Juli 2017, Lukas Podolski meninggalkan Galatasaray untuk melanjutkan kariernya di Jepang bersama Vissel Kobe. Kedatangan penyerang Jerman itu adalah awal dari ambisi tinggi Vissel. “Target musim ini adalah masuk tiga besar dan bermain di Liga Champions Asia [ACL],” kata Podolski setelah resmi diperkenalkan dengan nomor punggung 10 oleh pihak klub.
Klub berjuluk Ushi itu sejatinya bukanlah kesebelasan ternama di Jepang. Mereka hanya sebatas tim papan tengah. Disokong salah satu perusahaan terbesar do Jepang, Rakuten, Vissel berusaha untuk mengubah citra mereka. Menurut Japan Times, CEO Rakuten Mikitani Hiroshi terinspirasi oleh Real Madrid yang membangun ‘Galacticos’ di awal 2000-an.
Sekitar tujuh bulan setelah Podolski mendarat di Misaki Park, Vissel kembali mendatangkan nama besar. Tidak sebesar Podolski, namun Mike Havenaar tetaplah penyerang tim nasional Jepang yang telah terbukti di Eredivisie, Belanda. Terlibat dalam 71 gol dari 138 penampilan bersama Vitesse dan ADO Den Haag.
Sejak saat itu, Vissel selalu mendatangkan pemain-pemain ternama dari Eropa tiap musimnya. David Villa, Andres Iniesta, dan Serge Samper menyusul Podolski ke Misaki Park. Rumornya, mereka telah menyiapkan tempat untuk gelandang Manchester City, David Silva pada 2019.
Foto: Pinterest
Memiliki tiga pemain yang pernah menjuarai Piala Dunia di tim mereka, Vissel Kobe seharusnya bisa mengeksekusi mimpi mereka secara mudah. Tapi kenyataannya, hingga pekan ke-11, Ushi duduk di peringkat 13 klasemen sementara J1. Menelan delapan kekalahan beruntun, enam di liga dan dua laga Levain Cup.
“Ini adalah masa-masa yang sulit. Saya tidak bisa berbohong, setiap malam pasti menangis melihat kondisi Vissel Kobe,” kata Iniesta yang ditunjuk sebagai kapten tim menggantikan Lukas Podolski.
Yoshida Takayuki yang menangani Vissel Kobe memaklumi pengakuan Iniesta. “Dirinya memang tidak terbiasa dengan kondisi ini [kalah tujuh kali beruntun]. Datang sebagai salah satu pemain terbaik di dunia dan membela Barcelona, ini sulit diterima Iniesta,” ungkap Yoshida.
Meski demikian, Iniesta masih dipercaya menjadi kapten tim. Ia diberi tugas untuk menjadi poros permainan Vissel dan Yoshida yakin mantan pemain Albecete itu dapat diandalkan. Tidak seperti Podolski yang mogok latihan setelah Juan Manuel Lillo meninggalkan klub.
Podolski dan Lillo
Foto: Stuttgarter Nachrichten
“Saya tidak pernah memendam perasaan. Vissel seharusnya bisa menjadi kesebelasan terbaik di liga ini. Tapi kondisi saat ini mengecewakan. Kami tidak bisa mendapatkan kestabilan. Jangan berharap loyalitas dari orang yang tidak bisa dipercaya,” kritik Poldi.
Lillo yang merupakan mantan tangan kanan Jorge Sampaoli di Sevilla awalnya ditunjuk Mikitani karena ia mengharapkan sepakbola atraktif ala Spanyol di Kobe. Ia mengajarkan Vissel bermain dengan penguasaan bola. Bahkan menjadi bagian penting dalam transfer Villa ke Misaki Park.
“Kami akan menerapkan gaya bermain yang baru dan pelatih [Lillo] menginginkan Villa karena dirinya pas dengan konsep klub. Villa merupakan penyerang yang luar biasa,” aku Mikitani.
Anehnya setelah dua kekalahan beruntun, Lillo langsung didepak oleh Vissel Kobe. Menurut laporan, ada perbedaan pandangan antara Mikitani dan Lillo. Akhirnya nakhoda berdarah asal Basque itupun didepak dari klub. “Terkadang Anda harus membuat keputusan yang sulit. Vissel Kobe akan selalu ada di hati saya. Tapi ini adalah keputusan terbaik,” kata Lillo.
Bukan hanya Lillo, beberapa direktur klub juga dikabarkan pergi dari Vissel Kobe karena masalah serupa. Vissel Kobe sudah mengalami dua pergantian kepala pelatih dalam satu tahun terakhir.
Yoshida yang kini menangani klub sejatinya adalah pendahulu Lillo. Tapi karena ‘perubahan gaya main’ ia diganti dengan Lillo. Seperti kata Podolski, tak ada kestabilan di Vissel Kobe.
Memaksakan Tiki-Taka
Foto: Nikkan Sport
Memiliki banyak dana dan talenta, Vissel Kobe mirip dengan tim nasional Argentina dan Iniesta sebagai Lionel Messi versi mereka. Kedatangan Iniesta memang membuat nama Vissel Kobe jadi lebih dikenal dunia. Liga Jepang sendiri bahkan mendapatkan sorotan lebih berkat dirinya. Tapi Iniesta tidak bisa bermain sendirian.
“Iniesta adalah pemain bagus. Tapi hal paling penting adalah tim. Mengandalkan Iniesta seorang tidak akan membuat Vissel Kobe meraih kemenangan,” kata Lillo setelah mundur dari jabatannya sebagai kepala pelatih.
Podolski adalah pemain yang sadar akan hal ini. “Mendepak Lillo adalah kesalahan besar. Ia punya konsep yang bagus. Menyiapkan mental pemain, bermain dengan intensitas tinggi, dan tidak takut adu fisik,” puji Podolski.
“Pemain-pemain Jepang punya kemampuan luar biasa untuk menggiring bola. Namun kini terlalu sedikit peluang untuk mereka membawa bola. Padahal dari situ kesempatan akan lahir,” lanjutnya.
Memaksakan ‘tiki-taka’ adalah kesalahan terbesar Vissel Kobe. Apalagi pemain-pemain Vissel sendiri mengaku masih kaku bermain dengan Iniesta. “Bermain dengan Iniesta adalah hal yang sulit. Dirinya seperti punya tempo sendiri dan kami harus mengikutinya,” aku bek Vissel Nasu Daisuke. Akhirnya kesalahan-kesalahan mendasar pun terjadi di lini belakang.
Dalam konsep ‘tiki-taka’ pemain bertahan memiliki peranan penting. Merekalah yang memulai serangan dan membentuk segitiga untuk jalur operan. Apabila hal itu tidak bisa dilakukan, rusak sudah semuanya. Mikitani dan Vissel mungkin punya ambisi tinggi, tapi mungkin mereka harus mengubah gaya permainan (lagi) untuk bangkit dari keterpurukan.