Gael Kakuta Tetap Berakhir di Level Tinggi Meski Dicap Gagal

Foto: Courrier Picard

Gael Kakuta akhirnya kembali ke Prancis secara permanen. Merantau dan bertualang keliling dunia sejak 2007, Kakuta pernah pulang dalam dua kesempatan berbeda. Tapi keduanya hanyalah sebagai pemain pinjaman. Pertama dipinjamkan Chelsea ke Dijon (Januari 2012). Kemudian dipinjamkan Hebei China Fortune (Agustus 2017).

Dipinjamkan Hebei ke Amiens SC selama 2017/2018 terbukti menjadi tiket pulang Kakuta. Setelah memberikan kontribusi dalam 12 gol dari 38 pertandingan, Kakuta dipinang Rayo Vallecano dengan dana dua juta Euro. Mengakhiri dua setengah tahun petualangannya di Negeri Tirai Bambu. Di mana ia hanya bermain 24 kali dan mencetak dua gol Hebei.

Rayo merupakan salah satu kesebelasan yang pernah melihat kemampuan terbaik Kakuta. Saat ia masih berstatus pemain Chelsea, the Blues mengirim jasanya ke Kota Madrid untuk musim 2014/2015. Ketika itu, Kakuta berhasil mencetak lima gol dan arsiteki tujuh lainnya untuk Rayo. Namun setelah diboyong kembali dari Hebei, Kakuta gagal memberi kontribusi yang sama. Ia hanya tampil 12 kali dan mencetak satu gol untuk Rayo.

Beruntung bagi Kakuta, Amiens masih mengingat dirinya. Les Licornes menebus Kakuta dengan dana tiga juta Euro. Memberikannya kontrak hingga 2022 di  Stade de la Licorne.

“Kakuta pernah membela tim ini sebelumnya saat ia masih berstatus pemain Hebei China Fortune. Dalam waktu singkat, Kakuta berhasil memperlihatkan kualitasnya. Dirinya sudah memiliki tempat dalam sejarah klub. Semoga ia bisa terus tampil maksimal menggunakan warna Amiens SC,” tulis pihak klub di situs resmi mereka.

***

Nama Kakuta sudah beredar di dunia sepakbola sejak masih remaja. Pada 2007, Chelsea memboyong jasanya pemain kelahiran 21 Juni 1991 itu dari RC Lens. Sekitar dua tahun kemudian, the Blues terkena embargo transfer karena terbukti bersalah dalam pembelian Kakuta.

“Mereka mencuri dari kami. Kakuta berada di bawah kontrak Lens dan telah kami bentuk selama delapan setengah tahun. Tiba-tiba Chelsea datang dan menjalin komunikasi dengan anak yang belum juga 16 tahun,” kata Presiden Lens Gervais Martel.

Embargo transfer itu seharusnya berlaku hingga 2011. Chelsea berhasil mengurangi masa hukumannya jadi hanya satu tahun. Tapi di sisi lain, karena transfer ilegal tersebut, Kakuta mendapatkan larangan bermain selama empat bulan dan Chelsea harus membayar 2,6 juta Euro ke Lens.

Terbaik di Generasinya

Foto: UEFA

Kakuta mendarat di Stamford Bridge saat Chelsea diasuh Luiz Felipe Scolari. Dirinya tidak pernah tampil di bawah asuhan Scolari. Akan tetapi, ia tetap dipecaya bisa menjadi pemain besar untuk Chelsea. “Kakuta adalah pemain paling bertalenta dalam generasinya,” ungkap Guy Hillion, pemandu bakat yang merekomendasikan Kakuta ke Chelsea.

Saat itu, Kakuta sudah terlibat di tim nasional U-16 dan U-21 Prancis. Ia mencetak 23 gol dari 73 penampilan. Wajar jika dirinya dinilai memiliki masa depan cerah. Frank Lampard bahkan ikut memuji Kakuta. “Saya rasa Kakuta merupakan pemain paling menonjol. Dia murni seorang pemain bertalenta,” puji Lampard.

Steve Holland yang mengasuh tim cadangan Chelsea dan dipercaya menjadi asisten Guus Hiddink, Andre Villas-Boas, dan Roberto Di Matteo juga mengakui kemampuan Kakuta. “Ia mungkin tidak terlalu banyak mencetak gol. Itu adalah satu aspek yang perlu dipelajari lagi oleh dirinya. Tapi, Kakuta rajin membantu pertahanan dan memberikan kontribusi positif,” ungkap Holland.

Masa-masa terbaik Kakuta bersama Chelsea datang saat Carlo Ancelotti melatih. Ancelotti memasukkan nama Kakuta ke daftar pemain untuk partai Liga Champions melawan APOEL. Pertandingan itu berakhir imbang 2-2, the Blues tampil buruk. Kecuali Kakuta.

“Dari semua pemain di atas lapangan, hanya Gael yang tampil bagus,” ungkap Ancelotti. “Dirinya akan memiliki masa depan yang cerah di Chelsea. Talentanya luar biasa,” lanjut nakhoda asal Italia tersebut.

Masalah dengan Unai Emery

Foto: BeSoccer

Ucapan Ancelotti itu tidak menjadi kenyataan. Kakuta gagal mendapat tempat di tim utama the Blues. Tetapi beberapa pelatih ternama seperti Peter Bosz dan Paco Jemez yang pernah mengasuh Kakuta, juga sependapat dengan Ancelotti. Satu-satunya nakhoda yang menjadi mimpi buruk untuk Kakuta adalah Unai Emery.

Setelah tampil impresif di masa pinjamannya bersama Rayo (2014/2015), Emery tertarik mencoba jasa Kakuta. Chelsea melepas Kakuta ke Sevilla dengan dana enam juta Euro. Setara dengan harga Iago Aspas dan lebih mahal dibanding Adil Rami yang juga mendarat di Ramón Sánchez Pizjuan bersama Kakuta.

Sayangnya, Emery lebih senang menggunakan Kakuta di luar posisinya. Hal itu membuat pemain keturunan Republik Demokratik Kongo tersebut kesal. “Saya hanya jadi sebuah percobaan di sana [Sevilla]. Emery penah meminta saya berlatih sebagai bek kiri. Hal itu membutuhkan kondisi fisik yang berbeda. Lalu saya dipasang sebagai gelandang bertahan. Kevin Gameiro sampai menjuluki saya sebagai Claude Makelele,” kata Kakuta.

“Emery adalah pelatih yang terlalu ingin mengurusi segalanya. Ia ingin saya bisa mengikuti metode kepelatihannya. Saya tidak bisa melakukan itu. Saya tidak punya masalah dengan dirinya secara personal. Tapi saya tidak suka caranya melatih,” lanjut Kakuta.

Malang-melintang keliling dunia, Kakuta pernah mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mencari dua hal dalam kariernya sebagai pesepakbola: Piala dan uang. “Kita main untuk mengangkat piala dan mendapatkan uang. Jika Anda tidak bisa meraih piala, carilah uang,” kata Kakuta. Mungkin itulah yang membuat Kakuta memenuhi panggilan Manuel Pellegrini ke Hebei. Kakuta pergi dari Tiongkok setelah peraturan Chinese Super League berubah.

Membela kesebelasan seperti Deportivo La Coruna, Rayo Vallecano, dan Amiens, Kakuta mungkin tidak akan mendapatkan piala ataupun uang. Mereka bukanlah kesebelasan kaya raya seperti Chelsea ataupun Hebei. Tapi setidaknya dengan menandatangani kontrak tiga tahun bersama Amiens, Kakuta punya peluang untuk mengakhiri kariernya di level tinggi.

Amiens Sebagai Rumah Kakuta

Walaupun Les Licornes hanya sebatas kesebelasan papan tengah di Prancis, mereka juga tidak dapat dianggap remeh. Pada 2017/2018, Amiens baru merasakan musim pertama mereka di divisi tertinggi sepakbola Prancis dalam 116 tahun sejarah klub. Sejak saat itu, Amiens selalu berhasil mempertahankan statusnya di Ligue 1.

Momentum Les Licornes dimulai dari 2015/2016 ketika bermain di Championnat National. Mereka berhasil promosi ke Ligue setelah mengakhiri musim di peringkat ketiga klasemen akhir. Selisih tiga poin dari juara, RC Strasbourg. Mengungguli Marseille Consolat satu poin.

Main di Ligue 2, mereka kembali menjadi pendamping RC Strasbourg. Kali ini mengakhiri musim di peringkat kedua klasemen akhir dengan selisih satu poin dari Strasbourg. Pada musim pertamanya di divisi tertinggi sepakbola Prancis, Amiens berhasil mengejutkan AS Monaco, Bordeaux, Lille OSC, dan OGC Nice.

Mengunci posisi 13 klasemen akhir dengan keunggulan 12 poin dari zona merah. Kakuta merupakan salah satu sosok yang membantu Amiens dalam keberhasilan mereka tersebut. “Kakuta baru datang ke Amiens dan langsung menjadi kunci yang bisa dipercaya oleh tim,” tulis Adam White dan Eric Devin dari Guardian.

“Masa-masa pertama Kakuta bersama Amiens merupakan pencapaian terbaiknya sejak ia menandatangani kontrak profesional bersama Chelsea di 2010,” tulis situs resmi Amiens. Kembali membela Les Licornes, ada peluang bagi Kakuta untuk menjadi legenda meskipun kariernya tak sesuai dengan ekspektasi yang ada ketika ia muda.

***

Mungkin jika dipikir-pikir lagi, Kakuta seperti Wilfried Zaha. Gagal ketika terbebani oleh ekspektasi, tapi selalu mendapat tempat tersendiri di klub tertentu. Jika Crystal Palace adalah rumah Zaha, Amiens adalah tempat Kakuta.