Itulah kira-kira gambaran awam tentang kota Venice atau bernama Venezia FC dalam bahasa Italia. Sangat sulit membayangkan bahwa di kota yang terdiri dari 118 pulau kecil yang dihubungkan oleh kanal-kanal ini memiliki klub dan budaya sepakbola yang kuat.
Mungkin ingatan publik tentang Venezia terjadi di penghujung 1990-an saat seorang Alvaro Recoba pernah menjadi bintang semusim di sana. Musim 2001/2001, Venezia yang saat itu diperkuat Filippo Maniero, terdegradasi ke Serie-B dengan hanya menghasilkan 3 kemenangan sepanjang musim. Setelahnya, Venezia mengalami masa kegelapan dengan dinyatakan bangkrut sebanyak 3 kali dalam sepuluh tahun dan mulai ditinggalkan pendukungnya sendiri.
Tapi sejak 3 tahun silam, klub berlogo Singa bersayap ini mulai berlari kencang. Di era terkininya, klub berjuluk Arancioneroverdi (jingga-hitam-hijau) telah berhasil promosi 2 kali berturut-turut dalam 2 tahun dari divisi keempat hingga divisi kedua (Serie-B).
Sejak itu, kepercayaan masyarakat yang sempat luntur kini mulai tumbuh kembali. Antusiasme penonton dalam menyaksikan laga Venezia FC selalu tinggi di tiap laga walaupun harus melakukan perjalanan dengan perahu selama satu jam ke stadion yang letaknya di luar pulau utama.
Di musim Serie-B yang menyisakan babak play-off, Venezia FC menjadi salah satu klub yang menarik untuk diamati sepak terjangnya sekaligus dirindukan kehadirannya di Serie-A Italia.
Didukung Oleh Pemilik Klub Ambisius
Di balik prospek cerah yang dihadirkan Venezia, sosok pemilik mereka, Joe Tacopina juga memiliki peran penting. Lawyer berkebangsaan Amerika Serikat ini juga sempat memiliki saham AS Roma dan juga Bologna. Dengan target ambisiusnya, kehadiran Tacopina di 2015 silam membuat sejumlah perubahan masif di tubuh Venezia.
Pengambilalihan Venezia FC oleh Tacopina yang notabene berkebangsaan Amerika (walau berdarah Italia) bukan tanpa hambatan dari golongan suporter akar rumput. Publik masih memiliki trauma atas pengakuisisian klub oleh pengusaha Rusia, Jurij Korablin, pada 2011 yang mengakibatkan kebangkrutan klub untuk kali ketiga.
Langkah Tacopina dimulai dengan merenovasi stadion Pierluigi Penzo (yang merupakan stadion tertua kedua di Italia) serta menunjuk Giorgio Peronetti yang pernah bekerja untuk Juventus, Roma, dan Napoli sebagai sporting director. Proyek jangka panjangnya: membuat Venezia FC sebagai salah satu klub yang memiliki atmosfer dan juga prestasi yang terbaik di Italia dalam beberapa tahun kedepan.
Menurutnya, orang-orang selalu menunjuk kota Milan, Turin, atau Roma, ketika berbicara tentang sepakbola Italia. Dengan reputasi sebagai salah satu kota terkenal di dunia, membawa Venezia menjadi juara Italia di masa mendatang akan menjadi sesuatu yang luar biasa.
Menurut CEO Venezia musim lalu, Ted Philipakos, bahwa secara bisnis mereka mencoba untuk mengimplementasikan pendekatan gaya bisnis Amerika kedalam sepakbola Italia yang tradisional. Keberhasilan pendekatan bisnis a la Amerika ini menurutnya sudah berhasil diterapkan di sejumlah liga top seperti di Inggris dan Jerman. Sehingga menurutnya, daya tarik Venezia FC sebagai kota terkenal dan juga potensi klub sepakbolanya membuat hal ini akan menarik bila dilakukan di Serie-A.
Pencetak Gol Merata di Tiap Lini
Di balik keberhasilan Venezia melaju sejauh ini di musim 2017/2018 ini, ada fakta menarik bahwa Venezia tidak mengalami ketergantungan pada satu pemain saja untuk mencetak gol di musim ini. Top skor mereka saat ini Gianluca Litteri dengan tujuh gol. Selain itu ada nama pemain yang dipinjam dari Milan, Gianmarco Zigoni, yang mencetak 6 gol.
Jumlah gol yang amat jomplang bila dibandingkan dengan tiga nama top marcatori sementara Serie-B yakni striker Empoli, Francesco Caputo (25), striker Perugia, Samuel Di Camine (21) dan striker Ternana, Adriano Montalto (20).
Jumlah pencetak gol yang cukup merata ini juga tercermin dari meratanya jumlah gol dari seluruh striker mereka musim ini. Davide Marsura, serta Alex Geijo masing-masing mencetak 5 gol. Sisanya, Marcello Falzerano dengan 4 gol dan Stefano Moreo yang kini kembali ke Palermo dengan 3 gol.
Tak hanya pemain depan, para defender merekapun sama baiknya dalam urusan mencetak gol. Pemain gaek Maurizio Domizzi yang sudah berusia 37 tahun mampu mencetak 3 gol sejauh ini. Begitu pula dengan dua bek lainnya, Marco Modolo dan Marco Pinato yang mencetak jumlah gol yang sama.
Bila dijumlahkan, maka sebanyak 57 gol yang dibuat Venezia sejauh ini dicetak oleh 17 pemain yang berbeda.
Faktor Allenatore
Penjelasan di atas adalah salah satu indikasi kalau Venezia kedalaman skuat yang cukup baik, dan ini tak terlepas dari andil Filippo Inzaghi yang pandai dalam merotasi para pemainnya. Inzaghi yang menggemari formasi 4-3-3 di Milan, justru berani bereksperimen memakai pendekatan 5-3-2 di Venezia.
Persentase kemenangan Inzaghi juga turut melejit bersama Venezia. Semusim menukangi AC Milan, rasio kemenangan yang ia raih hanyalah 35 persen. Ini berbanding jauh dengan rasio kemenangannya di Venezia yang mencapai 56 persen.
Kepercayaan Pippo kepada Emil Audero di posisi penjaga gawang, catatan kebobolan Venezia termasuk paling kecil kedua (42) setelah Parma yang terpaut defisit 5 gol saja. Ini juga tak lepas dari kejelian Inzaghi memadukan difensore senior, Maurizzio Domizzi dan Marco Modolo dengan bakat muda, Marco Pinato.
Sebuah fakta menarik justru hadir saat penunjukkan Pippo sebagai pelatih kepala. Entah karena tak mau lama menganggur, saat itu justru Pippo lah yang menawarkan diri kepada Venezia lewat sambungan telepon.
“Joe, ada Filippo Inzaghi menunggumu di saluran telepon! Apakah kau akan menjawabnya?” ujar Peronetti kepada Tacopina.
Bahkan Tacopina sempat menyangka kalau panggilan tersebut adalah sebuah acara reality show yang menghadirkan kamera tersembunyi.
Filippo Inzaghi mengungkapkan bahwa kepercayaan penuh dari jajaran direksi amat membantu dirinya dalam meraih hasil positif dengan Venezia sejauh ini.
“Saya bahkan tak peduli klub ini bermain di divisi berapa,” ujar Pippo saat ditanya wartawan pada awal kedatangannya di Venezia.
Tacopina pun terkejut sekaligus memuji pengetahuan sepakbola Italia yang dimiliki Inzaghi, bahkan hingga sampai Serie-C sekalipun. Melihat hal ini, tak heran kalau Inzaghi cepat beradaptasi dan menuai hasil positif selama melatih Venezia.
Dengan status Empoli yang sudah memastikan diri sebagai juara Serie-B, persaingan kini hanya tinggal lewat play off. Pasalnya, Parma sudah memastikan duduk di peringkat kedua. Kalaupun harus melalui playoff, Venezia tetap saja masih bisa berpeluang berlaga di Serie-A.
Dan keajaiban Pippo yang kerapkali menjadi pemecah kebuntuan di akhir laga saat ia masih aktif bermain, harus ia wujudkan bersama Venezia pada momen akhir musim ini. Rasa-rasanya Venezia wajib membuang semua ketakutan dan keraguannya, atau konsekuensinya adalah membuang momentum terbaik sepanjang sejarah klub.
Seperti pepatah lokal Venesia yang mengatakan: A tirarse sempre indrio, se finise col culo in rio. “If you always chicken out, you’ll end up with your ass in the canal”