Timnas U-22 Patut Mendapatkan Apresiasi, Namun Jangan Berlebihan

Foto: PSSI.org

Pada Selasa malam (26/1) di Stadion Olympic di kota Phnom Penh, tim nasional Indonesia U-22 sukses meraih gelar juara dalam turnamen Piala AFF U-22. Mereka sukses menaklukkan Thailand di partai puncak dengan skor 2-1. Sempat tertinggal melalui gol Saringkan Promsupa, timnas berbalik unggul berkat gol dari Sani Rizki Fauzi dan Osvaldo Haay.

Hasil ini cukup membanggakan bagi timnas yang datang dengan status debutan. Inilah kali pertama mereka mengikuti ajang ini setelah kegagalan Indonesia menggelar turnamen serupa pada 2011. Perlu diketahui kalau kejuaraan AFF U-22 ini baru dua kali digelar sepanjang sejarah. Selain Indonesia, Thailand adalah pemenang ketika edisi pertama digelar pada 2005.

Sekilas, hasil ini cukup membanggakan bagi tim nasional. Datang sebagai debutan plus tidak dibebani target apapun, mereka bisa menutupnya sebagai juara. Perjalanan untuk sampai ke sana pun tidaklah mudah. Mereka sempat terancam tidak lolos karena baru mengumpulkan dua poin dari dua pertandingan awal.

Beruntung Indra Sjafri bisa membawa tim ini keluar dari tekanan. Tiga pertandingan berikutnya dimenangi hingga akhirnya membawa mereka menjadi juara. Bagi Indra, inilah gelar kedua yang ia berikan bagi timnas kelompok umur setelah pencapaian pada 2013 saat ia memenangi Piala AFF U-19.

Namun cerita menarik tidak hanya datang dari atas lapangan. Di luar lapangan, khususnya di media sosial, juga tidak kalah menariknya. Keberhasilan timnas U-22 menjadi juara justru mengundang perdebatan di kalangan pecinta sepakbola Indonesia. Hal ini terkait dengan kepantasan sebuah negara sebesar Indonesia menjuarai ajang yang cakupannya hanya Asia Tenggara.

Salah satunya datang dari mantan pelatih tim nasional Futsal, Justinus Lhaksana. Dalam akun twitternya, pria yang aktivitasnya saat ini lebih banyak disibukkan sebagai Pundit, mengkritisi tingkah para penikmat sepakbola yang dirasa terlalu berlebihan dalam merayakan keberhasilan tersebut.

Di sisi lain, komentar Justin bertentangan dengan salah satu editor sebuah koran nasional, Ainur Rohman. Bagi Ainur, timnas U-22 patut untuk diberikan apresiasi di tengah situasi sulit yang mendera sepakbola nasional saat ini. Gelar AFF U-22 dianggap sebagai pemantik untuk tim senior agar tidak kalah dari para juniornya. Dalam akun twitternya, ia memakai contoh keberhasilan timnas Inggris U-19 memenangi Euro 2017 yang kemudian berdampak dengan kesuksesan timnas senior Inggris yang meraih semifinal Piala Dunia untuk pertama kalinya sejak 1990.

Saya sendiri yang mengikuti perdebatan tersebut melalui smartphone, memilih untuk bersikap netral. Dalam beberapa alasan yang mereka ungkapkan, saya begitu sepakat dengan keduanya. Terutama soal apresiasi dan target jangka panjang yang harus disasar tim nasional kedepannya.

Pencapaian Indra Sjafri kemarin memang patut diberikan pujian. Pelatih asal Lubuk Nyiur, Sumatera Barat ini membawa timnas menjadi juara di tengah kondisi sepakbola kita yang berantakan. Tidak punya ketua umum federasi, pelaksana tugas ketua umum yang ditangkap polisi, indikasi pengaturan skor, kompetisi yang berantakan, hingga kepentingan pra musim yang lebih penting dari turnamen resmi, membuat gelar ini patut untuk dirayakan.

Keberhasilan ini juga menegaskan bahwa timnas kelompok umur kita menunjukkan peningkatan yang sangat baik. Sebelum memenangi U-22, timnas U-16 sudah lebih dahulu melakukannya pada kejuaraan Asia Tenggara. Belum lagi menghitung kesuksesan timnas U-19 dan U-16 yang mencapai perempat final Piala Asia. Bahkan keberhasilan U-22 lebih spesial karena dilakukan di luar Indonesia sehingga bisa menggerus kritikan kalau timnas kita hanya jago kandang.

Selain itu, gelar ini juga menjadi pertanda kalau kita masih memiliki pemain-pemain bertalenta. Dalam timnas U-22 sekarang, kita bisa melihat nama-nama yang mungkin kedepannya akan menjadi tulang punggung timnas senior. Sebut saja Sani Rizki Fauzi, Marinus Wanewar, Gian Zola, dan Lutfi Kamal Baharsyah, nama-nama yang menunjukkan penampilan gemilang sepanjang turnamen.

Berkaca dari Pengalaman

Namun di sisi lain, saya juga sepakat dengan poin yang dikeluarkan Justin. Euforia menjuarai AFF U-22 sebaiknya langsung disudahi saat ini. Jangan ada lagi ekspos berlebihan dari media maupun pihak manapun yang membuat para pemain menjadi lupa diri. Fokus pemain diharapkan langsung mengarah ke kualifikasi Piala Asia U-23 yang berlangsung akhir Maret nanti.

Turnamen yang akan digelar pada 8 hingga 26 Januari 2020 jelas lebih penting dari AFF U-22. Jika kita bisa finis di tiga besar, maka timnas akan bertanding di Olimpiade 2020 pertengahan 2020 mendatang.

Menurut saya, coach Justin bukannya tidak mengapresiasi keberhasilan timnas U-22. Namun ia menginginkan timnas Indonesia bisa mengubah pemikirannya untuk menyasar prestasi yang jauh lebih tinggi lagi dari sekadar AFF. Kalau merayakan keberhasilan memenangi AFF kelompok umur sudah seperti merayakan keberhasilan suatu negara menjuarai Piala Dunia, maka ditakutkan bisa mengganggu psikologis para pemain. Tanda-tanda ini sebenarnya sudah muncul. Menpora Imam Nahrawi langsung memiliki wacana untuk membuat arak-arakan untuk merayakan kesuksesan ini.

“Arak-arakkan ada. Kami juga sudah menyiapkan bonus 2,1 miliar. Soal arak-arakan akan dilakukan Kamis pagi. Soal rute, baru akan kami rapatkan jam 10 pagi (Rabu),” ujar Imam seperti dikutip dari Bolalob.

Soal bonus, maka hal itu wajib diberikan mengingat itu sudah menjadi hak yang harus mereka terima karena bisa mengharumkan nama negara. Namun arak-arakkan dirasa terlalu berlebihan. Hal ini ditakutkan bisa membuat para pemain cepat puas dan justru berimbas pada penampilan mereka berikutnya.

Entah ada hubungannya atau tidak, namun euforia yang berlebihan kerap menjadi sandungan bagi tim nasional untuk meraih sukses. Hal ini sebenarnya sudah sering terjadi beberapa kali. Namun entah kenapa hal tersebut kerap tidak dijadikan sebagai pelajaran bagi pihak-pihak terkait.

Publik belum lupa saat timnas dengan indahnya melangkah ke final Piala AFF 2010. Mereka menggulung Malaysia, Thailand, dan Filipina dengan permainan yang memukau mata. Namun sesaat sebelum pertandingan final, ekspos berlebihan datang dari mana saja. Bahkan timnas sampai harus dibawa ke pesantren hanya untuk doa bersama yang seharusnya bisa digunakan untuk berlatih dan mematangkan taktik. Hasilnya timnas justru berantakan ketika menjalani partai final.

Pada 2013, Evan Dimas dkk berhasil meraih gelar Piala AFF U-19 dengan permainan PePePa (Pendek Pendek Panjang) yang menjadi filosofi Indra Sjafri saat itu. Gelar itu juga menjadi gelar pertama yang diraih setelah medali emas Sea Games Manila 1991. Prestasi tersebut diteruskan dengan kesuksesan mereka melangkah ke Piala Asia U-19 beberapa minggu berikutnya.

Namun yang terjadi setelahnya adalah kekacauan. Mereka seperti dijadikan sirkus oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan kedok Tur Nusantara, mereka berpindah-pindah kota yang akhirnya membuat mereka kelelahan ketika menghadapi turnamen utama. Timnas jadi bulan-bulanan karena sudah kehabisan tenaga.

Bahkan nama-nama mereka kini meredup. Hanya Evan Dimas, Hansamu Yama, Ilhamudin Armayn, hingga Putu Gede yang bisa menembus tim nasional senior. Sementara Hendra Sandi Gunawan, Ravi Murdianto, Mukhlis Hadi Ning Syaifullah, hingga Sahrul Kurniawan meredup. Kontras dari Korea Selatan, tim yang mereka kalahkan di kualifikasi, yang beberapa pemainnya bisa menembus tim senior dan bermain di Piala Dunia.

Indra Sjafri adalah saksi dari apa yang terjadi enam tahun silam. Ia diharapkan bisa belajar dari pengalaman agar timnya tidak lagi diusik seperti sebelumnya. Tujuannya semata-mata hanya satu yaitu membawa timnas U-22 melangkah ke Piala Asia U-23 dan bisa bermain di Olimpiade. Kalau mereka sudah bisa melakukannya, atau setidaknya menunjukkan penampilan yang memukau, maka apresiasi tidak perlu dicari dan akan datang dengan sendirinya.

Kita semua sebagai pecinta sepakbola nasional tentu tidak ingin melihat negara ini terus-terusan membanggakan pencapaian di level Asia Tenggara tanpa pernah bisa merasakan atau merayakan keberhasilan meraih gelar yang pencapaiannya pasti dihitung oleh FIFA. Apresiasi memang patut diberikan, namun porsinya jangan berlebihan.