Apa Saja Kunci “Keberhasilan” Lampard Melatih Chelsea Sejauh Ini?

Sejak awal penunjukannya pada awal musim ini, Frank Lampard termasuk salah satu manajer yang diramalkan media-media akan cepat dipecat. Hal ini tentu saja didasari pada kecenderungan Chelsea (era Abramovich)yang punya rekam jejak buruk untuk memelihara manajer mereka dalam kurun waktu yang panjang. Terlebih, dengan hukuman transfer yang diberikan FIFA kepada Chelsea di musim ini.

Bila dilihat secara pengalaman dan pencapaian prestasi, Lampard bisa dibilang jauh dibanding nama-nama kelas wahid yang juga pernah dipekerjakan Chelsea. Luiz Felipe Scolari yang pernah mengantar Brasil menjadi juara Piala Dunia 2002, hanya 6 bulan bekerja. Jose Mourinho, manajer yang paling banyak menyumbang gelar juara bagi Si Biru paling lama hanya bertahan 3 musim disana. Maka tak heran, pencopotan Antonio Conte serta Maurizio Sarri setelahnya makin mempertegas stigma Chelsea yang kejam kepada manajernya. Apa kabar Lampard yang hanya berhasil meloloskan Derby County ke babak play-off Championship musim lalu?

Pada laga pekan pertama, Lampard langsung menjadi olok-olokan karena dibantai 4-0 oleh Manchester United yang juga ditangani mantan pemainnya, Ole Gunnar Solskjaer. Belum lagi kekalahan atas Liverpool di UEFA Super Cup. Singkatnya, dalam 6 laga pembuka, Chelsea hanya menang 2 kali.

Perlahan namun pasti terjadi peningkatan dalam semua sisi. Baik kekompakan pemain, cara bermain, juga hasil postitif yang diraih Chelsea asuhan Lampard. Dalam 5 laga terakhir di Premier League, Chelsea mampu menyapu bersih 15 poin. Menjadikan Chelsea merangsek ke posisi 4 besar, hanya kalah selisih gol dari Leicester City pada pekan ke-11. Pun dengan penampilan mereka di kompetisi kontinental. Hasil imbang 4-4 melawan Ajax (5/11) memperbesar peluang Chelsea melaju ke babak selanjutnya.

Apa yang membuat Lampard kini terlihat semakin mantap bersama pasukan mudanya di Chelsea?

Keluwesan Lampard dalam Menerapkan Formasi

Salah satu penyebab kurang berhasilnya Maurizio Sarri di Chelsea musim lalu adalah mudah ditebaknya formasi yang dimainkan. Maklum, Sarri termasuk pelatih yang memiliki filosofi kuat tentang sepakbola menyerang dengan formasi dasar 4-3-3. Pun dengan kegagalan Antonio Conte untuk mempertahankan gelar pada musim sebelumnya. Chelsea terlalu mudah ditebak.

Bila diamati, ada hal menarik dari apa yang diterapkan Frank Lampard bersama Chelsea yakni keluwesannya memilih taktik atau tak terpaku pada satu formasi dasar. Hal ini bisa dilihat ketika Lampard yang mulanya menerapkan formasi dasar 4-2-3-1 pada laga melawan Man United, mengubahnya menjadi 4-3-3 dengan menggunakan 1 gelandang yang ditarik lebih dalam saat kalah adu penalti melawan Liverpool.

Ternyata pola 4-3-3 ini tak lama ia gunakan. Selang 3 pertandingan, ia mencoba untuk menggunakan formasi 3 bek seperti yang diperagakan kala mengalahkan Wolves 5-2 di Molineux dan melawan Lille di Liga Champions. Yang lebih menarik, Lampard menerapkan ketiga formasi dasar ini (4-3-3, 3-4-1-2, dan 4-2-3-1) secara bergantian. Selain menuntut para pemainnya untuk adaptif, pendekatan ini juga menyulitkan calon lawan-lawannya. Lampard pernah mengutarakan tentang pentingnya adaptasi bagi Chelsea dibawah asuhannya, seperti yang dikutip laman resmi Chelsea.

“Pertanyaan soal filosofi (permainan) adalah pertanyaan sulit,” ujar Lampard. “Setiap pelatih akan selalu ditanyai soal ini. Ini sering berkaitan dengan sepakbola menyerang, tapi itu jelas bukan sepakbola yang akan aku coba lakukan. Kami harus beradaptasi.”

Mendahulukan Penyerangan Dibanding Pertahanan

Banyak pengamat atau pundit yang beranggapan bahwa Lampard adalah manajer tanpa filosofi. Lampard pun secara perkataan tak pernah mempertegas bahwa dirinya memiliki filosofi menyerang. Namun bila melihat apa yang dicatatkannya selama melatih, menyerang adalah filosofinya.

Bila dijumlahkan, total 144 gol diciptakan Derby County dan Chelsea dari 74 laga (dihitung mulai musim 2018/2019). Hal tersebut kontras bila dibandingkan total nirbobol yang dicacatkan yaitu 17 kali.

Jadi bisa dilihat bahwa Lampard memikirkan bagaimana cara menciptakan gol yang banyak ketimbang meminimalisir kemasukan gol.

Cerdik Memilih Pemain Pengganti

Kemampuan Lampard ini tak banyak diperhatikan hingga pekan ke-5 Premier League musim ini. Saat itu, Michy Batshuayi yang bermain dari bangku pemain pengganti dan membantu Chelsea memperlebar jarak gol atas Wolves. Begitu pula dengan laga kontra Lille. Kombinasi Batsman-Mount menjadi momok bagi pertahanan lawan.

Tak hanya Batshuayi yang menjadi senjata rahasia. Callum Hudson-Odoi yang masuk dari bench mampu memberikan pengaruh besar bagi pemain menyerang mereka yakni Pulisic serta Batshuayi. Malahan, kombinasi Pulisic-Batshuayi ini memberikan peran vital di akhir laga melawan Southampton(6/10) serta Ajax (23/10).

Pun dengan laga terakhir yang mereka jalani di Liga Champions kontra Ajax (6/11). Reece James yang masuk pada awal babak kedua mampu menyumbangkan gol penyeimbang 4-4.

Hal ini langsung mengingatkan penulis kala Lampard yang melatih Derby musim lalu mampu menjungkalkan Leeds di partai semifinal play-off Cahmpionship. Lampard dengan cerdik memasukkan Jack Marriott. Hasilnya, kala itu Marriott mampu memberikan kontribusi 2 gol yang memoloskan Derby ke partai final walaupun tertinggal 1 gol di leg pertama.

Didukung Staf Kepelatihan Yang Kompeten (dan Cocok)

Peran asisten manajer atau pelatih sering luput dari sorotan kala seorang manajer meraih keberhasilan. Contohnya bagaimana keberhasilan manajer legendaris Brian Clough yang sulit dipisahkan dari seorang Peter Taylor, atau yang terbaru mungkin bagaimana keberhasilan Juergen Klopp beserta asistennya, Zeljko Buvac yang bersama sejak Klopp membesut Mainz.

Bagi Lampard, sosok tersebut ada dalam diri Jody Morris. Bagi para pengemar Chelsea, Morris adalah legenda Stamford Bridge. Ia turut berkontribusi menyimbang gelar Piala Winners 1998 dan Piala FA 2000 bagi Chelsea.

Selain sama-sama kesayangan Chelsea, baik Lampard dan Morris menemukan visi yang sama dalam melatih yaitu bermain menyerang, menghibur, serta memaksimalkan potensi pemain muda. Bahkan bisa dibilang, Morris yang lebih senior, memberikan pandangan lebih dalam mengenai potensi akademi Chelsea. Maka tak heran, ketika kombinasi Lampard-Morris menangani Derby, pemain muda Chelsea seperti Mason Mount dan Fikayo Tomori turut mereka bawa dan menjadi pemain kunci disana.

Selain Morris, ada sosok Joe Edwards dan Chris Jones. Bisa dibilang, keduanya memberikan peran penting yakni pengetahuan internal klub serta menjaga kebugaran pemain. Edwards telah bekerja di Chelse sejak 2004 dan menjadi kepala akademi Chelsea hingga staf pelatih senior.

Lain halnya dengan Jones yang berperan sebagai pelatih kebugaran sejak era kepelatihan Ancelotti di musim 2009/2010 lalu. Dibawah tangan dingin Jones, Chelsea mampu memaksimalkan kebugaran para pemainnya, termasuk juga Lampard yang kala itu masih bermain. Dikombinasikan nama-nama yang terlebih dulu berada di dalam ajaran kepelatihan, seperti pelatih kiper yang juga eks-kiper, Henrique Hilario, juga Eddie Newton yang berada di klub sejak era Di Matteo.

Kemampuan Man-Management Yang Baik

Ketika rekrutan termahal mereka di musim ini, Christian Pulisic, mengeluhkan soal jam terbangnya yang minim dibawah asuhan Lmpard, banyak yang menyangka bahwa Lampard adalah sosok yang kaku dan keras kepala. Ia dituding mendahulukan egonya untuk memeinkan pemain yang menjadi kesukaannya saja.

Namun anggapan tersebut akhirnya mampu ia tepis sendiri dengan membuktikan bahwa setiap pemain akhirnya mendapat jam bermain sedikit demi sedikit. Terbukti, dengan menjadikan Batshuayi dan Pulisic sebagi senjata rahasia di beberapa laga terakhir Chelsea musim ini. Diluar hal itu, Lampard juga membuktikan bahwa komitmennya memainkan para pemain muda didikan akademi memang sudah terbukti jitu. Ia terbukti memainkan beberapa kombinasi yang memungkinkan setiap pemain mudanya untuk mendapat jam terbang.

Kemampuan man-management dari Lampard juga diperkuat dengan “membuang” David Luiz demi memberi ruang kepada pemain-pemain lain. Total sudah 21 pemain berbeda yang pernah diturunkan Lampard bertanding untuk Chelsea musim 2019/2020 ini.

***

Dengan berhasilnya Lampard menepis ramalan-ramalan pemecatan dini terhadapnya sejauh ini, hal-hal diatas bisa jadi alasan mengapa pria dengan skor IQ 150 ini masih bertahan. Siapa tahu, dengan terus meningkatkan kelemahan-kelemahannya, termasuk lemahnya sektor pertahanan, Lampard mampu membuktikan bahkan mengejutkan banyak pihak di akhir musim nanti.