Akhir Karier Ryan Giggs yang Tidak Mengenakkan

Ryan Giggs saat menjadi manajer Manchester United. (Foto: Telegraph)

6 Mei 2014 menjadi akhir dari perjalanan karier Ryan Giggs di Manchester United. Setelah 27 musim bermain, dengan 24 musim ia bermain di level tertinggi, The Welsh Wizard memutuskan untuk berhenti pada pertandingan ke-632 di Premier League atau yang ke-963 di semua kompetisi bersama Setan Merah.

20 menit terakhir dalam pertandingan United melawan Hull City adalah aksi terakhir Giggs di atas rumput hijau yang bisa dilihat suporter United. Satu tendangan bebas yang ditepis oleh Eldin Jakupovic jelang akhir pertandingan, seolah menjadi persembahan terakhirnya kepada suporter Setan Merah.

Kita semua sepakat kalau Giggs adalah ejawantah dari kebanggaan dan loyalitas tanpa batas. Bersama Gary Neville dan Phil Scholes, dia adalah simbol dari one man club di Manchester United. Yang membedakannya adalah, Giggs sudah lebih dulu hadir di United saat mereka masih merintis menjadi kesebelasan yang akan mendominasi Premier League.

Jika Alex Ferguson dan pemandu bakatnya, Joe Brown, tidak datang ke rumah Giggs, maka jalan karier Giggs mungkin akan diwarnai dengan warna biru Manchester City. Atau, bisa saja dia terkenal tapi namanya tidak sebesar di United. Dengan rayuan berupa jaminan tiga tahun menjadi pemain utama membuat Giggs berani memilih untuk menjadi keluarga Manchester United.

Giggs juga menjadi simbol perlawanan. Disaat pemain-pemain Eropa lain mungkin akan berhenti pada usia 34 atau 35 tahun, Giggs memilih untuk bermain hingga usia 40. Bahkan saat usianya 35 tahun, Giggs masih sanggup menjadi pemain terbaik di tengah rambutnya yang sudah memutih.

Giggs kemudian membuat suporter United mulai berdecak kagum melalui kecepatan, kemampuan drible, dan kelincahannya menyisir sisi kiri lapangan. Sederet julukan dari ‘penerus George Best’ hingga ‘penyihir dari Wales’ mulai diberikan meski tidak sedikit yang merasa Giggs tidak pantas mendapat julukan seperti itu.

“Menyebut Ryan Giggs mirip dengan George Best adalah perkataan yang tidak benar. Justru Best yang mirip dengan Ryan Giggs,” kata Denis Law yang justru membawa United sukses di era 60-an bersama Best. Yang menarik, Best justru sepakat dengan ucapan Law.

Ucapan Law mungkin berlebihan, tapi tunggu ketika Ron Atkinson dan Luis Figo mengeluarkan pujian kepada Giggs. Ron menyebut kalau hadirnya Giggs menandakan kalau Tuhan di sepakbola itu benar ada. Tapi Tuhan yang dimaksud bukan Maradona, melainkan Giggs. Sementara itu, Figo menyebut kalau Giggs adalah pemain sepakbola yang dipilih langsung oleh Tuhan.

Mantan asisten Ferguson, Bryan Kidd, bahkan menyebut kalau Giggs tetap akan memiliki kemampuan bermain bola yang sama meski dia bekerja sebagai supir bus. Puja dan puji menjadi bukti kalau Giggs adalah salah satu legenda besar di dunia sepakbola.

Dengan nama besar yang dimiliki, perpisahan Giggs seharusnya bisa dirayakan dengan meriah. Sayangnya, inilah yang tidak bisa ia dapatkan. Tidak ada seremonial yang berkesan. Tidak ada plakat apa pun yang ia terima dari klub. Pidato terakhirnya bersama United justru dipersembahkan kepada Nemanja Vidic dan suporter United. Tidak ucapan perpisahan yang diucapkan untuk mewakili dirinya kepada publik Old Trafford.

Jika David Moyes masih memimpin klub, mungkin Giggs akan bercerita tentang rekam jejak kariernya yang berkesan ala-ala Hariono atau Bambang Pamungkas di klubnya masing-masing. Akan tetapi, laga melawan Hull City saat itu adalah pertandingan ketiga Giggs sebagai seorang player-manager sehingga ucapannya harus mewakili dirinya sebagai manajer Manchester United.

“Saya emosional ketika berada di mobil setelah pertandingan. Saya menangis karena harus mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang mungkin untuk terakhir kalinya akan bermain. Kedengarannya bodoh, tapi saya merasa kalau itu bukan saya yang sesungguhnya,” kata Giggs dalam dokumenternya “Life of Ryan.

Suasananya terasa berbeda. Selayaknya pemain senior, Giggs harus berdiri mewakili United untuk menjelaskan sekaligus meminta maaf kepada suporternya karena melihat timnya jatuh setelah menggapai puncak. Keputusan pensiunnya hanya diwakili oleh surat yang dirilis oleh situs resmi klub dua minggu kemudian.

“Saya mengambil kesempatan ini untuk mengumumkan pengumuman pensiunnya saya sebagai pemain profesional dan memulai bab baru sebagai asisten manajer Manchester United,” kata Giggs.

Akhir karier Giggs di United memang terkesan mengenaskan. Selain tidak ada seremoni perpisahan, ia juga menutup kariernya dengan tidak bisa mencetak satu pun gol di Premier League. Padahal, Giggs selalu bisa mencetak gol di setiap musim Premier League yang ia jalani.

Belum lagi soal labelnya sebagai perusak rumah tangga orang. Sang adik, Rhodri, harus bercerai dengan istrinya, Natasha Lever, pada 2013 akibat kelakuan kakaknya yang memiliki hubungan gelap dengan istrinya. Padahal, Giggs juga sudah punya dua anak hasil pernikahannya dengan Stacey Cooke. Dalam life of Ryan, Giggs diceritakan sebagai family man di keluarganya, namun saat itu juga dia punya hubungan dengan iparnya sendiri.

Ulahnya membuat hubungan antara keluarga Giggs menjadi berantakan. Sang ayah, Danny Wilson, bahkan kecewa berat kepada Giggs. Stacey, yang berusaha kuat untuk mempertahankan pernikahannya tersebut, juga tidak tahan lagi terhadap sikap genit sang suami yang berujung dengan perceraian pada 2017.

Sebelum munculnya Ole Gunnar Solskjaer, nama Giggs sebenarnya diharapkan bisa menjadi manajer United berikutnya. Hal tersebut baru bisa terealisasi jika dia bisa belajar dari Van Gaal yang menjadi manajer United berikutnya. Sayangnya, ia disebut-sebut tidak banyak dilibatkan oleh sang meneer dalam pengambilan keputusan.

Meski beberapa kali berkilah dengan menyebut kalau hubungan mereka baik-baik saja, namun tidak sedikit kabar berhembus kalau Van Gaal lebih senang berinteraksi dengan asisten yang ia bawa dibanding Giggs. Keadaan diperparah ketika Jose Mourinho juga tidak menginginkannya menjadi asisten di United karena skandal selingkuhnya yang membuat Mourinho ragu apakah Giggs adalah orang yang bisa dipercaya atau tidak.

Giggs belum meninggalkan sepakbola. Dua tahun setelah meninggalkan United, ia terpilih menjadi manajer tim nasional Wales menggantikan Chris Coleman dengan kontrak empat tahun. Ia dituntut untuk bisa membawa Wales minimal ikut kompetisi akbar musim panas. Hal itu sudah terealisasi dengan lolosnya mereka ke Euro 2020 yang harus mundur karena pandemi.

Akhir karier Giggs sebagai pemain mungkin tidak mengenakkan, namun ia masih punya kesempatan mengakhiri kariernya sebagai pelatih yang sukses suatu hari nanti. Namun sebelum mencapai target itu, nama Giggs akan selalu dikenang sebagai salah satu pemain terbaik sepanjang masa milik Manchester United.