Alasan Mengapa Klopp Tak Perlu Pengganti Oxlade-Chamberlain

Berita buruk diterima Liverpool setelah Alex Oxlade-Chamberlain dikabarkan akan absen selama satu tahun. Musim 2018/2019 sudah ada di depan mata, namun pemain yang cedera sejak April itu belum juga pulih. Oxlade mengalami cedera lutut ketika ia membela The Reds di Liga Champions melawan AS Roma.

Cedera ini menggagalkan Oxlade untuk berangkat ke Rusia membela tim nasional di Piala Dunia. Dua bulan lalu, dia sudah menjalani operasi dan semua berjalan lancar. Sayang, tim medis Liverpool belum tahu kapan Oxlade akan benar-benar pulih. Dengan perkiraan saat ini mencapai 12 bulan.

Karier Oxlade-Chamberlain seperti menemukan titik terang setelah bergabung dengan Liverpool dari Arsenal. Awalnya suporter Arsenal menertawakan langkah Liverpool itu, tapi The Ox–julukan Oxlade–membuktikan dirinya masih berguna untuk tim. Dia lahir kembali di bawah asuhan Jurgen Klopp.

Keraguan kepada Oxlade-Chamberlain memang bukan sesuatu yang berlebihan. Dia datang ke Emirates Stadium sebagai salah satu pemain muda terbaik yang pernah ada di Inggris. Dibentuk dari akademi Southampton yang terkenal. Sayang, enam tahun dia hidup di London dan pada musim terbaiknya, Oxlade hanya mendapat 1.562 menit pada 2016/2017.

Legenda dan mantan pemain Arsenal, Thierry Henry, bahkan melempar kritik kepada The Ox yang menurutnya belum tahu posisi terbaiknya. “Dia seperti belum tahu harus main di mana,” kata Henry seperti dikutip The Independent.

Oxlade adalah pemain multi-fungsi. Dirinya seakan bisa dimainkan di mana saja. Setiap pemain yang disebut ‘serba bisa’ adalah penempatan di lapangan. Begitu pula Oxlade, dia bisa ditempatkan untuk posisi apapun di tengah ataupun depan. Bahkan dia pernah diplot sebagai bek oleh Arsene Wenger.

Pemain serba bisa pada akhirnya lebih digunakan sebagai rencana cadangan. Apabila kandidat utama atau kedua tidak bisa tampil, mereka baru akan turun. The Ox bukanlah satu-satunya nama dalam hal ini.

Aleksandr Helb, Mourane Fellaini, Craig Gardner, juga pernah merasakan hal yang sama. Hleb saat membela Barcelona, Fellaini sebelum Jose Mourinho mendarat di Manchester, dan Gardner ketika masih berseragam West Brom.

Saat pindah ke Liverpool, secara terbuka Oxlade langsung memilih posisinya. “Manajer [Klopp] sudah tahu saya ingin bermain di lini serang. Terutama gelandang serang. Tim ini sangat membantu posisi tersebut karena gelandang ataupun sayap bermain lebih ke dalam,” kata Oxlade di situs resmi Liverpool.

Martin Keown juga mendukung kepindahan Oxlade saat itu. “Klopp bisa menjadikan Ox sebagai pemain yang lengkap. Saya bisa melihat dia diutamakan dibanding Emre Can atau Wijnaldum,” kata mantan kapten Arsenal itu ke Mirror.

Masa Pembuktian

Oxlade kemudian membuktikan dirinya di Anfield. Cocok dengan gaya main menyerang dan menekan yang diterapkan Klopp, Oxlade-Chamberlain jadi kekuatan di lini kedua Liverpool. Ia memiliki pergerakan yang lebih leluasa dibandingkan Can atau Wijnaldum. Serta membiarkan Jordan Henderson untuk mengatur aliran bola dari tengah.

Hasilnya, tujuh gol ia arsiteki selama semusim. Sama dengan Roberto Firmino, dan Sadio Mane. Hanya Mohammed Salah yang memiliki catatan lebih tinggi dalam hal ini. Musim 2017/2018, Oxlade juga turun 32 kali di Liga Premier, sesuatu yang tak pernah ia rasakan selama di Arsenal. Hanya saat masih di divisi tiga Oxlade-Chamberlain bermain lebih banyak dibandingkan musim lalu.

Oxlade juga menjadi pemain dengan jumlah tembakan terbanyak yang dimiliki Liverpool. Walaupun tidak semua tepat sasaran, tapi kehadiran membawa aura bahaya untuk tiap pertahanan. Selama 2017/2018, Oxlade-Chamberlain mencatatkan 22 operan kunci. Salah satu yang terbaik di Liverpool. Hanya Salah, Firmino, Mane, James Milner, serta Trent Alexander-Arnold yang lebih sering melepas operan kunci musim lalu.

Oxlade juga sering kali berhasil melewati penjagaan lawan. Dengan mencatatkan 79% kesuksesan selama semusim. Lebih baik dibandingkan Salah (64%), Mane, dan Firmino (32%). Wajar jika pada akhirnya Klopp ingin mencari pengganti Oxlade.

Buang-Buang Uang

Meski Oxlade-Chamberlain kemungkinan besar akan ada di pinggir lapangan selama 2018/2019, Klopp tak perlu mencari pengganti. Pengaruh Oxlade memang cukup berarti selama musim lalu, tapi bukan berarti mereka harus membeli pemain baru. Sejauh ini, nama Jack Grealish dan Marko Pjaca dikabarkan masuk ke radar Liverpool.

Pjaca dan Grealish juga sama dengan Oxlade. Pjaca lebih ofensif dibanding Oxlade. Dia lebih bisa bermain sebagai sayap atau penyerang. Tapi dirinya juga bisa dimainkan jadi gelandang serang. Begitu juga Grealish, pemain Aston Villa tersebut dapat mengisi tiga pos di belakang penyerang.

Keduanya memang menggiurkan. Akan tetapi, Liverpool sebenarnya sudah memiliki pemain-pemain yang sudah cukup baik untuk menggantikan Oxlade. Sejauh ini, The Reds sudah mendatangkan Fabinho, Xherdan Shaqiri, dan Naby Keita. Total hampir 120 juta Euro sudah dikeluarkan Liverpool di bursa transfer kali ini. Padahal baru tiga minggu bursa transfer resmi dibuka.

Membeli pemain tengah lagi, sama saja membuang uang. Tiga pemain yang Klopp datangkan sejauh ini semua bisa menjadi gelandang. Fabinho dan Naby Keita bahkan lebih sering main di tengah dibanding dekat dengan garis lapangan.

Shaqiri mungkin akan dijadikan pelapis untuk Mane, Salah, atau Firmino. Tapi Naby Keita dan Fabinho lebih cukup untuk menggantikan Oxlade-Chamberlain. Keita juga memiliki catatan yang sama impresifnya dengan Oxlade musim lalu.

Keita Jadi Kandidat Utama

Selama 1.Bundesliga 2017/2018, Keita mencatatkan 34 operan kunci. Lebih dari dua kali lipat raihan Oxlade Chamberlain. Dia mengarsiteki lima gol untuk RB Leipzig dan 67 kali melewati penjagaan lawan. Keita juga gelandang dengan visi menyerang. Dirinya 54 kali dilanggar oleh lawan musim lalu. Hanya Diego Demme yang lebih sering dilanggar saat membela RB Leipzig.

Begitu juga Fabinho. Fabinho lebih defensif dibandingkan Keita ataupun Oxlade. Dia ada di antara bek dan gelandang. Kerap kali menemani Joao Moutinho di lini tengah. Moutinho dan Thomas Lemar yang jadi kreator utama AS Monaco.

Sementara Fabinho, mengangkut bola dari belakang ke depan. Memulai transisi untuk AS Monaco. 72% giringan bola Fabinho bahkan berhasil melewati lawan. Itu melebihi Neymar yang hanya 67%, walau pemain Paris Saint-Germain (PSG) tersebut jelas melakukan giringan lebih banyak dari Fabinho.

Dampak kehadiran Oxlade-Chamberlain memang cukup besar untuk Liverpool. Namun, mereka sudah memiliki amunisi yang lebih dari cukup untuk membuat rasa kehilangan itu lebih ringan.