Tak banyak yang tahu bahwa AS Saint Etienne adalah kesebelasan pemegang gelar Ligue 1 terbanyak dengan 10 gelar. Angka ini mengungguli Olympique Lyonnais maupun Paris Saint-Germain yang sama-sama mengoleksi tujuh gelar.
Memang banyak klub yang terlihat semenjana atau pun medioker ternyata mereka adalah klub kuat dahulunya seperti Leeds United di Inggris ataupun Borussia Moenchengladbach di Bundesliga, dan Saint Etienne salah satunya.
Klub yang bermakas di Stade Geoffrey-Ghouchard ini mengalami masa keemasan di era 1960 hingga 1970-an. Jean Snella, Albert Batteux, dan Robert Herbin, adalah tiga nama pelatih legendaris yang menjadi pionir kesuksesan Saint Etienne pada masa lalu. Ketiganya silih berganti menyumbang banyak gelar untuk The Greens Julukan Saint Etienne).
Diawali oleh Snella, Musim 1956/1957 menjadi gerbang pembuka Saint Etienne meraih gelar juara ligue 1 untuk pertama kalinya. Pesaing mereka saat itu pun adalah klub yang juga bisa dikatakan bukan klub kuat saat ini di Prancis yaitu Stade de Reims.
Pada masa itu Reims cukup diperhitungkan. Bagaimana tidak? Reims hampir menyumbang sebagian pemainya untuk tim nasional Prancis seperti Raymond Kopa ataupun Just Fontaine. Sedangkan Saint Etienne ketika itu diperkuat striker asal Aljazair, Rachid Mekloufi.
Jean Snella membesut Saint Etienne menggantikan Ignace Tax yang sudah tujuh musim melatih di Stade Geoffrey-Ghouchard. Snella bukanlah orang baru bagi The Greens. Bekas tawanan perang ini pernah merumput bersama Saint Etienne dan Ignace Tax sendiri adalah bekas pelatih Snella ketika bermain bersama The Greens.
Pada musim pertamanya, Snella tidaklah langsung sukses. Ia hanya mampu membawa Saint Etienne bercokol di peringkat ketujuh klasmen Ligue 1 musim 1950/1951. Snella baru berhasil membawa juara Saint Etienne pada musim ketujuh ia melatih. Pada musim tersebut Snella mengandalkan duet Rachid Mekloufi dan EugèneNjo-Léa yang masing-masing mengoleksi 29 gol.
Skuat Juara Saint Etienne
Setelah mengalami musim hebat, Saint Etienne justru mengalami musim-musim yang kelabu. Seakan tak bisa lepas dari euforia atau kepuasan mencapai target yang ada, mereka justru mengalami penurunan performa selepas juara. Snella pun mengundurkan diri pada musim 1959/1960. Snella pergi meninggalkan klub tersebut dan memutuskan bergabung dengan klub asal Swiss, Servette
Pada musim 1961/1962 Henri Guerin menjadi pelatih Saint Ettiene. Kala itu Guerin memberikan trofi Coupa de France yang merupakan trofi pertama untuk Saint Etienne. Ironisnya, Guerin membawa St. Etienne terdegradasi untuk pertama kalinya sepanjang sejarah klub.
François Wicart pun masuk menggantikan Henri Guerin pada musim berikutnya ini membuat kembali Saint Etienne menunjuk bekas pemain sebagai pelatih baru mereka, tak butuh waktu lama untuk Saint Etienne kembali ke Ligue 1. Di musim berikutnya mereka sudah bisa merasakan kembali atsmofer Ligue 1 setelah juara Ligue II.
Jean Snella mengambil alih team kembali saat The Greens berhasil promosi dan hebatnya Saint Ettine langsung menjadi kampiun di musim 1963/1964 di periode kedua Snella melatih, ia sukses menyumbangkan dua gelar juara Ligue 1 sebelum memutuskan kembali pergi pada musim 1966/1967.
Team warisan François Wicart memang sudah terbentuk cukup rapih pemain-pemain peninggalan Snella pun masih berseragam The Greens pada saat itu, sebut saja nama Robert Herbin juga Rachid Mekloufi yang masi berseragam klub tersebut pada periode kedua Snella,
Kesuksesanya bersama Saint Etienne membuat namanya diabadikan, di dedekat StadionGeoofry-Ghouchard nama Snella dijadikan sebagai nama jalan Jean Snella dan tribun Korp South pun dinamai sebagai Jean Snella Tribune
Sebelum menukangi Saint Etienne namanya sudah cukup tenar keberhasilanya membawa France di posisi 3 di Piala Dunia swedia 58 dan juga suksesnya bersama Stade De Reims membuat namanya melambung dan di rasa pantas menggantikan Snella fakta membuktikan memang benar saja Bauttex sukses membawa Saint Etienne juara dimusim pertamanya ia juga memoles squad muda peninggalan Snella menjadi generasi emas sebut saja Herve Revelli atau Wonder boy George Berata
Pada musim berikutnya Bauttex membawa Saint Etienne meraih double winner setelah mampu menjuarai Coupa de france pada jaman Bautexx terkenal sebagai pelatih yang menuntut permainan fisik kepada setiap pemainya, sebelum musim dimulai Bauttex selalu membuat kamp sepuluh hari untuk mengelola kebugaran fisik pemainya.
Selain itu Bauttex memiliki sebuah filosfi, dalam permainanya ia mengajarkan: gerakan konstan dalam permainan tanpa bola, playmaking tenang, keterampilan bola tinggi dan tidak berharap untuk kesalahan lawan.
Filosofi tersebut membuatnya sukses meraih sembilan gelar liga pramcis sebagai pelatih dan termasuk pelatih paling sukses di negaranya sendiri ia mengajarkan hal yang diterpakan dalam sepak bola modern seperti saat ini di zaman belum “ moderen ”.
Ketika ia menggantikan Snella ia sukses mencapai ekspektasi dengan melahirkan dan memoles pemain potensial ditanganya, .Jika di Reims iya berhasil memoles Raymond Kopa lain hal di Saint – Ettiene Bauttex mampu menyulap Herve Revelli, Salif Keita dan Aime Jacquet sebagai pemain bersinar di pertengahan 60 an.
Pelatih yang juga sempat dijuluki pengkhotbah oleh anak-anak asuhnya ini mampu membuat Saint Etienne dan Stade Reims (Klub yang ia asuh sebelum Saint Etienne ) menguasai sepakbola Perancis lebih dari satu dekade dengan Salif Keita yang dibeli dari Real Bamako menjadi andalan team bersama Herve Revelli.
Herve Revelli sukses menjadi top skorer klub ketika era Bauttex sedangkan Salif Keita sukses mencetak setidaknya mencetak 125 goal dalam 149 pertandingan yang ia lalui bersama Saint Ettinne. Bauttex menggambarkan Salif Keita seperti seorang Pele legenda asal Brazil “jika dia dilahirkan di Brasil dia akan menyamai bintang Pele” ujarnya.
Pada musim 1972 Bauttex angkat kaki dari Saint Ettiene dan Robert Herbin selaku pemain senior pun ditunjuk sebagai pelatih berikutnya hal ini mengukuhkan tradisi The Greens untuk menunjuk pelatih yang memang bekas pemainya.
Penunjukan Herbin sebagai pelatih berikutnya terbilang tepat pernah bermain di bawah generasi hebat Snella dan Bauttex membuatnya belajar dan tumbuh sebagai pelatih hebat.
Sebelum ditunjuk sebagai pelatih Herbin adalah mantan kapten team era Bauttex dan terkenal kerap mencetak goal walau posisinya adalah seorang pemain belakang.
Herbin bermain sebanyak 412 pertandingan bersama Saint –Ettiene dan mencetak 88 goal dirinya menjadi pelatih termuda Ligue I dengan usia 33 tahun.
Gayanya yang nyentrik dengan khas rambut merah mudanya ini sukses membangun Saint Etienne dengan mengandalkan pemain-pemain akademinya.
Sebut saja Gerrrd Janvion, Dominique Bathenay dan Jacques Santini salah satu contoh pemain akademi yang Herbin poles menjadi pemain bersinar pada masa tersebut.
Era kesuksesan Herbin sendiri terjadi ketika ia berhasil membawa Saint Etienne double winner pada musim keduanya 73/74 . Herbin dikenal pemainya sebagai pelatih yang menghargai setiap anak asuhnya dengan tak membeda – bedakan dan sangat dekat dengan anak – anak yang ia asuhnya dalam sebuah foto sesi klub Herbin mengenakan kaus dan celana pendek seperti pemain lainya tidak seperti seorang pelatih.
Herbin saat melatih klub
Hal tersebut membangun kepercayaan kepada anak asuhnya dan imbasnya adalah Herbin sukses membawa Saint–Ettiene menjadi klub kedua Prancis yang masuk final Europan Cup (Sekarang Liga Champions) Sayang di final anak asuh Herbin harus mengakui kemenangan Bayern Muenchen.
Dalam final tersebut Herbin sangat menyayangkan penyelesaian peluang anak buahnya Jacques Santini tendanganya menghajar mistar dan bebrapa peluang lainya yang sangat disesalkan tidak membuahkan goal.
Dalam pertandingan tersebut hanya dua nama pemain asing ditubuh Saint Etienne yaitu kiper Ivan Curkovic (Yugoslavia) dan bek Oswaldo Piazza (Argentina).
Selepas Europan Cup pada musim 1974/1975 Herbin menjadi headline kembali. Ia bermain di umurnya yang ke-36 tahun dan sukses mencetak goal kemenangan saat Saint Etienne bersua Troyes dalam pertandingan tersebut Herbin bermain sekaligus pelatih dan pada akhir musim tersebut Saint –Ettiene pun sukses keluar sebagai juara dan back to back di musim berikutnya.
Pada musim 1977/1978 Saint Ettienne gagal lolos ke Europa Champions yang mengakibatkan pemilik klub Roger Rocher mengubah kebijakan transfer dengan mendatangkan beberapa pemain yang cukup bintag pada ketika itu yaitu Patrick Battiston Michael Platini dan Johnny Rep
Pada musim80/81 Herbin kembali membawa juara Saint Etienne sekaligus menjadi titel terakhir mereka saat itu Michael Plattini eks presiden UEFA menjadi top skorer klub sekaligus mencetak goal penting sebagai penentu juara Saint Etienne untuk yang ke sepuluh kalinya.
Selepas itu Saint Ettienne mengalami dekadensi permainan dan memasuki fase sulit.
Setelah membeli banyak pemain bintang Roger Roucher tak bisa menutupi hutang klub dan banyak melakukan praktik illegal financial untuk menutupi hutang klub tersebut. Roger pun digulingkan dan Saint Ettinne pun dua musim kemudian terdegradasi.
Rindu supporter melihat Saint Etienne mengangkat piala pun baru terwujud ketika Cristophe Galtier sukses memberikan gelar juara Coupa de la ligue pada 2013 silam.
Mungkin sulit di era sepak bola modern ini Saint Etienne mengulang kesuksesan Three Musketeer Snella, Bauttex dan Herbin ketiganya masih memberikan pengaruh kuat pada Saint Ettienne yaitu menjadikan klub ini memiliki karakter khas nan berbeda dari klub Ligue 1 lainya yaitu sebagai klub yang selalu percaya dan mengandalkan akademinya namun mereka juga sukses mengembangkan pemain potensi menjadi bintang.
Sebagai contoh bagaimana mereka mengorbitkan Loic Perrin sebagai pemain akademi dan Pierre Emerick Aubameyang yang ia kembangkan menjadi pemain top saat ini pun Saint Ettiene tak berhenti melahirkan pemain berbakat William Saliba bek tengah berusia 18 tengah menjadi incaran banyak klub besar seperti Real Madrid dan Manchester United..
Karakter The Greens ini melekat berkat Snella, Bauttex dan Herbin hal ini mengingatkan kita pada motto film Three Musketeer Satu untuk semua ( Saint Ettienne ) dan semua ( sistem akademi dan karakter team ) untuk satu”.