Ajax Amsterdam dan AS Monaco pada musim 2016/2017 menunjukkan sebuah gejala paralelisme. Sebuah paralelisme yang kelak memberikan efek di masa depan.
Pada musim tersebut, baik itu Ajax dan Monaco sukses mencetak prestasi di kompetisi Eropa. Ketika Monaco sukses menembus babak semifinal Liga Champions, Ajax berhasil menjejakkan kaki di final Liga Europa. Namun sayang, keduanya gagal mendapatkan titel juara.
Di babak semifinal Liga Champions, Monaco dikalahkan oleh Juventus, yang akhirnya juga dikalahkan Real Madrid di final. Sedangkan Ajax, mereka dikalahkan oleh Manchester United di laga final. Meski tidak meraih titel, keduanya sukses menorehkan kisah mereka sendiri pada musim tersebut.
Cara keduanya melaju jauh di kompetisi Eropa begitu mirip. Keduanya menggunakan para pemain muda dan hanya menggunakan jasa satu-dua pemain bintang saja. Di Monaco, ada sosok Radamel Falcao yang jadi pengayom para pemain muda. Sementara itu, Ajax malah sama sekali tidak mengandalkan pemain bintang.
Melihat cara mereka itu, dan raihan yang mereka capai di kompetisi Eropa musim 2016/2017, tak heran Ajax dan Monaco jadi buah bibir. Namun, setelah itu, keduanya mengalami turbulensi. Layaknya tim muda yang menghasilkan pemain-pemain berbakat, selalu ada yang menggerogoti, dalam wujud tim-tim besar nan berduit.
***
Setelah musim 2016/2017, Monaco banyak ditinggal para pemain kunci mereka. Benjamin Mendy, Bernardo Silva, Fabinho, Thomas Lemar, Tiemoue Bakayoko, dan Kylian Mbappe, menemukan pelabuhan baru. Tentu saja, pelabuhan baru mereka adalah klub-klub yang punya duit, macam Manchester City, Atletico Madrid, Chelsea, dan Paris Saint-Germain.
Ditinggalnya Monaco oleh para pemain kunci ini membuat mereka kelimpungan. Alhasil, selepas musim 2016/2017, prestasi mereka tak kunjung membaik. Di musim 2017/2018, meski merekrut nama-nama pengganti macam Youri Tielemans serta Keita Balde, juga dipadukan dengan sosok-sosok lama macam Kamil Glik, Danijel Subasic, serta Falcao, Monaco gagal menorehkan sesuatu.
Di ajang Liga Champions, mereka kelimpungan. Di Ligue 1, mereka juga hanya mampu duduk di peringkat dua. Begitupun di ajang lokal lain macam Coupe de la Ligue atau Trophee des Champions, Monaco gagal menjadi juara. Meski begitu, ini tentu adalah sebuah kemunduran tersendiri, mengingat di musim sebelumnya, mereka begitu digdaya.
Musim 2018/2019, segalanya jadi lebih buruk bagi Monaco. Dipecatnya Leonardo Jardim–ia digantikan oleh Thierry Henry–menjadi awal mula kehancuran Monaco. Henry yang didapuk sebagai pelatih, ditambah dengan hadirnya Cesc Fabregas pada pertengahan musim, belum mampu mengangkat performa Monaco. Setelah musim 2016/17 yang apik, mereka justru mengalami kejatuhan.
Lalu, apa yang terjadi pada Ajax? Apakah mereka mengalami hal yang sama?
Meski setelah musim 2016/2017 mereka juga ditinggal beberapa nama, seperti Davy Klaassen, Davinson Sanchez, Justin Kluivert, serta Amin Younes, Ajax tetap mampu menjaga kestabilan mereka. Kenapa? Karena mereka tetap mempertahankan para pemain muda mereka dalam skuat. Mereka dibiarkan berkembang sedemikian rupa.
Nama-nama yang muncul sekarang, seperti Matthijs de Ligt, Frenkie de Jong, Donny van de Beek, Joel Veltman, maupun Hakim Ziyech, adalah nama-nama yang turut melawan United pada 2016/2017 silam. Mereka sekarang sudah lebih matang, dan mereka mampu menunjukkan penampilan prima. De Ligt dan De Jong bahkan sudah mencatatkan penampilan internasional bersama Timnas Belanda senior.
Moncernya Ajax ini juga dikarenakan matangnya juga manajemen dalam mengambil keputusan. Meski sempat ditinggal Peter Bosz yang menyeberang ke Borussia Dortmund (meski gagal), mereka tidak kelimpungan. Mereka mampu menemukan sosok pelatih yang tepat di tangan Erik ten Hag. Di bawah komando Ten Hag, talenta muda Ajax bersinar.
Hal ini juga ditambah dengan kemampuan Ajax dalam merekrut pemain. Alih-alih merekrut bintang, mereka justru merekrut eks lulusan akademi yang pernah main di klub besar macam Daley Blind dan Klaas-Jan Huntelaar. Dusan Tadic, sosok yang juga akrab dengan kompetisi Belanda dan pernah main di Inggris, direkrut. Hadirnya para pemain senior ini dapat membimbing para pemain muda di tim.
Alhasil, pada musim ini, Ajax tampil lebih stabil. Selain mampu merajai Eredivisie dan menjejakkan kaki di final KNVB Cup, mereka juga mampu mencapai babak semifinal Liga Champions. Perjuangan mereka untuk ke sini juga terhitung sulit, karena mereka harus mengalahkan tim-tim besar macam Juventus dan Real Madrid.
Di semifinal nanti, mereka akan berhadapan dengan Tottenham Hotspur. Peluang mencapai final tentu terbuka, tapi yang terpenting, Ajax berhasil menjaga stabilitas permainan mereka sejak 2016/2017 silam. Tidak sembarangan melepas pemain muda adalah salah satu kunci mereka menjaga stabilitas ini.
Namun, apakah itu akan bertahan lama?
***
Layaknya ikan besar yang selalu mengincar mangsa, klub-klub besar Eropa akan jadi momok tersendiri bagi Ajax. Talenta muda mereka kelak akan digoda, diming-imingi uang besar, lalu akhirnya pindah dari Amsterdam Arena. Tapi, mereka seharusnya bisa belajar dari kejadian 2016/17 silam. Pemain mereka yang pindah tidak semua menorehkan prestasi di klub baru.
Jadi, ada baiknya Ajax jangan seperti Monaco, yang serampangan dalam melepas pemain. Apalagi, ada isu yang merebak bahwa De Ligt dan De Jong akan pindah pada musim 2019/2020 mendatang. Belum lagi jika kelak ada talenta-talenta Ajax lain yang diincar, misal Ziyech.
Karena, jika itu terjadi, Ajax sendiri yang akan kena getahnya. Bisa saja penampilan mereka akan turun, dan Ajax tidak akan mampu lagi bersaing di Eropa, atau bahkan di kompetisi Eredivisie sekalipun. Bukan hanya itu, pemain yang dilepas pun bisa saja mengalami penurunan performa, karena ia dilepaskan di usia yang belum matang.
Intinya, pertimbangan matang-matang perlu dilakukan Ajax, karena jika mereka salah mengambil keputusan, bukan hanya mereka yang rugi, tapi juga si pemain yang kelak mereka lepas. Jangan sampai seperti Monaco, meski kadang godaan uang besar adalah sesuatu yang sulit untuk dinafikkan.