Bagi saya pribadi, Atep lebih dari sekadar babak semifinal Liga Super Indonesia 2014 semata. Ia adalah sebuah kontradiksi tersendiri di tubuh Persib.
Masa Atep membela Persib terhitung sangat lama, yakni 10 musim. Jika tidak salah, ia hadir di Persib bersamaan dengan hadirnya Hariono, di era ketika tim berjuluk “Maung Bandung” itu ditangani oleh Jaya Hartono. Atep dan Hariono ketika itu datang sebagai pemain yang sudah mengenyam sukses di klub mereka sebelumnya. Hariono bersama Deltras Sidoarjo, Atep bersama Persija.
Khusus bagi Atep, menanggalkan status sebagai pemain kunci Persija, Atep memilih hijrah ke Persib. Pilihan ini, selain menjadi sebuah pilihan bijak baginya, seolah menjadi sebuah guratan takdir. Bakat Atep memang terasah di Persija, tapi, cerita legendaris Atep justru menggaung dan jadi narasi besar di Persib.
Ceritanya selama 10 musim bersama Persib adalah cerita yang penuh lika-liku. Di dalamnya ada duka yang dalam, sekaligus juga berhias suka yang luar biasa. Atep sukses mematri dirinya dalam setiap sanubari pendukung Persib yang berkesempatan besar menonton aksi-aksinya selama di lapangan hijau. Termasuk saya.
***
Kala itu, ketika saya masih SMP, saya yang berlangganan koran Tribun Jabar membaca sebuah berita yang mengejutkan. Atep Rizal, pemuda asal Cianjur, memutuskan untuk bergabung bersama Persib. Dalam foto yang dilampirkan redaksi Tribun, yang saya ingat, Atep mengenakan celana jeans dengan kaos berwarna abu-abu. Senyumnya khas, ditambah janggut tipis yang berada di bawah bibirnya.
Kedatangan Atep ini pun membuat saya berspekulasi. Bagi Persib yang kala itu tengah bersiap menatap kompetisi Liga Super Indonesia 2008, kedatangan sosok gelandang serang (dulu posisi Atep adalah itu) ini menjanjikan sebuah kekuatan. Bersama Eka Ramdani, terbayang sudah sebuah kekuatan lini serang Persib yang apik.
Namun, sepanjang perjalanannya, seperti layaknya pemain bintang di Eropa, Atep bertransformasi. Ia sulit mengisi posisi gelandang serang karena harus bersaing dengan Eka dan juga Lorenzo Cabanas. Atep tahu bahwa sulit baginya untuk bermain di pos tersebut, hingga akhirnya ia pun mengubah posisi menjadi pemain sayap. Atep kerap mengisi posisi sebelah kiri, saling melengkapi dengan Siswanto di sisi kanan.
Dari sinilah, pelan-pelan, Atep mulai menyamai gerakan Cristiano Ronaldo. Rambut sirip hiu, gaya menggiring a la Ronaldo, serta tembakan-tembakan jarak jauh yang kerap ia lepaskan, ditambah aksi “cut-inside” a la CR7, membuat Atep seakan menjadi sosok Ronaldo-nya Persib. Saya ingat betul, dalam rekaman memori saya, Atep senang melakukan “step over”, sebuah gaya gocekan yang sangat khas Ronaldo.
Semenjak transformasi itu, Atep berubah menjadi pemain sayap andalan Persib. Saya harus akui, ini adalah sebuah perkembangan dari Atep. Walau kadang ia kerap terlalu ke-Ronaldo-Ronaldo-an, saya tetap senang dengan gaya main Atep di sayap ini. Hal itu membuat sayap Persib lebih hidup, sekaligus menjadi lebih tajam karena Atep tak segan melakukan terobosan dengan giringan bola dan gerakan kaki nan aduhai (meski tak selamanya berhasil).
Tapi, tidak seperti saya, tak semuanya menyukai gaya Atep ini. Alhasil, Atep menghasilkan sebuah kontradiksi. Di satu sisi banyak yang menyukainya, di sisi yang lain, banyak juga yang membencinya.
Ya, mirip-mirip Arsene Wenger di Arsenal dulu, lah.
***
Saya ingat dalam beberapa momen menyaksikan laga Persib, terutama rentang waktu 2012 sampai 2014, para pendukung kadang tertawa getir kala Atep dimasukkan. Hal itu terjadi dalam kompetisi apapun, terutama di kompetisi Liga Super Indonesia (dan Liga 1 2017, tentunya).
Ada semacam mosi tidak percaya saat Atep masuk, terutama ketika Persib mengalami kebuntuan, apalagi status laga adalah laga besar. Ia yang banyak gaya kerap dianggap tidak dapat membawa perubahan pada permainan Persib. Gaya rambut sirip hiu jadi olok-olok. Aksi “step-over” yang kerap ia lakukan menjadi bahan ejekan. Tapi, Atep tetap melenggang.
Kontradiksi yang ia hadirkan ini semakin kentara karena dalam beberapa kesempatan, justru ia kerap hadir sebagai pemecah kebuntuan. Tak jarang, gol yang ia cetak adalah gol spektakuler, meski tak jarang juga ia melewatkan peluang yang seharusnya bisa berbuah gol bagi Persib.
Ada tiga momen gol spektakuler Atep yang bisa saya ingat. Pertama, kala Persib bersua Pelita Jaya 2009 silam. Meski gagal membawa Persib menang atas Pelita, Atep mencetak gol spektakuler dari jarak jauh pada menit 26. Gol yang semakin menegaskan bahwa dirinya berusaha untuk meniru Cristiano Ronaldo.
Lalu, gol ke gawang Semen Padang dalam perebutan tempat ketiga Piala Presiden 2017. Ketika itu, saat Persib sulit membobol gawang Semen Padang, Atep keluar sebagai juru selamat lewat tendangan yang ia cetak dari luar kotak penalti pada menit ke-33. Hebatnya lagi, Atep tidak perlu menahan bola lebih dulu kala itu. Ia langsung melepas tembakan dengan kaki kanannya, bahkan saat bola belum menyentuh tanah.
Momen yang paling diingat pendukung Persib tentu hadir pada 2014 silam. Saat itu, babak semifinal Liga Super Indonesia 2014. Persib menghadapi Arema. Atep masuk menggantikan Tantan pada menit ke-76. Laga harus berlanjut ke masa perpanjangan waktu setelah kedua tim bermain imbang 1-1 sampai waktu 2×45 menit usai.
Di babak perpanjangan waktu inilah, Atep keluar sebagai pahlawan. Memanfaatkan umpan datar cantik dari Makan Konate, Atep melepaskan sebuah tendangan terukur yang gagal dihalau kiper Ahmad Kurniawan. Ia mengubah kedudukan menjadi 2-1, sebelum Konate melengkapinya menjadi 3-1.
Momen-momen ciamik di atas mungkin hanya segelintir dari momen-momen luar biasa yang pernah dicatatkan Atep di Persib. Hadirnya momen-momen ini semakin menegaskan bahwa Atep, di balik olok-olok yang kerap menimpa dirinya, juga merupakan sosok yang bisa bersinar ketika dibutuhkan.
***
Sekarang, aksi-aksi kontradiksi Atep ini tidak akan bisa kita lihat lagi di Persib. Kebersamaan mereka usai, seiring dengan keputusan Miljan Radovic yang tidak memasukkan namanya dalam skuat Persib musim 2019. Ada tangis yang muncul di balik wajah Atep saat diwawancarai oleh para wartawan, menunjukkan betapa cintanya Atep pada Persib.
Terbayang memang jika pada 2008 Atep tetap memutuskan berseragam Persija, mungkin kisah ini tidak akan terjadi. Terbayang juga jika Atep tidak mau bertransformasi dan tetap memaksa jadi gelandang serang, mungkin ia tidak akan semenghibur ini. Gurat takdir memang seakan memutuskan bahwa Atep memang harus jadi kontradiksi, di tengah rasa cinta mendalamnya pada Persib.
Ya, Atep adalah Persib. Atep adalah kontradiksi. Ia adalah AT7 yang tidak akan pernah berhenti mempersembahkan yang terbaik untuk Persib.
Terima kasih, Atep!