Real Madrid kembali menunjuk Zinedine Zidane untuk menangani Los Blancos. Menang 4-1 dari Real Valladolid tidak membuat Santiago Solari bisa mempertahankan posisinya sebagai nakhoda Los Blancos. Kekalahan dari Ajax Amsterdam di Liga Champions 2018/2019 menjadi luka yang terlalu dalam bagi Florentino Perez.
Solari masih diberi kesempatan untuk kembali menangani tim muda Real Madrid. Namun, tim senior adalah kekuasaan Zidane. Mantan kapten tim nasional Prancis itupun berjanji akan melakukan perubahan dalam skuad Los Blancos.
“Kami akan melakukan perubahan untuk tahun depan. Meninggalkan Santiago Bernabeu selama sembilan bulan banyak hal yang berbeda. Real Madrid memang butuh perubahan dan kini saya sudah siap untuk kembali,” kata Zidane saat diperkenalkan kembali ke publik.
“Setelah memenangkan segalanya, tim ini perlu suasana baru. Itu pikiran saya saat pergi meninggalkan Real Madrid. Semua demi kebaikan klub dan kini kesegaran yang dibutuhkan sudah terjadi,” lanjutnya.
Zidane sebelumnya sempat dirumorkan untuk menangani kesebelasan lain. Juventus, tim nasional Prancis, ataupun Manchester United, semua dikaitkan dengan Zidane. Tidak ada yang menyangka bahwa dirinya akan kembali ke Real Madrid. Nama Jose Mourinho bahkan lebih difavoritkan untuk menjadi pengganti Solari dibandingkan Zidane.
Akan tetapi, Zidane mengaku rasa cintanya kepada Real Madrid membuat dirinya tak bisa menolak. “Ketika Florentino Perez menelpon dan meminta saya kembali, tidak ada alasan lagi. Saya cinta klub ini dan presiden sudah berbicara,” katanya.
Kini, beban Zidane lebih berat dari sebelumnya. Ia datang dengan reputasi positif. Dirinya bukan lagi sosok yang harus mengancam pergi ke menangani kesebelasan Ligue 1 untuk dapat dipromosikan ke tim senior Real Madrid. Dia adalah juru taktik handal dengan segala kesuksesannya di level tertinggi. Hal yang sama diharapkan bisa terjadi lagi.
Petir Tidak Menyambar Satu Tempat Dua Kali
Foto: Il Romanista
Banyak ungkapan populer yang dapat menghantui Zidane ketika menerima pinangan Real Madrid untuk kedua kalinya. “Petir tak menyambar tempat yang sama dua kali,” jadi salah satu di antaranya.
Ungkapan itu digunakan bukan tanpa sebab. Entah ada atau tidak data yang benar-benar membuktikan bahwa petir tidak pernah menyambar tempat yang sama. Namun dasarnya, ketika seseorang yang sukses di satu tempat, pergi, lalu diminta kembali untuk melakukan hal serupa, mereka biasanya gagal.
Hal ini sudah terbukti dalam karier berbagai manajer ataupun pemain sepakbola. Dari Nils Liedholm di AS Roma hingga Jose Mourinho dan Chelsea bisa jadi contoh. Pemain-pemain seperti Kaka, Andriy Shevchenko, dan Robbie Fowler juga tak merasakan kesuksesan saat kembali membela kesebelasan yang membesarkan nama mereka.
Claudio Ranieri yang kembali ditunjuk AS Roma sebagai pengganti Eusebio Di Francesco bahkan mengaku kesulitan menangani Giallorossi. “Roma sedang bernafas dengan tabung oksigen. Kami membutuhkan semua dokter yang tersedia,” kata Ranieri.
Padahal partai pertamanya sebagai pengganti Di Francesco berakhir dengan kemenangan 2-1 atas Empoli. Namun, dia tetap merasa Roma membutuhkan semua bantuan yang ada. Termasuk dukungan suporter.
Saatnya Regenerasi
Foto: Sport360
Meski banyak manajer yang gagal saat menjalani periode kedua mereka sebagai nakhoda sebuah kesebelasan, beberapa nama juga merasakan kesuksesan. Tony Pulis, Fatih Terim, Jupp Heynckes adalah beberapa sosok yang meraih sukses di percobaan kedua mereka.
Per Maret 2019, Fatih Terim sedang menjalani periode ke-empatnya di Galatasaray. Setelah memberikan sembilan gelar di periode pertamanya, termasuk satu gelar juara Piala UEFA dan empat piala Super Lig, Fatih Terim seperti kartu AS bagi Galatasaray. Dirinya kembali ke Galatasaray pada 2002-2004, 2011-2013, dan terakhir menggantikan Igor Tudor pada 2017.
Predikat yang sama juga bisa diberikan kepada Jupp Heynckes di Bayern Munchen. Pensiun pada akhir musim 2017/2018, Heynckes memberi sembilan gelar untuk Bayern dalam empat periode kepelatihannya. Termasuk satu piala Liga Champions pada 2013.
Setiap nama di atas memiliki gaya yang berbeda soal kepelatihan mereka. Namun ada satu kunci yang mereka rasakan bersama: Regenerasi.
Setelah memenangkan tiga gelar (Piala UEFA, Super Lig, dan Turkiye Kupasi) pada musim 1999/00, Terim perlu vakum tujuh tahun dari Galatasaray agar bisa mengantarkan mereka ke tahta juara. Sementara Heynckes perlu 21 tahun untuk kembali memberikan piala untuk Bayern Munchen.
Waktu yang lama itu dibutuhkan untuk regenerasi. Membuat pemandangan baru di dalam tubuh klub. Saat sebuah kesebelasan sudah memenangkan segalanya dan tetap bertumpu kepada mereka yang telah merasakan kesuksesan itu, mereka mulai kehilangan rasa lapar. Seperti tim nasional Jerman pada Piala Dunia 2018.
Rheinische Post menjabarkan kesebelasan Jerman di Piala Dunia dengan kalimat yang paling menyakitkan. “DFB membawa orang-orang tua yang berharap cara mereka masih diterima, terlepas kondisi sekitar. Mereka nampak arogan dan tidak pas berada di Piala Dunia”.
Hal itu bisa dirasakan Zidane. Tapi, ia sepertinya sudah tahu bahaya tersebut mengancam kariernya. Mungkin itu yang ia janjikan sebagai perubahan. Pada periode pertamanya, dia dikenal sebagai pelatih yang bisa memaksimalkan pemain muda. Jadi regenerasi bukanlah masalah bagi Zidane.
Hidup Dalam Gelembung Real Madrid
Foto: ESPN
Memanfaatkan pemain-pemain muda seperti Dani Ceballos dan Marco Asensio yang sudah ia kenal bisa jadi awal dari perubahan itu. Apalagi kini Los Blancos juga memiliki Vinicius dan Alvaro Odriozola yang penuh potensial. Kesuksesan bisa dicapai Zidane pada periode keduanya. Dia punya modal untuk itu.
Tapi sekalipun sukses, nilai jual Zidane tidak akan mengalami perubahan. Kesukesan itu adalah tuntutan baginya. Beda jika dirinya memilih kesebelasan lain untuk dilatih. Faktor adaptasi masih bisa dijadikan alasan. Kembali menangani Real Madrid, tidak berlaku bagi Zidane.
Nantinya, bukan tidak mungkin Zidane akan dicap sebagai spesialis Real Madrid. Seperti Fatih Terim atau Jupp Heynckes. Terim mengantar tim nasional Turki ke semi-final Piala Eropa 2008, tapi ia tidak memberikan apapun saat menangani AC Milan atau Fiorentina.
Kesuksesan Terim hanya ada di Galatasaray. Heynckes memberikan gelar Liga Champions kepada Real Madrid pada 1998. Tapi karena mengakhiri musim di peringkat empat La Liga, ia didepak dari Bernabeu.
Kesuksesan Heynckes hanya ada di Bayern. Bukan Real Madrid, Schalke, ataupun Borussia Monchengladbach dan Athletic Bilbao yang juga menunjuknya lebih dari satu kali seperti Bayern.
Kasarnya, Zidane bisa menjadi seperti Lionel Messi. Satu alasan yang selalu digunakan penggemar Cristiano Ronaldo saat membandingkan idola mereka dengan Messi; CR7 sukses di mana pun ia berada. Sementara Messi hanya sukses di Barcelona. Hal serupa bisa dirasakan Zidane. Pasalnya, saat ada di puncak, hanya ada dua yang bisa dilakukan:
Pensiun atau mencari tantangan baru. Bukan begitu, Usain Bolt?