Analisis 3 Cara untuk Mengalahkan Liverpool

Tahun 2020 telah memasuki bulan kedua, artinya tinggal menyisakan 12 laga sisa. Tapi ada satu hal yang mungkin belum berubah adalah kepiawaian Liverpool menaklukan setiap tim di markasnya masing-masing. Sebagai pengingat, tim asuhan Juergen Klopp tak pernah terkalahkan hingga gameweek ke-25. Total sudah 43 laga tak terkalahkan dicatatkan The Reds hingga pekan lalu. Di kandang sendiri? Liverpool tak terkalahkan di Anfield sejak April 2017!

Mungkin timbul pertanyaan yang menggelitik: ”Bagaimana cara mengalahkan Liverpool?”

Sebenarnya di ajang lain seperti Champions League dan Piala Liga, Liverpool pernah dikalahkan Napoli 0-2 (17 September 2019) serta yang paling mutakhir yaitu kalah telak 0-5 dari pasukan Aston Villa. Saat itu, Liverpool menurunkan seluruh pemain muda diantaranya 13 pemain dari tim U-23 serta 5 pemain muda yang didaftarkan ke skuat inti musim ini.

Penulis mencoba memberikan beberapa kemungkinan secara taktikal berdasarkan analisis yang dilakukan dari laga-laga yang menampilkan Liverpool sedikit kepayahan.

  1. Memaksa Lini Tengah Liverpool Bermain Merapat

Ada beberapa pertandingan yang dijadikan acuan. Diantaranya pertandingan kontra RB Salzburg dan Napoli pada ajang Liga Champions, pertandingan kontra Sheffield United di ajang EPL. Mengapa pertandingan ini yang dipilih? Laga melawan RB Salzburg dijadikan acuan karena pada laga tersebut Liverpool “kalah” pada babak kedua. Di laga tersebut, pasukan Jesse March mampu menunjukkan celah kelemahan Liverpool dengan mencetak 3 gol hanya dalam waktu 20 menit setelah kebobolan 3 gol.

Juga tengok juga apa yang dilakukan Chris Wilder ketika Sheffield United melawan Liverpool di pekan-pekan awal Premier League. The Blades yang terkenal dengan pola 3-5-2 sejak ditangani Wilder, menggunakan pendekatan yang defesif melawan Mohamed Salah dkk. yakni 5-3-2-0.

Membahas lini tengah, kunci distribusi permainan Liverpool pada musim ini adalah seorang Fabinho. Ia selalu bermain di setiap laga yang dijalani Liverpool karena peran sentralnya. Mematikan Fabinho berarti juga mematikan setengah jalan Liverpool untuk mengalirkan bola, terutama kepada kedua bek sayap yang tampil impresif, Andrew Robertson dan Trent Alexander-Arnold.

Sayangnya, hanya memotong suplai-suplai Fabinho kepada para pemain sayap tidaklah cukup. Contohnya, hal ini terjadi ketika Liverpool berhadapan dengan Arsenal. Saat itu Unai Emery memerintahkan anak asuhnya untuk “mematikan” peran Fabinho untuk menyuplai bola ke depan. Alih-alih mengurangi porsi serangan Liverpool, Arsenal malah kewalahan dengan direct pass yang dilakukan Fabinho kepada trio Firmino-Mane-Salah. Arsenal akhirnya dilibas 3-1 pada Agustus silam.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah memaksa pemain tengah Liverpool untuk bermain sangat rapat seperti yang dilakukan Carlo Ancelotti di Napoli kala membenamkan Liverpool 2-0 (17/9). Rapatnya para gelandang ini juga berarti memberikan proteksi yang minim kepada kedua bek sayap mereka.

Minimnya perlindungan kepada Alexander-Arnold serta Robertson mampu dimanfaatkan Napoli kala itu dengan melepaskan serangan balik cepat. Alhasil, The Reds tak bisa berkutik meski mendapat beberapa kali peluang bagus untuk mencetak gol.

  1. Bisa “Melawan Balik” Permainan Pressing Ketat Liverpool

Liverpool di era Klopp berubah menjadi salah satu tim yang mampu memainkan pressing dengan mumpuni. Apalagi Klopp dengan “filosofi” Gegenpress-nya yang langsung mengemuka sejak Borussia Dortmund. Seiring kematangan dan tactical fluidity yang terus berkembang, maka calon lawan mereka juga akan menemui kesulitan ini.

Maka hal yang perlu dilakukan adalah berusaha untuk terus “bermain” dibawah pressing Liverpool. Salah satu caranya adalah dengan terus menguasai bola dan bergerak secepat mungkin, bermain dengan membawa bola lewat area tengah permainan, atau bahkan bermain langsung mengarah ke area pertahanan (direct play).

Musim 2018/2019 lalu, Manchester United yang masih dibesut Jose Mourinho, mampu mencermati celah dari permainan pressing Liverpool.  Pola seperti ini mampu menciptakan situasi bek tengah Liverpool yang biasa ditempati Virgil Van Dijk dan Joel Matip atau Joe Gomez akan tertarik melebar. Hal ini tentu akan memberikan ruang di area penalti Liverpool yang jika dimanfaatkan oleh pemain depan yang berbahaya, akan berakibat fatal bagi gawang mereka. Kala itu Red Devils menang 3-1.

Tapi Liverpool adalah tim hebat dengan pelatih yang hebat pula. Celah ini kadang tak mampu dimanfaatkan lawan, karena pada umumnya para kesebelasan jarang menggunakan para pemain menyerangnya untuk melakukan pressing ketat dan juga kecepatan yang mampu mengimbangi para pemain belakangnya. Pun dengan keahlian duel bola atas dan kemampuan umpan through pass yang dimiliki bek-bek Liverpool.

  1. Sangat dianjurkan: Bermain dengan 2 Striker

Hampir bisa dipastikan, Liverpool musim ini menemui kesulitan kala berjumpa dengan kesebelasan yang memainkan dua striker sekaligus. Contoh terbaru adalah ketika mereka kecolongan bermain imbang 2-2 melawan Shrewsbury, kesebelasan League One alias divisi ketiga Inggris. Shrewsbury bahkan secara mengejutkan berhasil mencetak 2 gol balasan setelah tertinggal 0-2.

Mengapa penggunaan 2 striker ini bisa dibilang cukup penting? Pertama, memungkinkan untuk “melawan” dengan ikut melakukan pressing sejak di daerah kotak penalti Liverpool. Permainan sepakbola daratan Eropa yang juga diusung Klopp, biasanya akan mengoperkan bola kepada bek tengah. Dengan ditempelnya bek oleh dua penyerang, maka akan merepotkan para pemain bertahan Liverpool. Nantinya, pola pressing ketat dari kedua penyerang akan membentuk suatu “perangkap”. Dengan artian lain, pendekatan 2 striker ini menjadi berguna ketika masing-masing striker juga ikut memainkan pressing ketat dan juga membentuk sistem perangkap pressing yang artinya mengurung pemain bertahan.

Laga kontra Salzburg juga menjadi contoh bagaimana saat itu kawalan ketat Hwang Hee-Chan serta Patson Daka (yang kemudian digantikan Erling Haaland) mampu merepotkan penjaga gawang Liverpool, Adrian, serta dua bek mereka, Joe Gomez serta Virgil Van Dijk. Bahkan gol pertama Salzburg yang dicetak Hwang Hee-Chan lahir dari “perangkap” yang diciptakan oleh skema ini.

Kemudian, penggunaan dua striker akan membentuk juga “perangkap pressing” yang membuat gelandang tengah mendorong Fabinho turun ke bawah. Menjebak Fabinho ke dalam posisi perangkap ini sungguh bencana bagi Liverpool, mengingat ia adalah pembagi bola dan juga motor serangan. Di ajang Champions League musim ini, Liverpool kebobolan 7 gol ketika melawan kesebelasan yang mengunakan pola 2 penyerang ini.

Pertanyaan berikutnya: Kalau penjelasan di atas setidaknya mengambarkan sedikit tentang kelemahan Liverpool, lalu mengapa tak semua tim lantas menggunakan pendekatan tersebut?

Jawabannya, karena setiap tim memiliki preferensi penggunaan taktik yang berbeda. Maksudnya, setiap pelatih pasti punya idealisme tersendiri mengenai penggunaan formasi dan filosofi bermainnya. Ditambah lagi, perlu waktu yang tidak sebentar bagi suatu kesebelasan untuk benar-benar memahami suatu strategi. Lagi pula, setiap tim pasti mempersiapkan puluhan pertandingan untuk dihadapi, tak hanya untuk melawan Liverpool saja.

Tim-tim seperti Sheffield United, Southampton, hingga Manchester United tambil dengan menggunakan 2 penyerang saat melawan Liverpool di jeda kedua Premier League tahun ini (setelah bulan Desember). Namun, tak satupun dari mereka yang mempu mengoptimalkan para pemainnya untuk memanfaatkan dua penyerang di kotak penalti Liverpool. Alih-alih sukses membuat Liverpool kelah pertama kali di ajang liga, mereka menderita kekalahan tanpa satu balasan gol pun.

Celakanya bagi lawan-lawan Liverpool, Juergen Klopp telah melakukan trial and error selama lebih dari 4 musim lebih untuk membentuk Liverpool menjadi seperti kekuatan hebat seperti sekarang ini. Sementara lawan-lawannya, bahkan hanya segelintir yang dalam waktu bersamaan melakukan pendekatan taktik atau filosofi yang sama. Ditambah, pelatih di Premier League umumnya berganti hampir setiap musim.

Tiga poin besar di atas adalah pengamatan taktikal secara langsung dari penulis yang melihat celah kelemahan Liverpool di musim ini. Tentu saja poin-poin tersebut tidaklah mutlak, karena sepakbola adalah suatu sistem yang artinya diperlukan elemen-elemen penunjang seperti pemahaman yang matang, kecerdasan pemain di atas lapangan, serta adaptasi taktik dan fisik yang baik dari seluruh pemain.

Dengan keunggulan 25 poin sementara hingga pekan ke-26, ucapan selamat harus diucapkan secara prematur kepada Liverpool untuk memenangi gelar liga musim 2019/2020 ini. Untuk sementara ini, satu poin lainnya untuk membuat Liverpool kalah adalah: Kesalahan mereka sendiri.

Catatan tambahan: Saat tulisan ini dibuat, Liverpool belum menghadapi Atletico Madrid di ajang UCL. Terukti, Atletico yang bermain dengan memenuhi 3 poin di atas berhasil mengalahkan Liverpool dengan skor 1-0 melalui proses gol set-piece. Atleti berhasil melawan pressing ketat, terbukti meski Los Rojiblancos kalah telak soal ball possesion 27:73 %, namun mereka berhasil melepaskan 7 tembakan ke gawang, terpaut 1 tembakan dari Liverpool.