawan Racing Strasbourg di kandang. Namun, mereka hanya mendapatkan hasil seri ditambah dengan aksi “memukau” Choupo Moting yang menggagalkan gol PSG. PSG baru bisa memastikan gelar apabila mereka menang atas Nantes pada Rabu (17/4) esok.
Kekalahan 1-5 ini merupakan yang terbesar sejak PSG diambil alih Qatar Sports Investment (QSI) pada 2011. Ini adalah kekalahan terburuk PSG di level domestik sejak 2009 ketka mereka dikalahkan Bordeaux pada 2009. Ini pula pertama kalinya mereka kebobolan lima gol di liga, setelah terakhir kali terjadi pada 2000, ketika PSG kalah 1-5 oleh Sedan.
Selain itu, ada sejumlah momen di mana dua gol Mbappe di awal pertandingan dianulir karena offside. Pukulan telak buat PSG adalah ketika Thiago Silva mengalami cedera otot.
Kepada Canal+, Mbappe mengakui kalau kekalahan PSG ini adalah karena kurangnya kepribadian dalam tim.
“Anda bisa kalah, tapi Anda harus kalah dengan cara tertentu. Kami tak boleh kekurangan karakter seperti yang kami lakukan di sini. Kebobolan tiga, empat, atau lima gol itu tidaklah normal.”
“Mereka bilang, kalah itu biasa, tapi kami harus bermain dengan lebih banyak kepribadian, itu adalah salah satu kegagalan terbesar kami. Kami bermain seperti pemula di sini,” ungkap pemain yang diorbitkan AS Monaco ini.
Sementara itu, Pelatih PSG, Thomas Tuchel, merasa kalau kekalahan besar ini masih normal. Namun ia pun mengkomplain soal kekurangan pemain yang fit untuk bertanding.
“Tentu saja, kalah 5-1 itu normal dengan situasi seperti ini. Apa yang tidak normal adalah memenangi banyak pertandingan dengan hanya sedikit pemain. Moussa Diaby dan Thilo Kehrer tak bisa bermain. Mereka sakit. Aku tak tahu siapa yang bisa main melawan Nantes karena kami cuma punya 13 atau 14 pemain,” tutur mantan pelatih Borussia Dortmund tersebut.
“Kami kehilangan terlalu banyak pemain dan tak ada yang bicara soal ini. Kami kehilangan Lassana Diarra dan Adrien Rabiot, sementara Neymar, Edinson Cavani, Angel Di Maria, Marquinhos, dan Thiago Silva, juga tak bisa tampil. Kini Thomas Meunier yang tumbang,” ungkap Tuchel.
“Tak ada orang yang bicara soal ini, karena kami terus menang. Orang berpikir bahwa memainkan Juan Bernat sebagai pemain No 10 itu normal, dan pemain yang cedera dan tak bisa main, harus juga main. Ya, aku akan bilan pada presiden klub kalau situasinya tak bagus.”