Bagaimana Sistem Franchise Bisa Membantu Sepakbola Indonesia

Foto: Skysports

Masalah pengaturan skor dan mafia sepakbola yang tengah menyelimuti Indonesia kian memperburuk citra kulit bundar di tanah air. Saat gaji pemain masih kerap ditunda, dana subsidi terlambat cair, dan kerusuhan suporter terjadi, publik selama ini dibohongi.

Mantan manajer Deltras Sidoarjo, Vigit Waluyo, angkat bicara tentang mafia sepakbola di Indonesia. “Hampir semua orang di PSSI dan PT LIB terlibat dalam pengaturan. Termasuk menentukan siapa juara liga,” akunya kepada Satgas Anti-Mafia.

Ungkapan menyakitkan dan membuka mata. Sesuatu yang selama ini dianggap serius, sampai ada mempertaruhkan nyawa untuk tim kesayangan, ternyata tidak beda dengan gulat profesional.

Hanya satu yang membedakan: Gulat profesional melibatkan sebuah koordinasi antara direksi dengan atlet untuk menjalankan skenario. Sementara di sepakbola, atlet masih serius berlatih, menghadapi pertandingan dengan harapan menang sebelum didatangi oknum atau dicurangi wasit.

Sialnya, hal ini sudah terjadi sejak lama. Mantan punggawa tim nasional Indonesia, Rochy Putiray menceritakan pengalamannya saat masih bermain. “2003, waktu saya main untuk Persijatim ada tawaran 50 juta dari Andi Ahmad, mantan pemain Barito. Dia berikan uang itu dengan syarat tidak cetak gol ke gawang PSM,” kata Rochy kepada Tempo.

“Saya ambil, anggap saja ini uang yang belum dibayarkan PSM ketika main untuk mereka. Saya juga minta maaf ke manajemen [Persijatim] jika nanti tidak mencetak gol. Ternyata saya cetak dua gol dan membuat PSM gagal ke delapan besar,” lanjut dia.

Rochy “mencuri” uang pemberian Andi Ahmad yang disebutnya sebagai runner. Tapi Andi tidak kapok menawari uang ke Rochy. “Dia datang lagi pas musim 2004/2005, kami akan melawan Pelita Krakatau Steel. Sama tawarannya 50 juta, saya bilang ke dia: ‘kamu gak kapok kemarin 50 juta saya ambil?,’ Dia langsung pergi.”

Gaji yang ditunggak menjadi salah satu pemicu tawaran dari mafia diambil perangkat pertandingan. Bernard Ferdinand Burah, juga mengatakan hal serupa. “Kebijakan-kebijakan yang dibuat PSSI itu menjadi pemicu wasit menerima suap. 4-5 laga mereka memimpin pertandingan, belum dibayar,” kata manajer kesebelasan Liga 3, PS Ngada, itu.

Ambisi dan uang menjadi akar masalah sejauh ini. Manajer Persib Bandung, Umuh Muchtar bahkan meminta pengurus PSSI untuk tidak mencari kekayaan lewat sepakbola. “Pengurus itu harus jelas usahanya, mata pencahariannya. Jangan cari uang di PSSI,” ungkap sosok yang kerap disapa Wa Haji Umuh tersebut.

Kasus masih berlanjut, penelusuran dari Satgas Anti-Mafia belum berhenti bahkan baru ada pada tahap awal. Namun, Liga 1 dan 2 dijadwalkan untuk mulai Bulan Mei 2019. Peraturan liga belum jelas, hasilnya beberapa kesebelasan masih ragu memperpanjang atau membeli pemain baru, kesiapan mereka pun berkurang.

Padahal sebelum liga dimulai, mereka harus terlebih dulu lolos verifikasi Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI). Hingga saat ini, BOPI mengatakan hanya ada 10 kesebelasan yang memenuhi syarat. “Sistemnya sudah jelas, jika hanya 10 yang memenuhi syarat itu, ya itu saja,” kata Ketua BOPI Richard Sambera.

Pernyataan itu juga didukung Direktur Operasional PT LIB Tigor Shalom Boboy. “Memang peraturannya lolos verifikasi dan punya lisensi AFC. Jika mau mengikuti syarat BOPI tidak masalah,” akunya.

10 kesebelasan Liga 1 yang sudah memiliki lisensi AFC per 25 Januari 2019 adalah Persib, Persija, Arema FC, PSM, Madura United, Barito Putera, Persipura, Bali United, Bhayangkara FC, dan Borneo FC. Hanya 10 kesebelasan itu saja yang bisa tampil di Liga 1 2019 apabila mengacu ke peraturan.

Selain lisensi AFC, mereka juga harus bersih dari tunggakan gaji ke semua pemain, pelatih, dan ofisial, melunasi pajak, dan memiliki NPWP. Secara garis besar, memiliki finansial yang sehat.

Finansial sehat ini sebenarnya juga dasar bagi mereka untuk mendapatkan lisensi AFC dari PSSI. “Andaikan masalah administrasi dan legalitas terpenuhi pasti diberi lisensi oleh AFC,” kata Joko Driyono, Oktober 2017.

Kekuatan ekonomi sebuah kesebelasan juga membantu pencegahan suap. Setidaknya dari sisi pemain. Seperti yang dikatakan Rochy Putiray, dia mengambil 50 juta dari Andi Ahmad karena PSM Makassar belum membayar gajinya saat ia bermain untuk Juku Eja.

Ketika finansialnya dijamin oleh klub, Rochy menolak. “Saya pernah didatangi waktu main untuk Arseto. Kita akan bertemu Barito yang terancam degradasi. Ditawari uang, tapi saya tolak karena gaji juga lebih besar dari jumlah tersebut,” katanya.

Melihat kekuatan finansial sebagai roda utama kesebelasan yang sehat, mungkin sudah saatnya bagi Indonesia menegok sistem liga di Amerika Serikat.

Foto: Pro Soccer USA.

Mulai Sistem Franchise di Liga 1

Kepastian ekonomi menjadi salah satu alasan mengapa Major League Soccer (MLS) disebut sebagai liga utama Amerika Serikat. Padahal Amerika Serikat punya liga yang lebih tua dari MLS yakni, North America Soccer League (NASL). Namun daya ekonomi MLS lebih tinggi.

Sebelum sebuah klub bisa main di MLS, mereka harus membentuk grup kepemilikan. Grup ini nantinya bertanggung jawab atas gaji pemain, pelatih, ofisial, dan lain-lain. Kemudian, mereka perlu mencari stadion dan mendapatkan persetujuan kota untuk bermain di sana.

Ini adalah alasan mengapa Inter Miami FC milik David Beckham sempat kesulitan meresmikan diri mereka. Grup kepemilikan sudah ada tapi mereka kerap kali gagal mendapat stadion. Stadion juga harus milik klub, bukan daerah.

Terakhir, membayar biaya ekspansi. Biaya ekspasi MLS pada 2017 mencapai 150 juta Dollar atau lebih dari dua triliun Rupiah. Setiap peserta MLS kemudian dilindungi oleh peraturan salary cap atau batas gaji. Peraturan ini membuat kesenjangan antar pemain tidak terlalu jauh dan pengeluaran klub teratur.

Jika Indonesia menerapkan sistem ini, berarti hanya kesebelasan dengan finansial sehat saja yang bisa bermain di Liga 1. Mungkin biaya ekspansi tidak akan sampai dua triliun, tapi bisa disesuaikan dengan hadiah Liga 2.

Ya, satu masalah MLS adalah tidak mengenal promosi dan degradasi. Fokus mereka ada di kesehatan klub sehingga rela membuat pertaruhan liga menjadi minim. Apabila Indonesia menggunakan sistem franchise, juara Liga 2 perlu diberi hadiah yang sesuai dengan biaya ekspansi. Misal biaya ekspansi Liga 1 di angka 1,5 miliar [hadiah PSS Sleman menjuarai Liga 2 2018], berarti biaya ekspansinya sekitar 850 juta. Misalnya.

Dengan begitu tim yang promosi sudah pasti bisa mengikuti Liga 1 pada musim berikutnya dan masih punya dana tambahan untuk klub mereka. Sementara runner-up akan bertading dengan peringkat dua terbawah Liga 1 memperebutkan tempat di divisi tertinggi dengan hadiah 850 juta, pas untuk ekspansi.

Foto: Twitter – PSS Sleman

Memupuk Profesionalisme dari Bawah

Dengan sistem franchise di Liga 1, peserta divisi dua dan tiga Indonesia mulai berpikir ulang untuk membayar prestasi mereka. Percuma mereka membayar wasit atau minta bantuan mafia agar promosi. Kecuali mereka memiliki sumber dana tidak terbatas, tim yang membayar langkahnya ke Liga 1 pasti akan gagal lolos verifikasi.

Pasalnya hadiah uang dari promosi hanya dapat digunakan untuk ekspansi. Sisanya tidak akan seberapa jika melihat pengeluaran kesebelasan Liga 1 saat ini. Menurut data Tempo, Madura United yang merupakan tim papan tengah ke atas dalam dua musim terakhir harus mengeluarkan 1-1,4 miliar Rupiah per bulan untuk gaji pemain.

Apabila ada kesebelasan Liga 2 yang membayar wasit atau membeli tiket ke Liga 1, akan ada masalah finansial dalam tubuh mereka. Gaji pemain Liga 1 pasti lebih tinggi dari divisi dua, dan semua sudah diatur dengan salary cap.

Hadiah promosi hanya untuk ekspansi. Sisanya pihak klub harus mencari sendiri dari sponsor, tiket, dan lain-lain. Mengorbankan uang itu untuk membayar wasit sama saja mengorbankan pemain dan akhirnya gagal di tahap verifikasi.

Kembali ke curahan hati Rocky Putiray saat masih aktif bermain. “Daripada bayar gaji lebih baik berikan uangnya untuk bonus teman-teman,” katanya ke manajer PSPS Pekanbaru.

Dalam beberapa tahun kita harus rela melihat Liga 1 diisi 10 peserta. Mungkin setelah tiga musim, PT LIB dan BOPI bisa melihat berapa biaya operasional tertinggi kesebelasan Liga 1 dan menjadikannya sebagai biaya ekspansi berikutnya.

Jika ada kesebelasan Liga 2 dan 3 yang bisa memenuhinya mereka diizinkan naik ke divisi tertinggi tanpa promosi. Kelamaan, sepakbola Indonesia akan diisi kesebelasan yang sehat. Itu harapannya.

Semua ini tentu hanya ide, skenario, belum tentu diterapkan apalagi mengatasi masalah yang ada. Tapi tidak ada salahnya menuangkan ide. Lagipula, ide ini bisa saja mengatasi satu dari sekian banyak masalah sepakbola Indonesia. Jika tidak bisa membasmi mafia, setidaknya mengatasi masalah gaji.

Sejauh ini, dugaan yang ada tunggakan gaji menjadi pintu mafia kan?