Belajar dari Persib dan Persija, Agar Kekerasan Tak Lagi Dibiasakan

Haringga Sirilia menjadi pemuda kesekian yang wafat hanya karena rivalitas yang melampaui batas. Di media sosial, banyak pihak yang saling mengecam dan menyudutkan. Semua merasa paling benar, dengan tendensi saling menyalahkan.

Padahal, dilihat dari sudut manapun, api permusuhan antara suporter Persib Bandung dengan Persija Jakarta tidak bisa cuma menjadi beban satu pihak, karena semua jelas terlibat. Organisasi suporter jelas salah dengan menyanyikan lagu ajakan untuk saling membunuh, klub juga bisa disalahkan karena suporter lahir sebagai dampak dari adanya klub. Di sisi lain, organisasi sepakbola juga tak bisa lepas tangan, karena di hajatan PSSI-lah, para pemuda ini menemui ajal.

Dimulai dari Viking dan Jakmania

Sebagai pihak yang terlibat langsung dalam gesekan, suporter mestinya menjadi pihak yang paling utama dalam pembenahan. Diperlukan kehadiran organisasi suporter seperti Viking dan Bomber dari Persib serta Jakmania dari Persija, agar pembenahan bisa berjalan hingga tercapai tujuan.

Hal paling utama yang bisa dilakukan organisasi suporter adalah melarang lagu hingga karya ajakan pada aksi yang melanggar hukum. Dalam hal ini, lagu “dibunuh saja” sudah jelas mesti dilarang. Karena selain tak enak didengar, juga tidak ada faedahnya buat tim yang didukung. Ketika dikumandangkan melawan kesebelasan lain, malah jadi terkesan aneh karena si subjek yang dinyanyikan tidak ada di tempat.

Ekses dari aksi-aksi tersebut justru tak bisa diduga. Ketika Persib dan Persija tidak sedang bertanding, tapi tetap ada korban jiwa yang terenggut, tanpa mengenal tempat. Mulai dari jalan raya sampai stasiun kereta. Mereka yang tinggal atau berkomuter di perbatasan menjadi tak lagi merasa aman, karena nyawa mereka yang terancam.

Aksi kekerasan ini membuat suporter Persija tak bisa bertandang ke Bandung dengan terang-terangan, pun sebaliknya. Karena kalau tetap memaksa, nyawa yang menjadi taruhannya. Untuk itu, diperlukan pembenahan dari organisasi suporter untuk mencegah kembali terulangnya suporter yang meregang nyawa karena sepakbola. Salah satunya dengan menabukan kekerasan.

Dengan maksud apapun, kekerasan adalah sesuatu yang bisa diganjar dengan hukuman pidana. Perlu dibiasakan dan disosialisasikan dari organisasi suporter bahwa sentuhan fisik kepada siapapun bisa membuat yang bersangkutan berakhir di penjara.

Untuk organisasi suporter sebesar Viking dan Jakmania, mestinya bisa lebih mudah dalam sosialisasi ke anggota karena memiliki distrik atau korwil resmi yang tercatat dalam kepengurusan. Nantinya, fungsi distrik atau korwil ini yang lebih banyak menyosialisasikan langsung ke anggota. Karena perlu diingat, tidak semua suporter memiliki media sosial dan bijak menggunakannya. Perlu pendekatan manusia-ke-manusia agar sosialisasi berjalan baik.

Lantas bagaimana apabila pelakunya tak punya KTA Viking atau Jakmania? Di sinilah fungsi dari keduanya sebagai organisasi suporter. Para anggotanya mesti bisa menjadi pencegah kekerasan yang dilakukan oleh suporter non-anggota. Para anggota resmi organisasi suporter diharapkan bisa menjadi contoh teladan yang baik bagi para suporter ini. Ketika ada kekerasan, para anggota organisasi suporter dituntut untuk mengedepankan akal sehat, sehingga kekerasan bisa dicegah.

Menata Ulang SOP Kepolisian

Foto: Ligalaga.id/Frasetya Vady Aditya.

Dalam video yang beredar di media sosial, kejadian pengeroyokan tersebut terjadi di luar stadion. Dengan durasi lebih dari 60 detik, sungguh mengejutkan hal tersebut tidak menjadi perhatian aparat kepolisian yang mestinya bisa datang lebih cepat.

Saya belum pernah menyaksikan langsung pertandingan Persib Bandung di Gelora Bandung Lautan Api. Akan tetapi, saya pernah menyaksikannya ketika laga melawan Persija Jakarta di Jalak Harupat, serta Arema Malang di Gelora Bung Karno. Di dua pertandingan tersebut, terlihat polisi berjaga di banyak titik di stadion, utamanya di luar stadion. Sehingga apabila ada ribut-ribut, polisi bisa dengan cepat menengahi atau membubarkan massa. Sayangnya, hal ini sepertinya tidak terjadi dalam kejadian Minggu naas kemarin.

Pihak kepolisian sudah sewajarnya menempatkan anggota mereka di berbagai titik di stadion, agar kejadian serupa bisa dicegah dan tak terulang kembali. Karena setiap detik, ada nyawa yang mestinya bisa diselamatkan.

PSSI Jangan Cuma Belasungkawa

Zen RS dalam akun twitternya menulis kalau sebenarnya tensi antara Bobotoh dan Jakmania mulai mereda sejak wafatnya Alm. Ricko. Diawali dengan kedatangan Ketua Umum Jakmania, Ferry Indra Syarief, ke Bandung, proses cairnya suasana pun terasa di media sosial.

“Saat Ricko tewas, tensi jauh mengendur. Ada momen penting saat BF melabrak suporter Persija di tribun yg dianggap bikin provokasi. Sayang operator liga & PSSI gagal mengawal jadwal match kedua musim lalu. Tensi pelan2 naik krn ketidakpastian jadwal. Perang medsos pun mulai lagi,” tulis Zen RS.

Ada peran yang besar dari PSSI karena mereka yang wafat ini terjadi dalam liga yang mana merupakan buatan PSSI. PSSI harus menjalankan fungsinya sebagai pengelola dan pengawas Liga Indonesia. Jangan cuma hobi memberi denda, denda, dan denda, karena toh uang bisa dicari, dan kesalahan bisa diulangi.

Kekerasan, apalagi di luar stadion, merupakan domain kepolisian. Akan tetapi, PSSI jelas tak bisa cuci tangan. Perlu tindakan nyata di atas lapangan. Seperti saran Zen RS, dengan meniadakan pertandingan Persib vs Persija dengan memberi kedua kesebelasan masing-masing poin 1. PSSI tentu akan rugi karena Persib vs Persija memberikan rating televisi yang amat tinggi, dan bisa menjadi daya tarik sponsor. Namun, kalau setiap pertandingan berakhir dengan korban nyawa, tidaklah lagi penting pertandingan ini digelar.

Bermuara pada Klub

Foto: Ligalaga.id/ Frasetya Vady Aditya

Suporter hadir karena ada klub yang mereka dukung. Salah satu sumber dana klub adalah dari uang suporter yang membeli tiket hingga merchandise. Suporter juga adalah kekuatan klub, karena mereka yang memberi dukungan di lapangan.

Klub sudah semestinya punya ruang diskusi bersama suporter. Karena klub-lah yang akan disanksi PSSI kalau suporternya melanggar aturan. Akan sulit bagi klub dan suporter apabila tak berjalan beriringan. Menjadi penting ketika klub, misalnya, meminta suporter untuk tak menyanyikan lagu kebencian untuk lawan yang bahkan tak ada di stadion. Nyanyikanlah lagu-lagu yang jelas bisa membangkitkan semangat para pemain.

Agar permintaan klub didengar oleh suporter, maka berikan pula yang terbaik buat suporter. Misalnya, di hari pertandingan, hanya mereka yang punya tiket yang bisa masuk stadion. Setiap tiket yang dicetak harus memiliki nomor kursi, agar pemegang tiketnya merasa tidak rugi gara-gara tak bisa masuk stadion.

Saat hal-hal yang disiplin ini sudah dijalankan, maka akan mudah bagi klub untuk menghukum suporter yang melanggar aturan. Di Inggris, lumrah kalau di stadion dipasang puluhan CCTV untuk mengawasi perilaku suporter. Indentitas suporter juga ketahuan dari kursi tempat mereka duduk.

Ini juga bisa mengurangi gerombolan suporter yang tak punya tiket di luar stadion. Di Indonesia, agaknya sudah menjadi kultur yang biasa saat suporter menunggu pintu stadion jebol agar mereka bisa masuk dengan gratis. Sehingga menjadi wajar kalau suporter tak bertiket, tetap datang ke stadion. Diperlukan koordinasi yang luar biasa kompleksnya dengan semua pihak, mulai dari tim pengamanan, penjaga pintu, hingga organisasi suporter, agar konsep ini bisa terlaksana.

Bukan Waktunya Saling Tunjuk

Tentu tidak elok kalau di saat seperti ini kita saling tunjuk siapa pihak yang paling salah, karena kalau mau dirunut, toh sistemnya memang tidak beres. Soal Jakmania yang dilarang ke Bandung, tidak bisa jadi alasan konkret. Karena akan hadir pertanyaan lain: kalau Jakmania ke Bandung kenapa harus takut? Apakah Bandung adalah sarang para pembunuh?

Akan hadir pula pertanyaan yang tak kalah bikin bingung: Kenapa suporter dilarang-larang nonton pertandingan sepakbola? Memangnya, sepakbola Indonesia sedang kritis sampai harus dilarang segala? Kalau sepakbola Indonesia sedang sakit, kenapa masih dilanjutkan?

Kasus pengeroyokan Haringga mestinya menjadi titik balik bagi semua pihak untuk membenahi diri. Karena di media sosial, opini saat ini bergerak begitu liar. Banyak orang yang tak punya konteks, tetapi dengan bebas mengomentari. Tindak kekerasan yang berakibat kematian jelas tak punya pembenaran. Tidak peduli para komentator itu pernah ke stadion dan merasakan bagaimana perubahan individu saat dalam kerumunan, atau bahkan mereka tak tahu sama sekali soal sepakbola. Yang jelas, mereka akan memberikan gambaran negatif dari pihak yang terlibat.

Pada akhirnya opini publik akan mendiskreditkan nama mereka yang terlibat, dalam kasus yang terbaru adalah Persib Bandung, Bobotoh, hingga PSSI. Di era industri sepakbola, nama baik menjadi salah satu perhitungan saat kerja sama dengan sponsor. Bukan tidak mungkin ada sejumlah sponsor yang menarik diri, dan aktivitas finansial klub bisa terganggu karenanya. Untuk itu, pembenahan diri masing-masing akan menjadi solusi yang lebih masuk akal dan amat bisa dilakukan ketimbang mendegradasikan klub, atau sekadar membekukan liga.

Mendegradasikan klub atau membekukan liga akan menjadi solusi sementara. Kekerasan masih akan terjadi saat klub tersebut naik divisi dan kembali bertarung satu sama lain, atau saat liga kembali dicairkan. Sulit membenahi sistem secara instan, karena proses yang diperlukan menuntut waktu yang amat panjang.

Haringga Sirilia adalah pemuda yang kesekian, tapi sudah seharusnya, ia menjadi yang terakhir. Jangan ada lagi korban jiwa hanya karena sepakbola.