Timnas Argentina memulai perjalanan mereka di ajang Copa America 2019 dengan buruk. Hal ini seolah jadi cermin bahwa ada masalah yang belum selesai di tubuh mereka.
Dalam ajang tersebut, Argentina tergabung di Grup B bersama Kolombia, Paraguay, dan Qatar. Sebuah grup yang bisa dibilang sedikit tricky memang. Ada Kolombia dan Paraguay, dua negara yang acap mempersulit Argentina di beberapa ajang multi-negara Amerika Selatan.
Ternyata, kekhawatiran itu jadi nyata bagi tim Tango. Dari dua laga, mereka hanya mampu mengumpulkan 1 poin, hasil sekali kalah dari Kolombia, serta imbang lawan Paraguay. Dari dua laga tersebut, Argentina juga hanya mampu mencetak satu gol, serta kebobolan tiga gol.
Situasi jadi semakin pelik bagi Argentina, karena peluang mereka untuk lolos dari fase grup tidaklah terlalu besar. Bukan cuma mengandalkan hasil dari tim lain di Grup B (ada Kolombia dan Paraguay yang akan saling bertanding), Argentina juga mesti menunggu hasil pertandingan grup lain.
Mengapa seperti itu? Di ajang Copa America 2019 ini, mereka menerapkan sistem peringkat tiga terbaik. Jikapun kelak Argentina tidak lolos dari Grup B sebagai runner-up (posisi juara grup sudah dikunci Kolombia), setidaknya mereka bisa lolos sebagai peringkat tiga terbaik, tentu dengan menunggu hasil dari Grup A dan C.
Melihat situasi seperti ini, tentu publik kembali bertanya-tanya, ada apa dengan Argentina? Apakah masalah mereka di ajang Piala Dunia 2018 belum sepenuhnya sirna?
***
Kepada TYC Sports, legenda sepak bola Argentina, Diego Maradona mengungkapkan jika Albiceleste sekarang ini tidak bermain dengan hasrat. Tak ada semangat yang terlihat dari raut wajah mereka untuk meraih kemenangan. Maradona yang galak itu tak ragu menyebut bahwa tim manapun, sekarang ini, bisa mengalahkan Argentina.
“Anda harus sadar bahwa Tonga, saat ini, bisa menaklukkan Argentina. Padahal, kami memiliki kebanggaan yang dibangun dengan kerja keras. Sekarang, apa yang tersisa dari situ? Apa artinya mengenakan seragam Timnas Argentina? Seharusnya ada kebanggaan di situ,” ujarnya.
Memang komentar dari Maradona ini terkesan berlebihan. Apalagi, Tonga benar-benar negara kecil yang cuma menempati peringkat 202 FIFA. Melakoni laga kompetitif adalah sesuatu yang sulit bagi Tonga, yang tergabung dalam konfederasi OFC (konfederasi sepak bola Oseania).
Tapi, menilik permainan Argentina dalam dua laga Copa America 2019, pernyataan Maradona ini tidaklah salah. Bukan hanya soal semangat yang kurang. Dari segi taktikal ataupun permainan, Argentina seolah tidak memiliki cara yang ampuh untuk membobol gawang lawan.
Pada laga melawan Kolombia, Argentina begitu dominan dengan penguasaan bola mencapai angka 53% berbanding 47%, serta total tembakan yang mencapai angka 13 berbanding 8. Meski begitu, pada akhirnya, justru mereka menderita kekalahan di akhir laga.
Melawan Paraguay, penampilan Argentina justru mengalami penurunan. Meski unggul dari segi penguasaan bola (55% berbanding 45%), mereka justru kalah dari segi tembakan yang dilepaskan (7 berbanding 10). Hasil imbang pun harus mereka dapat di laga ini.
Dari dua pertandingan itu, tercermin bahwa Argentina bermain tanpa skema yang jelas. Dari segi serangan, mereka memang masih mengandalkan sosok Messi sebagai motor. Namun, alih-alih ditopang pemain lain, Messi kadang malah tampak bekerja sendirian.
Pada beberapa kesempatan, Messi acap melakukan dribel ke kotak penalti tanpa dibantu pemain lain yang membuka ruang. Hal ini membuat dirinya mudah dihentikan oleh bek-bek lawan. Tak jarang, tiga sampai empat pemain menghentikan sosok kelahiran Rosario tersebut.
Sebaliknya, kadang ketika serangan dibangun oleh pemain lain, Messi juga jarang turut serta. Hal ini membuat kecairan lini serang Argentina sedikit terganggu. Efeknya, mereka sulit mencetak gol ke gawang lawan. Ditambah lagi, taktik dari Lionel Scaloni sempat mendapat kritikan dari Lautaro Martinez.
Buruknya lini serang Argentina ini diperparah dengan lini pertahanan mereka yang gampang ditembus lawan. Tampak bahwa duet Nicolas Otamendi dan German Pezzella belum mampu saling bersinergi satu sama lain. Akibatnya, jarak tercipta di lini pertahanan sehingga para pemain lawan mampu menembus pertahanan Argentina.
Situasi ini tidak beda jauh dengan yang dialami oleh Argentina di ajang Piala Dunia 2018 silam. Ketika itu, mereka hanya mampu membukukan 3 gol dan kemasukan 5 gol selama fase grup. Di babak 16 besar, meski mampu mencetak 3 gol ke gawang Prancis, mereka kebobolan 4 gol.
Ketika itu, situasi yang mereka alami hampir sama. Di lini serang, tak ada sinergi antara Messi dengan penyerang yang lain. Di lini pertahanan, mereka begitu gampang ditembus lawan karena banyaknya ruang yang tercipta.
Jika ditambah dengan masalah semangat yang diutarakan tadi, maka sama seperti ajang Piala Dunia 2018 silam, masalah Argentina masih sama. Mereka belum bisa tampil, minimal, seperti di ajang Piala Dunia 2014, atau di ajang Copa America 2015 serta 2016. Ketika itu, lini serang mereka begitu cair untuk membongkar pertahanan lawan.
Sialnya, di tiga ajang itu, Argentina kalah di final. Ya, secara semangat, mereka pun acap malah menurun motivasinya ketika berlaga di final. Intinya, masalah Argentina masih belum berubah, sekaligus masih belum teratasi meski kursi kepelatihan terus berganti.
***
Menilik peluang yang ada, walau hanya jadi peringkat tiga terbaik, Argentina masih punya kesempatan lolos ke fase gugur Copa America 2019. Ada laga lawan Qatar yang akan mereka lakoni. Laga yang semestinya tidak terlalu sulit mereka menangi kelak.
Scaloni masih punya waktu untuk sedikit mengubah skema permainan timnya, sekaligus menyuntikkan motivasi bagi pemainnya yang kerap menurun di saat genting. Tapi, jika masalah-masalah ini belum teratasi, jangan heran jika nanti Argentina gagal melaju ke fase gugur.