Aubameyang, VAR, dan Risiko yang Harus Dibayarkan

Foto: Evening Standard

Pierre-Emerick Aubameyang kembali menyelamatkan Arsenal. Bertamu ke Old Trafford, the Gunners lebih dulu tertinggal melalui gol Scott McTominay di akhir babak pertama. Namun, Aubameyang sukses menyamakan kedudukan 18 menit setelah babak kedua mulai. Rekor baru pun muncul berkat gol itu.

Aubameyang jadi pemain Arsenal pertama yang berhasil mencatat rataan satu gol per partai dari tujuh laga pertama Premier League sejak Dennis Bergkamp (1997/1998). Sementara Manchester United dan Ole Gunnar Solksjaer merasakan musim terburuk mereka dalam 30 tahun terakhir dengan hanya mengumpulkan sembilan poin dari tujuh laga.

Melihat hal ini, Arsenal tentu lebih diuntungkan dibanding Manchester United. Setidaknya, mereka tidak terkalahkan di enam laga beruntun. Termasuk di Liga Champions melawan Eintracht Frankfurt dan Piala Liga kontra Nottingham Forest.

Namun, hal itu ternyata tak membuat Aubameyang puas. Setelah pertandingan, penyerang asal Gabon itu mengaku sedikit kecewa dengan golnya di Old Trafford karena harus ditinjau Video Assistant Referee (VAR).

“Saya yakin itu onside, tapi kemudian wasit meniup peluitnya. Saya mendengar para penonton di tribun mengatakan gol itu offside. Apapun kondisinya saya pasti akan berusaha mencetak gol sekalipun offside. Beruntung pada akhirnya gol itu tetap bisa dihitung,” buka Aubameyang.

“VAR telah merenggut sedikit rasa bahagia dalam mencetak gol. Ketika mereka melakukan penijauan ke rekaman, itu merupakan perasaan yang aneh. Pasalnya, kita jadi tidak dapat melakukan selebrasi sepenuh hati. Tapi pada akhirnya saya tetap merasa senang,” ungkap mantan penyerang Borussia Dortmund itu.

***

Sejak VAR diperkenalkan di dunia sepakbola, kontroversi memang tak pernah lepas dari teknologi satu ini. Ada yang merasa bahwa VAR merusak drama sepakbola. Pengakuan Aubameyang juga bisa dimasukkan menjadi salah satunya.

Luapan emosi pemain di atas lapangan merupakan salah satu drama yang disajikan sepakbola. Apabila mereka tak dapat melakukannya dengan sepenuh hati, tentu akan terasa aneh.

Akan tetapi, sesuatu yang baru tentu butuh masa adaptasi. Jangankan VAR, peraturan sederhana seperti larangan membuka baju atau penghapusan ‘golden goal’ pun awalnya terasa aneh.

Tapi, seiring berjalannya waktu semua akan terasa normal. Apalagi ketika mulai mengerti dari maksud penerapan peraturan itu. Apalagi terkait VAR. Sebelum teknologi ini diadaptasi di sepakbola, sudah banyak yang meminta tinjauan ulang. Memberi kesempatan kepada manajer atau pelatih kepala untuk memprotes keputusan wasit. Melihat rekaman layaknya olahraga tenis.

Awalnya, Hawk-Eye diaplikasikan di sepakbola. Teknologi itu sudah membantu wasit untuk mengambil keputusan apakah gol benar-benar terjadi atau tidak. Berkat hawk-eye, tak ada lagi yang memiliki nasib seperti Frank Lampard ketika mencetak gol ke gawang Jerman di Piala Dunia 2010. Tak ada lagi ‘ghost goal’ seperti saat Leverkusen bertemu Hoffenheim di 1.Bundesliga 2013/2014.

Namun, hawk-eye saja tidak cukup. Pada dasarnya wasit tetaplah manusia. Mereka dapat melakukan kesalahan. Teknologi akan membantu mereka untuk mengambil keputusan. VAR membantu wasit untuk memantau kembali saat seorang pemain tipis ada di belakang atau depan garis akhir pertahanan lawan.

***

Membantu mereka untuk menentukan pemain mana yang layak mendapatkan kartu kuning atau merah saat melakukan pelanggaran. Jangan sampai ada lagi salah identitas seperti kasus Andre Marriner. VAR memang mengurangi drama dan kontroversi di sepakbola. Tapi itu adalah sesuatu yang harus dilakukan agar setiap pertandingan menjadi lebih adil dari sebelumnya. Sebuah bentuk pencegahan.

Hal seperti ini tidak hanya terjadi di sepakbola. Amerika Serikat dan penerapan Administrasi Keamanan Transportasi (TSA) adalah contoh dari bidang lain. Sebelum banyaknya teror di udara. Sebelum kejadian 11 September 2001, keamanan di bandar udara Amerika Serikat tidak begitu merepotkan. TSA membuat semuanya jadi lebih rumit dan menyebalkan untuk sebagian besar orang.

Banyak juga yang mengatakan bahwa TSA tidak berguna dan hanya buang-buang uang. Namun untuk sementara, setidaknya ada rasa aman yang semu lewat kehadiran mereka. VAR juga demikian. Teknologi tersebut tidak membuat sepakbola kehilangan intrik. Tapi setidaknya ada perasaan bahwa setiap laga berjalan lebih adil dibanding biasanya.

***

FOTO: AS

Penerapan VAR pasti akan selalu memicu kontroversi. Bahkan di Spanyol, produser televisi disebut telah melakukan manipulasi gambar dalam laga Athletic Bilbao kontra Valencia CF pada pekan ke-tujuh La Liga 2019/2020. Dengan bantuan VAR sekalipun, wasit tetap akan jadi pengambil keputusan terakhir.

Hal ini tidak bisa membuat sepakbola lebih aman. Tidak ada yang mengetahui, entah produser televisi memanipulasi gambar, ataupun wasit yang memimpin pertandingan ternyata memiliki kepentingan lain, namun VAR dapat memberi ilusi bahwa laga berjalan lebih adil.

VAR memberikan kesempatan kepada setiap orang yang menyaksikan tayangan tersebut untuk ikut bersuara tentang keputusan wasit. Baik itu pengamat di stadion dan studio telivisi ataupun penonton. Mereka semua mendapat gambar yang sama dengan apa yang dilihat wasit. Saat wasit salah, tekanan yang ia dapat akan lebih besar dari sebelumnya.

Mereka tidak bisa lagi berlaku seperti diktator di atas lapangan. Mendapat tekanan pun memaksa wasit bersikap lebih imparsial lagi di kesempatan lainnya. Pada akhirnya, secara tidak sadar pertandingan akan jadi semakin adil. Mengurangi drama, kehilangan luapan emosi ketika mencetak gol, itu hanyalah risiko yang harus dibayarkan untuk mencapai keadilan tersebut.