Raymond Verheijen, Gagal Jadi Pesepakbola Sampai Menjadi Pelatih Fisik Terbaik di Belanda

Sepakbola di negeri ini sudah sangat gersang; tak ada kompetisi, minim prestasi, dan banyak kasus internal maupun eksternal yang selalu hinggap ke tubuh federasi kita. Masih banyak warga +62 ini berceloteh tentang stigma menjadi pelatih sepakbola itu gampang, tidak bonafide, jadi pelatih tapi gak ada prestasinya, tidak perlu sekolah sudah bisa jadi pelatih sepakbola, dan lain sebagainya. Pusing memikirkan stereotip masyarakat.

Meski begitu, kita bisa sedikit bangga akan kualitas pelatih (berlisensi) yang ada di dunia sepakbola bumi pertiwi ini. Daripada jadi pelatih di rumah sendiri yang kejelasan kompetisinya masih abu-abu, para pelatih ini merantau ke negeri tetangga seperti Malaysia, Timor Leste, hingga negara lainnya. Mereka hengkang ke luar negeri guna mengasah karier sekaligus mencari pengalaman berharga.

Sebut saja nama-nama seperti Rahmad Darmawan hijrah ke T-Team, Andi Susanto (mantan pelatih Sriwijaya FC U-21) pergi ke Negeri Samba membela Bangu Atletico Clube, Yusuf Prasetiyo membesut Yunnan Lijiang FC U-16, duet Jantje Matmey dan Nanang Hidayat mampu meraih treble winners bersama Lalenok United, Pudji Handoko menerima tawaran Assalam, Kurniawan Dwi Yulianto dipinang Sabah FA, dan yang terbaru ada Rudy Eka Priyambada, eks pelatih Al Najma, ini membantu proyek besar-besaran bersama PSG Pati. Cukup banyak ternyata.

Mereka semua patut diapresiasi usahanya melalang-lintang di luar negeri sekaligus mengharumkan nama Indonesia di dunia kulit bundar, semua ditempuh dengan proses yang sangat panjang, tidak sembarangan. Perjalanan karirnya bisa anda contoh jika ingin mempelajari kepelatihan sepakbola. Tetapi ada satu nama yang cukup mentereng di sepakbola eropa dan mari kita belajar kisahnya dari Raymond Verheijen.

Pria yang lahir tahun 1971 ini merupakan sosok yang patut dicontoh sebagai pelatih fisik khususnya di dunia sepakbola. Timnas Belanda, Rusia, hingga Korea Selatan, sudah pernah mencicipi ilmunya. Sejatinya, Raymond memiliki mimpi menjadi pesepakbola profesional, tetapi sirna di usia 18 tahun. Mimpinya patah di saat ia mengalami cedera kronis dan memaksanya untuk pensiun dini.

Hebatnya, dia tidak putus asa dan cintanya dengan si kulit bundar begitu besar. Menginjak umur 19 tahun, Raymond berniat untuk memulai karir kepelatihannya dan mempelajari ilmu fisiologi dan psikologi olahraga di Vrije Universiteit Amsterdam.

Tak cukup mencari ilmu di negerinya sendiri, Raymond merantau ke Negeri Ratu Elizabeth. Di sana dia belajar di Liverpool John Moores University tahun 1993 sampai 1995. Penyandang gelar Master ini juga mengembangkan tesisnya dan diubahnya menjadi buku yang berjudul “Conditioning for Soccer”. Tesis yang dikembangkan Raymond terdengar sampai Koninklijke Nederlandse Voetbalbond (KNVB) dan dipakai dalam pendidikan pelatih sepakbola pada 1997.

Tahun 1998, lelaki ini mendapatkan lisensi pro kepelatihan dari KNVB. Pelatih kepala seperti Ruud Gullit, Frank Rijkaard, Ronald Koeman, dan Johan Neskeens pernah merasakan metode pelatih fisik yang bertangan dingin ini. Buktinya, Frank Rijkaard sebagai nahkoda De Oranje merekrut Raymond menjadi asistennya untuk Piala Eropa 2000 dan tuan rumah sukses mencapai semifinal.

Serupa dengan Rijkaard, Guus Hiddink tak mau ketinggalan. Saat memegang kendali timnas Korea Selatan untuk persiapan piala dunia 2002, Raymond juga berperan sebagai asistennya dan berhasil mengantarkan negeri ginseng ini duduk di semifinal. Pelatih fisik ini juga pernah merambah ke timnas wanita Belanda (Oranje Leeuwinnen) beersama Vera Pauw sebagai manajer.

Klub besar seperti Barcelona, Zenit St. Petersburg, Chelsea, Manchester City, hingga ke klub negeri kangguru, Brisbane Roar, pernah merasakan kehangatan Raymond sebagai konsultan periodisasi sepakbola. Sempat pula Gary Speed menggunakan jasa pria berumur genap 50 tahun ini di timnas Wales pada awal  2011.

Bagaimana? Sudah dibaca dari pembuka sampai isi artikel ini? Saya harap Anda tidak meremehkan profesi seorang pelatih sepakbola di Indonesia lagi. Mereka butuh proses pembelajaran yang memakan waktu, butuh ilmu di sekolah pelatih, mengikuti kursus kepelatihan, menerapkan metode periodisasi untuk latihan tim yang dibela, dan lain sebagainya. Masih banyak faktor lainnya.

Mungkin setelah Anda membaca artikel ini, apakah Ada berniat untuk terjun ke dunia pelatih? Khususnya di dunia sepakbola.