Alfredo Vera, Pelatih Kepala Persebaya sedang dalam sorotan, setelah menelan kekalahan tigakali beruntun musim ini. Terkahir Persebaya kalah 1-3 dari Perseru Serui di Marora. Vera dianggap paling bertangggung jawab atas rapor buruk Persebaya. Sementara ini Persebaya menempati posisi ke 12 klasemen sementara dengan 25 poin hanya berjarak lima angka dari PSIS di posisi ke-16 yang menempati zona degradasi.
Rotasi yang diterapkan Alfredo Vera dianggap sebagai biang keladi atas buruknya penampilan Persebaya. Memang sejak awal musim, Alfredo Vera kerap melakukan bongkar pasang skuat. Alhasil Persebaya seolah kehilangan komposisi sekaligus skema terbaik mereka. Sedangkan Alfredo Vera berdalih, rotasi yang dilakukan bertujuan untuk menghindari kelelahan sekaligus menjaga kondisi pemainnya.
Lalu apakah dengan demikian rotasi itu bisa menjadi penyebab kekalahan? Atau memang komposisi winning team harus dimainkan setiap saat? Formula apakah yang harus digunakan ketika melakukan rotasi?
Antipati pada Rotasi
Selama ini selalu menjadi perdebatan apakah rotasi berpengaruh terhadap kesuksesan sebuah tim? Beberapa pundit menyebutkan bahwa penggunaan pemain yang lebih sedikit akan semakin lebih baik. Ini karena akan terbangun chemistry yang baik antar pemain. Klub yang memiliki “the winning team” akan memudahkan manajer dalam menyusun skema.
Musim 2016/2017, Chelsea menjadi juara Premier League dengan hanya sedikit melakukan rotasi. Chelsea hanya total menurunkan 21 pemain yang berlaga di semua kompetisi. Menjadikan Chelsea sebagai klub yang paling sedikit menggunakan pemain musim tersebut.
Skema yang digunakan Chelsea pun tidak mengalami perubahan berarti. Pun statistik juga menunjukkan kesuksesan klub musim 2016/2017 berbanding lurus dengan minimnya penggunaan pemain dalam satu musim tersebut.
Tottenham dan Liverpool misalnya, menempati posisi kedua dan keempat dengan total hanya menggunakan 23 pemain di semua kompetisi. Sedangkan klub yang menggunakan banyak pemain maupun sistem rotasi justru terperosok ke zona degdarasi.
Sunderland sebagai klub terbanyak dalam penggunaan pemain dengan menggunakan total 31 pemain di semua kompetisi harus menempati posisi juru kunci. Sedangkan Hull City dengan 28 pemain ikut menemani Sunderland turun ke Championship Division.
Claudio Ranieri nampaknya belajar dari sulitnya melakukan rotasi. Chelsea yang ditanganinya pada 2000 hingga 2004 menjadi bahan pelajaran. Julukan Ranieri, The Tinkerman, merupakan sarkasme media Britania Raya akan pola berfikirnya yang dianggap lambat dan sangat sering melakukan rotasi. Ini membuat supporter Chelsea kerap kali geleng-geleng melihat rotasi dan banyaknya skema yang digunakan Ranieri. Bersama Chelsea, Ranieri gagal menyumbangkan satupun gelar.
11 tahun berselang, Leicester City yang ditangani Ranieri mengejutkan semua pihak. Klub semenjana yang baru saja promosi dua musim sebelumnya. Mereka tiba-tiba menjadi salah satu klub penantang gelar juara.
Banyak yang berpikir bahwa performa apik Leicester City hanya akan bertahan selama beberapa pekan. Namun kenyataannya Leicester memembuat semua ternganga ketika mereka menggondol gelar juara Premier League. Sukses Ranieri ditentukan oleh komposisi the winning team yang nyaris tidak pernah mendapatkan rotasi sama sekali. Sehingga membuat Leicester City tidak banyak melakukan perubahan skema dan lebih solid.
Minimnya rotasi dan mempertahankan the winning team juga berdampak positif bagi beberapa klub. Aston Villa dan Leeds United misalnya. Villa pada musim 1980/1981 menjadi juara liga. Ron Saunders, Manajer Aston Villa, bahkan hanya memainkan total 14 pemain berbeda di semua kompetisi. Ia mempertahankan 11 pemain inti dan hanya melakukan pergantian jika ada pemain yang mengalami cedera. Ron Saunders dikenal dengan filosofi “never change the winning team” dan bertahan selama 1 dekade berikutnya.
Memasuki era millennium, Leeds United melakukan hal serupa dengan meminimkan rotasi pada musim 1999/2000. David O’Leary selaku Manajer Leeds United adalah sosok yang sangat antipati dengan rotasi. Hasilnya Leeds United menduduki peringkat ketiga di akhir klasemen. Bahkan O’Leary sempat menyebut bahwa rotasi hanya akan menghambat dan merusak skema yang dibangun dalam sebuah tim.
Konsistensi menjalankan rotasi, kunci menjaga kestabilan
Lalu benar demikian menyebutkan bahwa rotasi itu berujung negatif? Tentu tidak. Michael Cox dalam bukunya, The Mixer, menjelaskan satu bab khusus bagaiman rotasi merupakan kunci dalam menjaga konsistensi untuk bisa bersaing dalam jangka waktu yang lama. Premier League menurut Cox adalah contoh liga di mana rotasi menjadi kunci.
Paling faktual menurut Cox bisa dilihat dari komposisi skuat Manchester United ketika treble winner musim 1998/1999, dan Manchester United 2007/2008. Bagaimana rotasi menjadi kunci bagi klub-klub tersebut menjadi juara.
Manchester United 1998/1999 merupakan pionir dari rotasi di Premier League. Sir Alex Ferguson menyiasati padatnya kompetisi yang diarungi. Ferguson kemudian membeli pemain untuk menambah kedalaman skuat, terutama di sektor penyerang.
Quartet Andy Cole, Dwight Yorke, Teddy Sheringham, dan Ole Gunar Solskjaer, secara bergantian mengisi lini serang United. Percaya atau tidak, komposisi the winning team United kala itu yang diisi Schmeichel, Gary Neville, Ronny Jhonsen, Jaap Stam, Denis Irwin, Roy Keane, Paul Scholes, Ryan Giggs, David Beckham, Andy Cole, dan Dwight Yorke hanya pernah bermain bersama satu kali dalam satu musim. Kebijakan rotasi ala Fergie musim itu suskes membawa Man. United menjadi juara di tiga kompetisi berbeda.
Selain padatnya kompetisi dan menjaga kondisi pemain dalam bentuk terbaik, rotasi dilakukan dengan memperhatikan komposisi lawan yang akan dihadapi. Bisa dibilang inilah cikal bakal pragmatis yang dianut oleh Jose Mourinho. Ferguson melakukannya jauh lebih dulu, Ferguson menyadari bahwa apabila United memainkan skema yang sama ketika bermain di Eropa dan kompetisi domestik, anak asuhnya akan kesulitan menyesuaikan permainan. Ferguson sempat mengalami kesulitan ketika kedalam skuatnya tidak terlalu mumpuni untuk melakukan rotasi. Namun pada musim 2007-2008, United kembali menunjukkan taji dari sistem rotasi.
Bedanya, rotasi yang dilakukan bukan hanya menuntut kedalaman skuat, namun juga menuntut pemain bisa bermain dibanyak posisi. Darren Fletcher sudah merasakan semua posisi dibawah Ferguson, dari gelandang serang, sayap, bek tengah, bek sayap hingga second striker. Pun dengan Wes Brown dan jangan lupakan John O’Shea yang sudah berulang kali mengalami pergantian posisi, bahkan sempat menjadi kiper dadakan dan tetap menampilkan permainan yang apik.
Real Madrid ketika sukses meraih gelar Champions League ke 10 pada musim 2016-2017. Juga menunjukkan pentingnya rotasi. Zidane memang menerapkan rotasi secara efektif, namun harus diingat Zidane juga memiliki kedalaman skuat yang mumpuni. Ketika satu pemain tidak bermain baik, maka pemain penggantinya harus memiliki kualitas yang sama.
Simalakama dari Rotasi
Bagi klub yang tidak melakukan rotasi, mereka akan kesulitan ketika berkompetisi dengan jadwal padat. Chelsea musim lalu terperosok ke posisi kelima klasemen akhir musim ini. Dengan minim rotasi, Chelsea kelimpungan dengan padatnya jadwal mereka ditambah cederanya pemain-pemain penting mereka. Pun dengan Leicester City. Ketika sebuah klub tidak melakukan rotasi, skema mereka tentu akan terbaca dan lawan lebih mudah mencari kelemahan klub tersebut.
Pun dengan terlalu sering melakukan rotasi juga berakibat fatal. Chelsea di era Ranieri menjadi bukti. Ditambah era Rafael benitez ketika menangani Liverpool, meskipun perubahan skemanya di final Liga Champions 2005 berhasil mengantarkan Liverpool meraih gelar. Namun rotasi yang dilakukan Benitez dikritik karena membuat para pemain Liverpool kehilangan sentuhan terbaik mereka. Dan seringkali skema yang berubah dari Benitez memperburuk keadaan.
Rotasi pemain memang harus dilakukan bagi klub yang memiliki jadwal padat. Namun rotasi pemain juga harus diimbangi kualitas pemain yang sama. Dan tentu saja Manajer atau pelatih kepala juga harus mengetahui bagaimana melakukan skema rotasi dan formasi yang digunakan