David Moyes, West Ham, dan Menjadikan Everton Sebagai Arketipe

West Ham kini tengah menjadi ancaman baru bagi lawan-lawannya di Premier League. Di pekan ke-20, klub asal London Timur berhasil merangsek ke posisi 5 besar. Tren positif yang dialami West Ham di awal tahun 2021 tentu tak lepas dari sosok manajer mereka, David Moyes alias The Choosen One.

Tepatnya pada 29 Desember kala West Ham bertandang ke stadion St. Mary’s, adalah perayaan setahunnya David Moyes menjabat posisi manajer. Bukan kali pertama bagi manajer kebangsaan Skotlandia tersebut. Sebelumnya, ia pernah duduk di kursi panas The Hammers. Tepatnya pada November 2017.

Kala itu, sebenarnya pencapaian Moyes tak bisa dibilang buruk. Mendapat tugas untuk mengangkat posisi West Ham yang terancam di zona degradasi usai memecat Slaven Bilic. Di akhir musim itu, Moyes berhasil membawa The Hammers finis di urutan ke-13 klasemen akhir.

Didepaknya Manuel Pellegrini di tengah musim 2019/20 rupanya menjadikan jalan bagi Moyes untuk membuktikan kapasitasnya sebagai manajer ulung. Bermodalkan pengetahuan yang ia dapatkan sebelumnya, Moyes perlahan tapi pasti membuat perubahan-perubahan yang signifikan bagi West Ham.

Nama David Moyes mencuat sebagai salah satu manajer hebat saat dirinya melatih Everton dalam kurun lebih dari satu dekade (2002-2013). Sebelum itu, Moyes hanya dikenal sebagai manajer muda yang berhasil membawa Preston North End promosi ke divisi dua, First Division (sekarang Championship).

Tugasnya untuk membuat Everton menjadi kesebelasan yang stabil tampil di Premier League tercapai. Selama mengabdi di Goodison Park, Moyes berhasil menjadikan Everton sebagai klub yang rajin nimbrung di posisi Top Six. Bahkan bila dihitung sejak musim 2007 hingga 2012, The Toffees selalu finis di atas posisi ke-8 klasemen akhir.

Moyes Dipilih Karena West Ham Perlu Stabilitas

Sejak keikutsertaannya di Premier League pada 1993, West Ham bukanlah kesebelasan yang selalu konsisten. Posisi ke-5 pada klasemen akhir musim 1998/1999 adalah pencapaian tertinggi yang mereka raih. Mereka juga pernah terdegradasi 2 kali (2002/03 dan 2010/11).

Seiring konsistennya keikutsertaan mereka sejak berhasil promosi pada musim 2011/12, West Ham mulai berbenah seara manajemen klub. Langkah mereka untuk”mengakuisisi” stadion Olimpiade di kawasan Stratford menjadi penanda bahwa West Ham ingin lebih berambisi.

Perombakan skuat dan belanja pemain yang lebnih high-profile pun mereka jalankan. Mulai dari memboyong pemain timnas seperti Alex Song, Dimitri Payet, Samir Nasri, Javier Hernandez, Pablo Zabaleta, Angelo Ogbonna, hingga nama-nama besar yang pernah berlaga di timnas Inggris seperti Andy Carroll, Joe Hart, serta Jack Wilshere.

Sayangnya, upaya yang mereka lakukan belum sebanding dengan hasil yang diinginkan. Sejak pindah ke London Stadium pada musim 2016/17, West Ham belum pernah finis diatas posisi ke-10 klasemen akhir.

Penunjukan manajer asing (non-Britania) seperti Slaven Bilic dan Manuel Pelegrini yang dirasa kurang memuaskan, membuat keputusan untuk kembali mempekerjakan manajer Britania seperti David Moyes adalah keputusan tepat. Apalagi, Moyes punya rekam jejak yang baik di Everton yang kala itu notabene memiliki sumber daya terbatas namun selalu stabil di posisi kualifikasi turnamen klub Eropa.

Upaya Moyes Menjadikan Everton Sebagai “Arketipe” Bagi West Ham

Terlepas dari hasil-hasil positif West Ham musim ini, ada kesamaan yang terlihat dari karakter mereka dan Everton kala berada dibawah arahan Moyes. Bila dicermati, West Ham yang mencoba bermain “cantik” dengan operan-operan pendek cepat dibawah Bilic dan Pellegrini mulai berubah menjadi lebih “bercitarasa” Inggris di bawah asuhan Moyes.

Bersama Moyes, West Ham menampilkan permainan bola-bola direct, serangan lewat permainan sayap, serta mengandalkan kelebihan postur dari lini kedua. Pembelian Tomas Soucek di bursa transfer musim panas adalah salah satu pertanda bahwa Moyes menginginkan karakteristiknya di West Ham. Benar saja, gelandang timnas Republik Ceko tersebut bahkan menjadi tumpuan mereka dalam mencetak gol di musim ini.

Rupanya, Soucek-lah yang mendapat “Fellaini Role” dibawah arahan Moyes. Dengan memiliki keungulan stamina serta tinggi badan 192 cm, Soucek kini telah mengemas 8 gol yang menjadikannya top scorer bagi The Hammers musim ini. Manajer Spurs, Jose Mourinho bahkan terang terangan mengakui kalau Soucek adalah “Fellaini” baru bagi Moyes.

Kelebihan postur Soucek di kotak penalti juga didukung oleh kemampuan Declan Rice untuk menjadi penyeimbang di lini tengah. Bahkan, Rice dipanggil memperkuat timnas Three Lions karena dianggap telah memenuhi standar sebagai gelandang bertahan sekaliber Premier League.

Solidnya Declan Rice di lini tengah membuat gelandang bertipe ofensif lain seperti Jarrod Bowen, Pablo Fornals, dan Said Benrahma lebih banyak memberikan tusukan serangan ke zona sepertiga terakhir. Pendekatan taktikal Moyes juga memberikan lisensi untuk memajukan tiga bek telah memberinya bek-bek sayap West Ham seperti Aaron Cresswell untuk coming from behind. Bek kiri tersebut sejauh ini telah menyumbangkan jumlah asis tertinggi bagi West Ham yakni 5 (lima) asis.

Hal ini mengingatkan pada apa yang dilakukan Moyes di Everton dulu: Menekankan pemilihan pemain tepat tanpa harus memiliki profil tinggi. Nama-nama seperti Tim Cahill, Steven Pienaar, Marouane Fellaini, Mikel Arteta, atau Louis Saha adalah bukti bahwa Moyes pandai “menyulap” pemain berlabel murah meriah menjadi bintang di Premier League.

Eksperimen Moyes dengan menaruh Michail Antonio yang sebelumnya berposisi bek sayap pada posisi striker juga membuahkan hasil positif. Kecenderungan Moyes yang menempatkan striker bertipikal pacey dan memiliki postur kuat adalah alasan dibaliknya. Coba tengok bersinarnya striker seperti Louis Saha, Yakubu, atau Andy Johnson di Everton dulu. Sejak dipasang menjadi striker, Antonio kini berhasil mencetak 5 gol serta 1 asis dari 12 penampilannya menjadi striker.

Direkrutnya Jesse “Lingardinho” Lingard dari Manchester United di bursa transfer musim dingin ini pun disinyalir sebagai replikasi Moyes terhadap Tim Cahill di Everton yang kerapkali menjadi mesin gol dari lini kedua. Gelandang berusia 28 tahun itu bahkan langsung mencetak 2 gol di laga debutnya bersama West Ham kontra Aston Villa (4/2).

Dengan demikian, bisa diprediksi juga bahwa West Ham di era Moyes akan mengakhiri pembelian pemain dengan gaji mahal (namun berakhir flop) seperti yang dilakukan West Ham dalam kurun 5 musim terakhir. Untuk pelatih pesialis posisi 6 besar seperti moyes, rasa-rasanya West Ham dan Moyes adalah pasangan yang cocok.