Musim ini, Liverpool menjadi salah satu kesebelasan yang menakutkan di Premier League maupun Liga Champions. Musim lalu, The Reds menggondol gelar keenam Liga Champions, sedangkan musim ini, Liverpool belum terkalahkan dari empat laga. Mereka bahkan menyapu bersih semua laga dengan kemenangan. 12 angka dikemas Liverpool dan membuat mereka kokoh di puncak klasemen Premier League.
Secara filosofi permainan, Liverpool saat ini sangat kental dengan Gegenpressing yang dibawa oleh Jurgen Klopp sebagai pelatih. Bermain cepat, mengandalkan penguasaan bola, ditambah dengan transisi dan menekan dengan garis tinggi ke pertahanan lawan, bagi sebagian orang inilah “Liverpool Way” atau bagaimana cara Liverpool menjalankan skema yang menjadi ciri khas dalam bermain sepakbola, atau benarkah demikian?
Mungkin sedikit pudar dari ingatan bagaimana Bill Shankly mendobrak stigma pragmatis Inggris era 1970-an. Membawa Liverpool digdaya di Championship Division yang saat itu merupakan divisi tertinggi di Inggris, sebelum Shankly sadar bahwa di Eropa, membutuhkan lebih dari skema menyerang untuk menjadi juara Liga Champions.
Shankly kemudian melakukan sebuah revolusi di ruang sepatu Anfield. Pemikiran Shankly yang akan mengubah semua permainan Liverpool, sekaligus mengubah The Reds menjadi klub yang identik dengan gelar juara di Eropa maupun dataran Inggris.
Liverpool vs Red Star Belgrade, Liga Champions 1973
Charles Lawler, memberikan harapan bagi Liverpool di babak Perempat Final Liga Champions menghadapi Red Star Belgrade. Golnya membuat laga yang digelar di Marakana berkesudahan 2-1 bagi Red Star. Leg kedua akan digelar di Anfield, dengan membawa satu gol tandang, The Reds hanya butuh menang 1-0 dari Red Star. Namun, Liverpool kembali menelan kekalahan 1-2 dari Red Star. Gol dari Vojin Lazareviç dan Slobodan Jankovićā, cukup membuat Liverpool tersingkir dari Liga Champions.
Kekalahan ini membuat Bill Shankly bertanya-tanya, apa yang salah dari taktiknya? Dalam pertandingan tersebut, Liverpool kalah segalanya. Penguasaan bola, menciptakan peluang, The Reds kalah segalanya. Liverpool hanya mampu berlari tanpa bisa menciptakan peluang yang matang. 40.000 penonton di Anfield terdiam, Shankly pun larut dalam keheningan tersebut.
Sebuah tradisi di tim Liverpool, adalah melakukan rapat usai pertandingan di ruang pemain menyimpan sepatu, atau “Boot Room”, yang ada di Anfield. Ruangan ini melegenda. Inilah lokasi dari brainstorming antara Bill Shankly dan Bob Paisley mengenai taktik yang akan membuat Liverpool digdaya di era 1980-an, sekaligus menjadi lokasi dimana Shankly akan menyerahkan tongkat kepelatihan Liverpool kepada Bob Paisley di akhir musim.
Dalam diskusi tersebut, Shankly membuka percakapan, bagaimana tim yang dominan di Inggris, nyaris tidak berkutik di Eropa. Liverpool bahkan tersingkir dari klub-klub seperti Athletic Bilbao, Ferencváros, dan Vitoria Steubal. Shankly yang bermimpi menjadi juara Liga Champions merasa ada yang harus dibenahi, meskipun musim 1972/1973, ia membawa Liverpool menjadi juara UEFA Cup.
Pertanyaan itu dilemparkan kepada lima sosok yang akan diingat sebagai kunci dari taktik Liverpool, yakni Bob Paisley, Fagan, Ronnie Moran selaku pelatih akademi, pelatih tim cadangan Tom Saunders, dan pemandu bakat sekalgus asisten pelatih akademi, Reuben Bennett, kelima sosok ini akan dikenal dengan Boot Room Boys.
Apakah tidak ada ruangan di Anfield sehingga diskusi mengenai taktikal dilakukan di sebuah ruang penyimpanan sepatu? Dalam sebuah wawancara dengan The Sun, Bob Paisley menjelaskan alasannya. Menurutnya Anfield memang memiliki ruangan khusus untuk membahas taktik, namun terasa terlalu formal, sehingga Shankly lebih suka berdiskusi di ruang sepatu. Bukan hanya taktik yang dibicarakan, namun juga mencakup hal lain seperti politik dan kehidupan para pemain Liverpool.
Shankly menganalisis, kesulitan Liverpool kala bermain di Eropa, adalah permainan The Reds yang terlalu kaku. Liverpool menggunakan formasi 4-2-4 dengan mengandalkan John Toshack dan Kenny Daglish di depan dan Tommy Smith dan Larry Lloyd di jantung pertahanan.
Paisley saat itu merupakan fisioterapis Liverpool, mendiskusikan mengenai skema yang lebih reaktif. Hingga pada akhirnya Shankly pensiun usai gelaran Final Piala FA 1974, Paisley kemudian melanjutkan apa yang jadi hasil diskusinya dengan Shankly dan lima tokoh lainnya.
Perubahan pertama dan paling terkenal adalah memasang Phil Thompson dan Emlyn Hughes di jantung pertahanan. Keduanya bukanlah bek tengah murni, Phil adalah gelandang bertahan sedangkan Emlyn adalah wingback dalam skema 3 pemain belakang. Phil sangat gemar melakukan penguasaan bola sedangkan Emelyn lebih taktis dalam mengamankan pertahanan.
Keduanya menjadi momok yang bisa mematahkan serangan lawan karena memiliki kecepatan, dilengkapi juga dengan kemampuan penguasaan bola kelas wahid. Phil Thompson tidak ragu naik hingga daerah pertahanan lawan atau melakukan gerakan mengecoh di daerah pertahanan sendiri, hal yang tabu dilakukan pemain belakang saat itu.
Lalu apakah permasalahan selesai? Tentu tidak.
Digdaya di domestik, melempem di Eropa
Shankly, sejatinya lebih banyak memberikan program latihan tanpa mengawasi para pemainnya berlatih. Shankly lebih sering menyerahkan semuanya kepada Bob Paisley. Namun Shankly memiliki nilai positif: perfeksionis nan cerdas.
Shankly menyebut, usai kekalahan dari Red Star, Liverpool tidak boleh lagi bermain dengan long-ball dan counter attack. The Reds harus menguasai bola dan menciptakan peluang sebanyak-banyaknya.
“Kekalahan dari Red Star menyadarkan kami, Liverpool harus membangun serangan dari lini belakang dan itu satu-satunya cara,” ucap Shankly.
“Dengan menyerang dari belakang, akan membuat grup kecil dan mengubah skema lawan karena mereka akan berusaha membaca permainan dan merebut bola dari kami,” tutup Shankly.
Taktik orthodox W-M ditinggalkan. Paisley meminta Liverpool bermain lebih cair dan fleksibel. 4-4-2 menjadi landasan tim di bawah Paisley. Butuh waktu cukup lama bagi Liverpool untuk menunjukkan tajinya di Liga Champions. Alasannya? Pemain Liverpool belum terbiasa dengan perubahan taktik yang radikal ini. Permainan Liverpool masih berorientasi kepada serangan cepat dan penuh dengan pemain yang berlari, tanpa umpan, aksi individu dinomorsatukan di sini. Paisley tidak puas meskipun meraih tiga gelar Liga dalam tiga tahun. Liga Champions menjadi targetnya.
Semua terbayar pada musim 1977/1978, analogi permaiann Shankly sederhana: menjebak tikus di kurungan, pemain Liverpool adalah kurungan, pemain lawan adalah tikus yang akan dijebak, Liverpool akan bermain terbuka dan seolah pemain lawan mampu merebut bola, namun semakin membuat pemain lawan terkurung. Umpan pendek menjadi kunci, selain rapat, hal tersebut akan membuat lawan kehilangan keseimbangan permainan dan taktik pun menjadi goyah. Lubang besar akan tercipta, terlebih pemain lawan akan terkurung dengan skema penguasaan bola yang rapat dan cepat dari The Reds.
Kuncinya ada di dua gelandang Liverpool, Terry McDermott dan Jimmy Case, keduanya menjadi pemain yang memegang transisi dan penguasaan bola. Di Final Liga Champions 1977/1978, Liverpool menghadapi Borussia Monchegladbach. Di leg pertama skor imbang 1-1, dan di leg kedua, Liverpool digdaya. Enam gol dijaringkan, diwarnai hattrick dari McDermott. The Reds menjadi juara Liga Champions untuk pertama kalinya.
Sukses, Liverpool mendominasi di Eropa dan Inggris, 6 gelar Liga Inggris, 3 gelar Liga Champions 1 gelar Piala UEFA dan 1 gelar Piala Super Eropa dipersembahkan Paisley untuk Liverpool. Dominasi Liverpool berdampak luas, salah satunya adalah menjadi klub dengan kekuatan ekonomi terbaik di Eropa. Sebuah dasar yang dinikmati Liverpool hingga modern ini.
Paisley akhirnya pensiun di tahun 1983, meninggalkan tinta emas prestasi bukan hanya bagi Liverpool namun juga sepakbola Inggris. Tanpa mengerdilkan peran boot-room boys, Paisley adalah tokoh penting dan sentral dari kemajuan Liverpool era 80-an. Namun sayangnya, taktik yang dominan Liverpool di Eropa, justru dirusak oleh para pelatih dari Inggris, mereka lebih suka menerapkan sepakbola kick and rush yang merupakan turunan dari sepakbola pragmatis, tokohnya? Graham Taylor dan kawan-kawan.