Ahmad Hisyam Tolle dan Kisah Inkonsistensi PSSI dalam Menegakkan Aturan

Foto: Instagram Achmad Hisyam Tolle.

Sepakbola Indonesia tampaknya tidak mau lepas dari yang namanya kekerasan. Pada pertandingan Liga 2 yang melibatkan PSIM Jogja melawan Persis Solo di Mandala Krida beberapa waktu lalu, kerusuhan pecah yang melibatkan beberapa pemain.

Satu yang menjadi sorotan adalah aksi penggawa PSIM, Ahmad Hisyam Tolle yang menendang pemain Persis Solo, M. Sulthon. Tidak hanya itu, pemain kelahiran Makassar ini juga melakukan intimidasi terhadap Budi Cahyono, seorang fotografer dari media Goal Indonesia.

Komite Disiplin (Komdis) PSSI kemudian melakukan sidang terkait insiden tersebut dan sudah membuat beberapa keputusan. Mereka akhirnya menjatuhkan vonis hukuman lima tahun larangan beraktivitas di kancah sepakbola yang berada dalam naungan PSSI kepada Tolle. Selain itu, mereka juga memberikan hukuman kepada Raymond Ivantonius berupa larangan bermain dalam dua pertandingan serta Aldaier Makatindu yang mendapat sanksi berupa teguran.

Hukuman untuk Tolle sudah pasti menjadi yang terberat. Imbas dari hukuman ini adalah karier sepakbola si pemain yang untuk sementara berhenti. Sangat disayangkan memang mengingat Tolle baru berusia 25 tahun. Hal ini berarti, ia baru bisa bermain lagi ketika usianya 30 tahun. Butuh kesabaran ekstra bagi Tolle untuk bisa menjalani hukuman ini.

Namun di sini PSSI menunjukkan ketegasannya sebagai penegak aturan. Dengan larangan bermain selama lima tahun, diharapkan para pemain bisa mengatur emosi mereka ketika berada di atas lapangan. Selain itu, larangan main dalam jangka waktu yang lama diharapkan bisa memberikan efek jera untuk tidak lagi melakukan hal serupa.

“Pertama-tama saya memohon maaf atas perilaku saya yang buruk sebagai pemain sepakbola profesional, khususnya kepada pemain Persis Solo yang bersangkutan dan juga kepada wartawan. Mudah-mudahan ini menjadi pembelajarang yang berharga buat saya untuk ke depannya. Tidak ada pembelaan sama sekali atas perilaku buruk saya dan saya pun siap menerima konsekuensi apapun terhadap perilaku saya,” tuturnya dalam akun Instagram pribadinya.

Meski Tolle menerima konsekuensi dari perbuatannya, baik Tolle maupun PSIM masih bisa melakukan banding. Dengan banding yang dilakukan, maka hukuman bagi si pemain bisa ditinjau kembali. Namun hal itu masih bergantung kepada keputusan Komdis PSSI.

Konsisten Merevisi Hukuman dan Tebang Pilih

Namun, sulit rasanya untuk tidak meninggalkan prasangka ketika menyaksikan kehidupan sepakbola Indonesia. Terutama dalam hal penegakan hukuman dan aturan yang sudah diberlakukan. Tidak jarang, keputusan yang diambil akan kembali dipertimbangkan dan kemudian direvisi sehingga para pemain yang terlibat seperti tidak mendapatkan efek jera.

Kasus Tolle diatas bisa menjadi contoh untuk kedepannya. Kita semua berharap PSSI maupun Komite Disiplin bisa bertindak tegas ketika sudah mengambil keputusan. Namun di sisi lain kita seolah yakin kalau hukuman lima tahun ini suatu ketika akan dikurangi durasinya menjadi beberapa tahun atau bahkan hanya dalam hitungan bulan. Bahkan dalam waktu dekat ada kongres PSSI sekaligus pemilihan Ketua Umum baru. Biasanya, ketika Ketua Umum baru menjabat, mereka bisa menghapuskan segala hukuman yang terjadi pada periode sebelumnya.

Saya jadi teringat kembali kasus yang melibatkan penggawa Persiwa Wamena, Pieter Rumaropen pada tahun 2013 lalu. Saat itu, Pieter mendapat hukuman larangan bertanding seumur hidup setelah melakukan pemukulan terhadap wasit Muhaimin dalam laga Persiwa melawan Pelita Bandung Raya. Pieter datang dari belakang dan langsung memberikan pukulan yang membuat Muhaimin berdarah. Saat itu, Pieter berdalih kalau ia hanya ingin menarik wasit dan mengajaknya diskusi.

Belum genap setahun dari larangan main tersebut, hukuman yang diterima Pieter kemudian dikurangi menjadi larangan main satu tahun saja. Alasan usia yang sudah memasuki 30-an dijadikan alasan pengurangan hukuman. Ajaibnya, belum genap setahun hukuman tersebut berjalan, Pieter tiba-tiba bermain dalam pertandingan Liga 2. Si pemain menyebut kalau hukuman yang diterima hanya larangan bermain di kompetisi level tertinggi.

“Saya berani main di Divisi Utama karena dapat izin dari PT Liga. Manajemen bilang kalau sanksi saya hanya berlaku di ISL (Indonesia Super League). Katanya surat izin dari PT Liga juga sudah didapat. Saya sadar kalau saya masih ada hukuman tapi manajer (Agus Santoso) bilang, ‘Hukumanmu cuma di ISL’,” tutur Pieter seperti dikutip dari Berita Satu.

Hal ini juga pernah dirasakan oleh Christian Gonzalez. Pada medio November 2008 lalu, El Loco dilarang PSSI untuk bermain selama 12 bulan setelah memukul bek PSMS Medan, Erwin Hasibuan. Namun pada putaran kedua Indonesia Super League 2008/09, si pemain dipersilahkan untuk kembali bermain dan bisa memperkuat Persib Bandung. Pengampunan dari Nurdin Halid, ketua umum PSSI saat itu dijadikan alasan. Striker haus gol ini menjadi pemain yang langganan mendapat hukuman dari federasi namun kerap kali mendapat revisi atau bahkan pengampunan.

Tidak hanya konsisten merevisi, namun terkadang Komdis juga kerap melakukan tebang pilih dalam memberikan hukuman. Hal ini yang menimbulkan kesan kalau mereka hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.

Nasib Pieter Rumaropen masih lebih beruntung ketimbang Stanley Mamuaya. Pada 2008, Stanley menjadi dalang dari aksi pengeroyokan wasit saat timnya, PSIR Rembang, melawan Persibom Boolang Mongodow. Atas aksinya tersebut, ia dijatuhi hukuman bermain seumur hidup. Apes bagi Stanley, hukuman itu masih berlaku hingga saat ini.

Kurnia Meiga juga pernah merasakan pengampunan dari federasi atas hukuman yang ia terima. Seperti dilansir dari Antara News, mantan penjaga gawang timnas Indonesia ini pernah dihukum satu tahun karena pernah menganiaya wasit dalam laga melawan PKT Bontang pada 2008. Namun seiring berjalannya waktu, KM hanya menjalani hukuman lima bulan saja dengan alasan kalau usianya saat itu masih terlalu muda untuk mendapatkan hukuman larangan main selama itu.

Selain kepada pemain, revisi hukuman juga sering diberikan oleh Komdis kepada beberapa kesebelasan yang membuat kesalahan. Kita sering mendengar ketika sebuah kesebelasan dihukum larangan main di laga kandang dalam kurun waktu tertentu lalu direvisi menjadi beberapa bulan saja. Bahkan beberapa kali mereka hanya memberi hukuman untuk memperbolehkan penonton hadir di lapangan namun tidak boleh memakai atribut. Sebuah hukuman yang sampai sekarang belum bisa diterima oleh akal saya karena yang menonton sepakbola biasanya adalah manusia dan bukan atributnya.

***

Dalam kasus yang melibatkan Ahmad Hisyam Tolle ini diharapkan PSSI dan juga Komisi Disiplin bisa lebih tegas dalam menegakkan aturan dan konsisten dengan keputusan yang dia ambil. Kalaupun nantinya akan ada revisi, diharapkan revisi tersebut masih bisa memberikan efek jera kepada si pelaku.