Gelandang Prancis, Tiemoue Bakayoko, membuat Italia ramai. Pemain pinjaman AC Milan dari Chelsea ini awalnya menjadi korban serangan rasial saat pertandingan kontra Lazio di semi-final Coppa Italia. Kemudian dirinya menguji kesabaran nakhoda Rossoneri, Gennaro Gattuso dengan terlambat datang ke latihan.
Menurut laporan Calciomercato, Bakayoko terlambat datang ke latihan karena tersesat dalam perjalanan. Pasalnya gelandang keturunan Pantai Gading itu jarang menggunakan mobil ke pusat latihan Milan. Sementara laporan lainnya mengatakan Bakayoko sudah tidak betah di San Siro setelah menjadi korban rasisme Lazio.
Apapun alasannya, seluruh pemain AC Milan mendapat hukuman dari pihak manajemen karena keterlambatan Bakayoko. Sementara Lazio, terancam hukuman penutupan stadion akibat teriakan-teriakan rasial mereka kepada Bakayoko.
Menurut GOAL, hukuman Stadio Olimpico akan ditutup selama dua pertandingan apabila suporter Lazio tertangkap melakukan hal serupa dalam satu tahun ke depan. Pertandingan antara AC Milan kontra Lazio di Coppa Italia itu berlangsung ricuh. Direktur Olahraga Milan Leonardo Araujo bahkan merasa partai tersebut layak untuk ditunda oleh ofisial.
“Ada seribu alasan untuk menghentikan pertandingan. Tidak perlu menunggu dua atau tiga aksi serupa sebelum melakukan sesuatu. Semua orang bisa mendengar hinaan bedasar ras serta suara menyerupai seekor monyet. Seharunya pertandingan bisa dihentikan, tapi tidak ada tindakan apapun yang dilakukan ofisial,” kata Leonardo ke Gazzetta dello Sport.
Lazio menang 1-0 berkat gol Joaquin Correa pada pertandingan tersebut. Mereka akan bertemu Atalanta di final Coppa Italia 2019. Sementara AC Milan yang tersingkir terpaksa garuk-garuk kepala. Bakayoko tidak nyaman di Italia karena kasus tersebut.
Sebelumnya, Direktur Olahraga AC Milan Paolo Maldini mengaku ingin melihat Bakayoko permanen di San Siro. “Bakayoko telah memperlihatkan karakternya. Awalnya ia tak main bagus di sini. Tapi lama-kelamaan dirinya beradaptasi dengan baik. Kami ingin dirinya tetap berada di Milan secara permanen,” aku Maldini.
Bakayoko sendiri sempat mengatakan bahwa dirinya tertarik bertahan di Milan. “Tentu saja saya ingin bertahan di sini. Namun, saya tidak bisa bicara banyak soal peluang permanen. Saya masih berstatus pemain Chelsea. Jadi kita lihat saja di akhir musim,” akunya.
Chelsea Tidak Terhindar dari Rasisme
Foto: Metro
Namun, karena serangan rasial yang diterimanya saat melawan Lazio, Bakayoko disebut tidak sabar kembali ke Chelsea. Masalahnya, jika Bakayoko ingin kembali ke Chelsea atas dasar rasisme, the Blues mungkin tidak bisa membantu dia.
Chelsea juga memiliki oknum suporter yang rasis di tribun mereka. Saat pertandingan Liga Europa melawan MOL Vidi, terdengar nyanyian anti-semit dari pendukung Chelsea. Bukan diarahkan ke MOL Vidi, melainkan rival sekota mereka, Tottenham Hotspur.
Inggris secara keseluruhan memang sedang dalam masalah rasisme. Tandang ke Spanyol melawan Barcelona di semi-final Liga Champions, suporter the Reds terdengar menghina seorang warga keturunan Asia dengan julukan ‘Mr. Miyagi‘, sosok pelatih di film ‘Karate Kid’ (1984).
Stereotip itu terjadi juga di Inggris. Bedanya jika Bakayoko disebut monyet oleh suporter Lazio, orang Asia di Barcelona itu mendapat julukan ‘Mr. Miyagi’ dari pendukung Liverpool. Keduanya sama-sama rasis.
Bahkan menurut laporan Guardian, serangan-serangan berbau rasial semakin sering terjadi di Inggris. Penyerang Arsenal, Pierre-Emerick Aubameyang dilempari dengan kulit pisang oleh pendukung Tottenham.
Raheem Sterling mendapat serangan berbau rasial di kolom komentar Instagram-nya setelah Manchester City dikalahkan Chelsea 0-2. Hingga Mo Salah mendapat teriakan negatif karena memeluk agama Islam.
Ujaran kebencian di Inggris kabarnya meningkat dalam tiga tahun terakhir. Bahkan menurut laporan Kick It Out, sepanjang musim 2018/2019 ada 80 laporan tindakan kekerasan ini di level grassroot alias akar rumput. Level kompetisi yang diisi pemain-pemain amatir, anak sekolahan, hingga para veteran perang.
Butuh Kesabaran
Foto: CNN
Untuk saat ini, rasisme tidak bisa dihindari. Apalagi jika bertemu dengan Lazio yang punya sejarah ikatan dengan Benito Mussolini, mantan ditaktor fasis yang pernah jadi perdana menteri Italia selama 21 tahun.
Lazio sebagai klub sebenarnya tidak mendukung nilai-nilai tersebut. “Selama 119 tahun kami tidak pernah mendukung dan terus menjauh dari nilai-nilai yang dibawa sebagian suporter. Apa yang mereka lakukan bukanlah cerminan klub dan kami menolak jika ada asumsi bahwa semua suporter Lazio memiliki paham yang sama,” kata pihak klub.
Butuh waktu untuk menghapus nilai-nilai diskrimasi di sepakbola. Sterling sempat memberi ide pengurangan poin untuk setiap kesebelasan yang suporternya melakukan diskriminasi. Tapi itu dianggap tidak efektif oleh kelompok suporter Jerman.
“Masalah rasisme dan antusias sayap kanan di sepakbola Jerman sudah mulai menurun. Bukan selesai, tapi menurun. Masih ada masalah. Namun setidaknya, kordinasi yang kami lakukan di tribun cukup berhasil,” kata Michael Gabriel, kordinator suporter di Frankfurt.
“Pengurangan poin memang hukuman terberat di sepakbola. Tapi itu hanya memberi efek selama 90 menit. Tidak menyelesaikan masalah. Ini adalah masalah sosial yang harus coba diselesaikan secara perlahan, jangka panjang,” ungkap Kepala Suporter Borussia Dortmund Danielsmeyer.