Drama itu akhirnya berakhir, dan endingnya seperti yang kita duga. Minggu (21/10) lalu Luis Milla akhirnya tidak lagi menjadi pelatih timnas Indonesia. Mengingat turnamen Piala AFF sudah berjarak hitungan hari, kehilangan Milla tentu menjadi sebuah pukulan telak mengingat banyak yang sudah menyukai gaya kepelatihan dari mantan pemain Real Madrid ini.
Tidak diperpanjangnya kontrak Luis Milla merupakan berita yang cukup mengagetkan. Sebelumnya, Edy Rahmayadi sempat mengatakan kalau Milla akan menerima perpanjangan kontrak dan akan kembali untuk mempersiapkan tim jelang Piala AFF.
“Hari ini (Kamis) Luis Milla datang. Kalau hari ini sudah datang ya berarti sudah deal,” tuturnya seperti dilansir dari CNN Indonesia.
Akan tetapi, Milla tidak kunjung datang. Dalam akun media sosialnya, ia mengucapkan salam perpisahan sembari mengkritik federasi yang ia anggap memiliki kinerja yang buruk.
“Sebuah proyek yang lebih dari satu tahun setengah sudah berjalan harus berakhir, di samping manajemen yang buruk, kerap melanggar kontrak dan rendahnya profesionalisme sang pemimpin, dalam 10 bulan terakhir saya pergi dengan perasaan kalau saya telah melakukan kinerja yang baik,” tuturnya.
Berkaca dari prestasi, Milla sebenarnya gagal. Semua target yang diberikan gagal terealisasi. Timnas tidak lolos Piala Asia U-23 karena hanya menempati peringkat ketiga grup. Selain itu, mereka hanya menjadi runner up di ajang Tsunami Cup, peringkat ketiga Anniversary Cup, dan tersingkir di 16 besar Asian Games.
Satu-satunya prestasi Milla bersama timnas hanyalah medali perunggu Sea Games 2017. Akan tetapi, prestasi itu juga meleset dari target yang menekankan medali emas. Total Milla sudah memimpin tim 34 kali dan hanya membuat 14 kemenangan, sembilan kali seri, dan 11 kalah.
Langkah Baru Bersama Bima Sakti
Kepastian pengganti Milla langsung diumumkan beberapa saat kemudian. Seperti yang diduga, sosok Bima Sakti dipilih sebagai pelatih anyar timnas Indonesia. Mantan pemain PSM Makassar ini akan dibantu oleh beberapa rekannya semasa di tim Primavera seperti Kurniawan Dwi Yulianto dan Kurnia Sandy.
“Kalau saya bisa katakan, Bima Sakti lebih paham tentang cara bermain tim yang dikembangkan oleh Milla. Bima adalah orang yang tepat. Ia juga paham tentang metode latihan dan mengenal para pemain. Komunikasi juga menjadi lebih lancar,” tutur Danurwindo, selaku direktur sepakbola timnas Indonesia.
Apa yang diucapkan Danurwindo memang masuk akal. Di saat Milla tidak ada setelah Asian Games, sosok Bima yang kemudian menjaga komunikasi dengan para pemainnya. Masalah komunikasi juga menjadi lebih lancar mengingat di saat Milla masih melatih, ia belum fasih dalam berbahasa Inggris dan harus dibantu penerjemah.
Selain itu, komposisi pemain dan gaya permainan timnas di bawah Bima Sakti juga tidak berbeda jauh dengan Luis Milla. Hal ini terlihat dari tiga laga uji coba yang sudah dilakukan Bima Sakti menghadapi Mauritius, Myanmar, dan Hongkong. Dua dari tiga pertandingan tersebut bahkan berakhir dengan kemenangan.
“Tim AFF ini background-nya adalah tim yang bermain di Asian Games. Bima terlibat di dalam pemilihan tim saat itu. Setelah tiga kali uji coba, PSSI mengangkat Bima Sakti karena menjalankan tugasnya dengan baik. Bima adalah pelatih muda yang kompetensinya cukup memadai, kualifikasinya juga terpenuhi, dan kita punya keyakinan kalau Bima bisa mengemban tugas berat ini,” ujar Joko Driyono yang dikutip dari Pandit Football.
Tugas Berat Bima Sakti di Piala AFF
Meski begitu, tidak sedikit yang merasa pesimis dengan masuknya nama Bima Sakti sebagai pelatih. Selain persiapan yang minim, pria 42 tahun ini juga tidak memiliki pengalaman banyak di bidang kepelatihan. Sejauh ini, pengalaman yang dimiliki Bima hanyalah menjadi asisten di Persiba Balikpapan dan sempat sekali memimpin tim U-19 asuhan Indra Sjafri. Tentu saja modal ini belum cukup mengingat pada Piala AFF nanti, federasi menargetkan untuk menjadi juara.
Selain itu, turnamen Asia Tenggara tersebut juga tidak begitu ramah dengan para pelatih lokal. Dari 11 kali penyelenggaraan sejak 1996, hanya ada tiga pelatih lokal yang bisa membawa timnya juara.
Thawatchai Sartjakul menjadi orang pertama saat membawa Thailand juara pada 1996. Krishnasamy Rajagobal menjadi orang kedua saat membawa Malaysia juara pada 2010. Kiatisuk Senamuang bahkan dua kali membawa Thailand juara pada 2014 dan 2016. Sisanya berasal dari negara luar Asia Tenggara seperti Inggris, Serbia, dan Portugal.
Tidak hanya itu, timnas Indonesia juga memiliki prestasi yang kurang baik ketika ditangani pelatih lokal. Dari lima kali menjadi runner up, prestasi tertinggi Indonesia di Piala AFF, hanya satu kali yang dipersembahkan oleh pelatih lokal yaitu Nandar Iskandar pada tahun 2000. Saat itu, Indonesia kalah 1-4 dari Thailand.
Selain Nandar, ada empat pelatih lokal lain yang menangani Indonesia di Piala AFF. Danurwindo dan Rusdy Bahalwan gagal di perebutan tempat ketiga dalam dua edisi pertama. Sementara Benny Dollo hanya sanggup membawa Indonesia hingga babak semifinal. Prestasi terburuk ditorehkan oleh Nil Maizar. Mantan pelatih Semen Padang ini gagal membawa Bambang Pamungkas cs keluar dari fase grup pada turnamen 2012.