Aturan Bosman yang Merevolusi Industri Sepakbola

Jean-Marc Bosman merasa masa depannya di RFC Liege tak akan berjalan mulus. Sudah beberapa tahun ia berkompetisi di Liga Belgia tapi tetap tak merasakan adanya kemajuan. Kontraknya akan segera berakhir, dan ada tawaran dari Dunkerque, yang bermain di Prancis.

Bosman sudah setuju untuk pindah. Tinggal kedua klub untuk saling bicara. Akan tetapi, transfer itu tak pernah terjadi. Soalnya, RFC Liege meminta biaya transfer senilai 250 ribu paun. Angka ini kelewat tinggi buat Dunkerque, sehingga mereka membatalkan transfernya.

Setelahnya, Bosman bukan cuma gagal pindah, tapi juga terperangkan di dalam limbo. Gajinya dipotong hingga 75 persen, menjadi hanya 500 paun perbulan. Ia pun dikeluarkan dari tim utama, yang membuat hidupnya tak punya makna: ia tak bisa pergi, tapi tinggal pun tak ada artinya.

Rasa depresi memang sempat melanda Bosman. Di tengah kekalutan itu, ia berusaha berpikir jernih. Caranya adalah dengan mengontak seorang pengacara bernama Jean-Louis Dupont.

Awalnya, Dupont menganggap segala permasalahan ini akan selesai dalam beberapa pekan. Akan tetapi, mereka selalu menghadapi jalan buntu. Orang-orang yang mereka temui selalu memasang wajah tak peduli. Waktu berganti, bahkan tahun demi tahun sudah dilewati. Berbagai upaya untuk mendapatkan pembayaran tak berbuah hasil.

“Pihak berwenang menolak untuk menganggap kami serius,” kata Dupont.

Andai UEFA bisa meramal kalau apa yang dilakukan Bosman dan Dupont akan menghasilkan kekacauan yang besar di bursa transfer, mereka mungkin akan melakukan semacam perjanjian untuk mengatur semuanya. Sayangnya, UEFA terlambat. Pengadilan lebih membela Bosman. Keputusan yang ditetapkan pada tanggal 15 Desember 1995 ini  kelak menjadi sebuah revolusi dalam industri di sepakbola.

Industri sepakbola mungkin tak akan sama bila Aturan Bosman tak ditetapkan. Biaya transfer bisa ditekan lebih kencang, dan tak ada pemain yang pindah ke klub rival, atau pemain yang meninggalkan klub saat klub sedang krisis. Aturan Bosman adalah tonggak dari revolusi itu.

Meskipun demikian, upaya mengubah sistem di bursa transfer sebenarnya sudah dilakukan sejak 1960. Ketika itu, George Eastham sudah mencapai akhir masa kontraknya. Namun, klubnya ketika itu, Newcastle United, tak membiarkannya pergi. Bahkan, sebelum Eastham menandatangani kontrak baru, Newcastle tak akan menggajinya.

Kasus ini sudah mencapai Pengadilan Tinggi di London. Beruntung bagi Eastham, juga dunia sepakbola, karena hakim yang menangani perkara ini adalah Richard Wilberforce. Ia adalah cicit buyut dari orang yang membantu menghapuskan perbudakan di Britania. Wilberforce lantas melakukan satu langkah kecil untuk menghapuskan perbudakan di sepakbola.

Wilberforce memutuskan bahwa pemain yang kontraknya habis kini digaransi mendapatkan kontrak serupa seperti dengan sebelumnya. Namun, kalau mereka ingin pergi, klub baru tetap harus membayar biaya transfer. Hal ini kemudian diterapkan di bursa transfer Eropa selama lebih dari tiga dekade sebelum Aturan Bosman muncul.

Aturan Bosman memindahkan kuasa dari tangan klub ke pemain. Dulu, untuk merekrut pemain yang habis kontrak, klub baru harus mengeluarkan biaya transfer. Kini, siapapun bisa merekrut pemain yang kontraknya tinggal tersisa enam bulan. Apakah ini merugikan buat klub asal? Tidak juga. Mereka bisa merayu sang pemain untuk tetap bertahan. Caranya? yang paling mudah adalah dengan uang. Naikkan gaji pemain, sampai ia merasa percuma untuk pindah.

Aturan Bosman tentu menghadirkan perubahan. Yang paling terlihat signifikan adalah soal gaji. Pada 1994, Chris Sutton menjadi pemain dengan gaji terbesar di Britania ketika Blackburn Rovers menggajinya 10 ribu paun perpekan. Tujuh tahun kemudian, Sol Campbell mendapatkan gaji 100 ribu paun perpekan untuk meninggalkan Tottenham Hotspur.

Aturan boleh pindah setelah kontrak berakhir hanyalah satu dari dua dampak besar yang didapatkan dari Aturan Bosman. Satu aturan lainnya adalah mencabut pembatasan pemain asing di kompetisi Eropa.

Selain itu, Aturan Bosman juga memungkinkan kehadiran super agen seperti Jorge Mendes dan Mino Raiola. Agen pemain pun berevolusi dari yang awalnya hanya mengurusi kontrak, kini menjadi perwakilan dari si pemain itu sendiri. Klub pun harus menghubungi agen untuk membeli pemain, tak seperti dulu di mana hubungannya hanya klub dengan klub.

Dampak negatifnya tentu ada. Klub dengan uang terbatas mau tak mau merelakan pemain terbaik mereka pergi. Seperti kerja kapitalisme, klub kaya akan makin kaya, klub miskin semakin miskin. Kini, klub pun sudah jarang yang dimiliki oleh pengusaha lokal. Karena besarnya pengeluaran serta modal yang harus disertakan, membuat investor dari luar negeri berdatangan.

Pun dengan liga. Saat ini, Premier League menjadi liga yang paling berani mengeluarkan uang untuk pemain. Ini wajar mengingat seluruh tim di Premier League mendapatkan pemasukan dari siaran televisi yang tak begitu jauh jaraknya, sehingga mereka bisa bersaing dengan tim papan atas.

Tentu, tim papan atas mendapatkan uang yang lebih banyak, karena lini pendapatannya yang lebih luas. Bagaimana cara klub papan bawah Premier League menyiasatinya? Mudah. Mereka tinggal membeli pemain bagus dari tim papan tengah La Liga, Serie A, atau beli pemain dari tim papan atas Eredivisie.

Dampaknya adalah kompetisi Eropa yang jadi sulit dimenangi oleh liga dengan pemasukan tak besar. Misalnya, ketika Ajax menjuarai Liga Champions pada 1995. Empat tahun kemudian, para pemain Ajax tersebut sudah tercerai-berai berpindah ke klub lain.

Di kompetisi lokal, yang klub besarnya hanya satu-dua, sudah pasti mereka mendominasi. Misalnya, Rosenborg yang menjuarai Liga Norwegia sebanyak 13 kali secara beruntun. Pun dengan Dinamo Zagreb (16 gelar dari 20 penyelenggaraan) dan Olympiakos (17 dari 19).

Selain itu, para pemain berkualitas pun umumnya hanya berkumpul di klub tertentu. Misalnya, dari 40 pemain top dunia versi FourFourTwo pada 2015, 24 di antaranya bermain untuk Real Madrid, Barcelona, dan Bayern Munich.

Kini, Aturan Bosman merevolusi industri sepakbola, kecuali, Bosmannya sendiri. Keberhasilannya menang di pengadilan tak membuat hidupnya mudah. Ia justru kecanduan alkohol dan depresi yang salah satunya karena ayahnya yang meninggal dalam penyakit alzheimer. Ia pun berpisah dengan istrinya dan kehilangan hak asuh anaknya.

Bosman pun mengeluarkan pernyataan yang ironis: “Aku menang di pengadilan. Tapi akulah yang membayar, dan membayar, dan terus membayarnya.”

Sumber: The Telegraph.