Guru Sepakbola Pragmatis Inggris (1): Berawal dari Liverpool

Foto: Sky Sports

Sepakbola Inggris, kini sangat kaya dengan beragam taktik, strategi, dan juga komposisi pemain. Dari Gegenpressing yang dibawa oleh Jurgen Klopp, hingga tiki-taka ala Guardiola, semua memiliki ciri khas dalam bermain dengan tujuan meraih kemenangan dan memeragakan sepakbola sesuai pakem atau ciri masing-masing.

Namun ada yang hilang. Minim sekali menemui sepakbola ala Inggris, atau biasa dikenal dengan kick and rush. Sulit menemui manajer asal Inggris di Premier League selama sedekade terakhir. Pun bila ada, nyaris sulit bagi para manajer Inggris untuk bersaing di papan atas liga.

Suara sumbang terdengar ketika banyak yang menyebut pelatih asal Inggris terlalu pragmatis dengan taktik Kick and Rush mereka yang sudah using dan tidak lagi relevan. Sejatinya sepakbola Inggris memang berasaskan pragmatisme. Tiga tokoh yang mungkin bisa menjadi kambing hitam atau mungkin inovator dari sepakbola Inggris adalah Charles Hughes, Charles Reep, dan Graham Taylor.

Nama terakhir memang cukup terkenal bagi penikmat sepakbola Inggris dari 90-an, Graham Taylor memang pernah menjadi pelatih Timnas Inggris, Aston Villa dan juga Watford. Namun dua nama yakni Charles Hughes dan Charles Reep juga memiliki andil dari sepakbola pragmatis Inggris medio 1970-an hingga 1980-an.

Taktik Inggris Antitesis Liverpool

Mundur di era 1960-am hingga awal 1970-an, saat itu Liverpool berkuasa di Inggris. Tangan dingin Bill Shankly membuat The Reds berjaya di domestik, tapi kesulitan meraih gelar di kompetisi Liga Champions atau European Cup. Shankly adalah sosok yang sangat fasih menganut faham dari Jimmy Hogan, di mana penguasaan bola adalah kunci dalam meraih kemenangan.

Paham itulah yang membuatnya kesulitan di Eropa. Dengan sistem gugur, semua tim rata-rata bermain pragmatis untuk meraih kemenangan, dibanding meladeni gaya menyerang Liverpool yang saat itu diisi oleh Roger Hunt dan Peter Thompson sebagai dua ujung tombak di depan.

Shankly kemudian menyadari secara taktikal, bahwa permainan menekan ala Liverpool sulit membawa Liverpool meraih gelar di Eropa. Semua disadari oleh Shankly ketika Liverpool akan berhadapan dengan Anderlecht pada putaran kedua European Cup 1965. Sebelum laga tersebut, Shankly mengamati laga uji coba antara Inggris menghadapi Belgia di Wembley.

7 pemain Anderlecht bermain bagi Belgia. Shankly mengamati cara bermain Belgia yang sangat cepat dalam melakukan serangan balik. Secara khusus Shankly melihat permainan Paul van Himst dan Jef Jurio yang defensif namun cepat dalam melakukan serangan balik.

Bill Shankly kemudian mendiskusikan pemainan pragmatis dengan Bob Paisley sang asisten. Namun rencana tersebut agak tersendat dengan kukuhnya pendirian Shankly untuk bermain menyerang.

Paisley kemudian menjadi manajer Liverpool pada 1974/1975, tanpa mengubah cara bermain Liverpool. Hasilnya? Tiga gelar juara European Cup, dan satu gelar UEFA Cup diraihnya.

Ketika Liverpool sukses menunjukkan bahwa sepakbola menyerang dengan penguasaan bola menadi kunci kemenangan, Inggris sedang dalam tren bermain pragmatis. Tokohnya? Charles Hughes yang merupakan Direktur Teknik FA, Graham Taylor yang saat itu menangani Watford, dan Charles Reep yang merupakan ahli statistik.

Charles Hughes adalah pria yang dianggap “meracuni sepakbola Inggris”. Dirinya dianggap nihil pengetahuan mengenai sepakbola. Ini diperparah dengan tingkahnya yang doyan mengklaim bahwa ia memahami taktik sepakbola yang cocok bagi Inggris.

Dan di saat yang sama, Watford dan Wimbeldon menampilkan permainan unik nan menakjubkan. Graham Taylor lah sosok di balik prestasi Watford. Graham Taylor ditunjuk untuk menangani Watford oleh sang owner, Elton John, pada musim 1976-1977. Targetnya? Membawa Watford bertahan di divisi empat Inggris atau Football League Fourth Division.

Taylor diberikan kontrak lima musim, dan dalam lima musim, Taylor membawa Watford bukan hanya promosi ke Championship Division, namun membawa Watford berkompetisi di Eropa pada musim 1982/1983.