Musim 2018/2019 sempat berjalan indah bagi FC Barcelona. Bahkan, sampai sekira pertengahan musim, impian untuk meraih treble masih mungkin untuk digapai.
Sampai pekan ke-19 La Liga 2018/2019. Barcelona berada di atas angin. Mereka baru kalah dua kali dari total 19 laga yang sudah mereka jalani. Di ajang Copa del Rey dan Liga Champions, mereka juga terus melaju. Tak ada yang bisa menghentikan Barcelona saat itu.
Alhasil, impian untuk meraih treble mulai menyeruak. Setelah tidak lama merengkuh treble, melihat performa Barcelona sampai pertengahan musim, sepertinya hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil diraih. Apalagi, Lionel Messi, sang ace Barcelona, juga sedang gila-gilanya.
Sial bagi Blaugrana, memasuki tiga perempat akhir musim, beberapa petaka mulai menghampiri. Petaka paling paripurna adalah ketika di laga semifinal Liga Champions, Barcelona yang sudah unggul 3-0 di leg pertama disikat balik oleh Liverpool dengan skor 0-4 di leg kedua. Barcelona gagal ke final.
Petaka lain yang juga tak kalah menyedihkannya bagi Barcelona terjadi di Copa del Rey. Menghadapi Valencia di laga final, mereka yang diunggulkan justru tidak bisa berbuat apa-apa. Barca takluk 1-2 oleh Valencia, meski Messi, pemain kunci mereka, mampu mencetak satu gol di laga itu.
Seiring dengan kegagalan Barcelona ini, banyak spekulasi sekaligus analisis yang bermunculan. Salah satu yang cukup banyak digemakan adalah mengenai tidak becusnya Ernesto Valverde dalam menerapkan strategi. Hal itu berimbas pada hasil-hasil buruk yang acap diterima Barcelona.
Namun, jika menilik lagi, sebenarnya ada juga satu alasan kenapa Barcelona akhirnya gagal meraih treble. Salah satunya adalah karena lawan sudah paham bagaimana menghentikan Lionel Messi, dan itu berefek pada permainan tim. Hal itu sama dengan kisah yang terjadi di klub bernama Tokyo Victory.
Loh, mengapa keduanya bisa sama? Begini kisahnya.
Tokyo Victory yang Goyang Ditinggal Ace
Tokyo Victory bukanlah klub yang ada di dunia nyata. Ia adalah klub fiktif yang muncul dalam manga Giant Killing. Bagi yang belum tahu, Giant Killing adalah manga yang ceritanya berpusat pada manajer sepak bola bernama Takeshi Tatsumi. Ia adalah manajer klub East Tokyo United (ETU). Ya, ETU juga klub fiktif, tak benar-benar ada di kompetisi J-League.
Jadi ceritanya, Tokyo Victory ini adalah klub pesaing ETU. Persaingan keduanya semakin panas karena keduanya berada dalam satu kota yang sama. Namun, dari segi raihan, Tokyo Victory diceritakan lebih unggul karena mereka sukses meraih gelar juara J-League selama dua musim berturut-turut.
Nah, keberhasilan Tokyo Victory ini bukan cuma karena kelihaian para pemainnya (salah satu karakter di Giant Killing menyebut Victory berisikan pemain-pemain cerdas). Ada satu pemain yang muncul sebagai raja di tim, mengatur permainan, menggerakkan rekan-rekannya, sekaligus mencetak gol jika dibutuhkan. Ia adalah Ren Mochida.
Mochida pun menjelma salah satu karakter kuat dalam manga Giant Killing, bersama Tatsumi dan pemain muda ETU, Daisuke Tsubaki. Kemampuan Mochida ini komplit, dan itu bisa dilihat dalam beberapa seri manga Giant Killing, termasuk ketika Victory melawan ETU. Bahkan, Mochida juga bisa tampil apik kala berseragam Timnas Jepang.
Saking kuatnya pemgaruh Mochida ini, ketika ia harus menepi lama karena cedera, Victory pun jadi kelimpungan. Ada masa ketika Victory sampai turun ke papan tengah karena ketiadaan Mochida ini. Mochida sendiri mengakui dalam sebuah kutipannya di manga Giant Killing vol. 43, “Ketika tidak ada aku, tim ini benar-benar payah,.”
Tatsumi sebagai pelatih pun mengakui bahwa Mochida ini adalah ace sejati. Tapi, konsekuensi dari ace sejati dengan keberadaan yang absolut tersebut, ketika ia tidak ada maka tim akan kehilangan arah. Seperti ketika laga melawan ETU, saat Mochida ditarik keluar, Victory berbalik kalah.
Menilik kejadian Victory ini, hal itu juga bisa dilihat dari skuat Barcelona.
Barcelona yang (Masih) Messidependencia
Sama seperti Mochida, sosok Lionel Messi adalah sosok yang absolut di Barcelona. Bukan cuma di Barcelona, tapi juga di Timnas Argentina. Tak heran, Pep Guardiola dan Alejando Sabella sampai memberikan peran khusus bagi Messi di tim, saking absolutnya pemain ini dibandingkan pemain-pemain lain.
Kemampuan Messi memang bak dewa. Dribel bola jago, mengumpan lihai, mencetak gol ya, jangan ditanya. Pada musim 2018/19 ini saja, ia sukses mencetak 51 gol di semua kompetisi. Sejak musim 2009/10, torehan golnya di ajang liga acap melebihi 30 gol, dan ia pun sukses meraih Sepatu Emas Eropa dalam enam musim berbeda.
Bukan cuma itu saja, Messi juga punya magis tersendiri untuk mengubah jalannya pertandingan. Ada momen ketika Barcelona akan kalah dari Villarreal, Messi dimasukkan oleh Valverde. Barcelona seolah mendapat energi baru, dan jalannya pertandingan jadi menguntungkan Barcelona.
Sekilas apa yang ditunjukkan Messi ini tampak seperti sebuah keberuntungan bagi Barcelona. Investasi mereka pada bocah berusia 11 tahun berbuah hasil, disambut dengan Messi yang sudah menetapkan jalan, bahwa ia ingin terus membela Barcelona sampai pensiun. Namun, apakah hal ini selalu berakhir baik bagi Barcelona?
Ternyata tidak. Barcelona justru jadi ketergantungan pada Messi. Siapapun pelatihnya, ia harus menyediakan ruang khusus untuk Messi. Valverde, dalam skema 4-4-2 miliknya, juga melakukan hal yang sama bagi Messi. Ketika Messi tidak ada, alih-alih dapat menemukan skema cadangan, Barcelona kerap kerepotan.