Deifikasi Terhadap Oliver Bierhoff dan Efisiensi Ala Jerman

Sebagai sebuah negara maju, Jerman layaknya contoh bagi negara lain di dunia. Kemajuan mereka di berbagai bidang, seperti teknologi, ekonomi, industri manufaktur, dan tentunya sepakbola selalu menjadi pemimpin.

Ada satu yang menjadi kata kunci ketika kita membahas Jerman: Efisiensi.

Ya, Jerman selelu lekat dengan stereotip masyarakatnya yang efisien. Ternyata, itu bukan sekadar stereotip belaka. Statistik dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) mencatat, bahwa orang-orang Jerman bekerja 256 jam lebih sedikit dari pada orang Inggris (Britania Raya). Kalian sendiri bisa menyimpulkan, mana diantara dua negara tersebut yang ekonominya lebih maju, memiliki masyarakat yang disiplin, dan unggul di bidang industri.

Sebuah kutipan dari Walter Gropius, seorang arsitek legendaris Jerman yang mendirikan Bauhaus sedikitnya mencerminkan apa arti efisiensi bagi orang Jerman: “Tujuan seorang desainer haruslah membuat ‘efek sebesar mungkin dengan cara sesedikit mungkin'”.

Dalam hal sepakbola, tim nasional Jerman adalah tim hebat. Ingat, hebat tidak dieja dengan huruf: C-A-N-T-I-K. Para pemain Jerman tidak pernah dikenal sebagai para penggiring bola yang hebat seperti Ronaldinho, atau para penyerang yang pandai melakukan “drama” di kotak penalti seperti Neymar.

Dan berbicara tentang pemain sepakbola Jerman, apalagi membahas posisi penyerang, di benak saya hanya ada satu nama yang sangat mewakilkan “filosofi” Jerman tentang efisiensi: Oliver Bierhoff.

Orang-orang selalu berbicara tentang kapan sebenarnya Bierhoff mendapat sorotan besar, yaitu saat EURO 1996. Kebetulan saat itu saya masih sangat kecil untuk menonton dan paham sepakbola. Ingatan saya tentang striker yang identik dengan nomor punggung “20” ini baru ada ketika dia bermain di AC Milan kala dilatih Alberto Zaccheroni.

Jaya di Italia, Tak Pernah Bersinar di Bundesliga

Tak banyak yang mengetahui, bahwa tidak seperti striker Jerman pada umumnya yang moncer sejak bermain di liga Jerman, Bierhoff justru bermain cupu. Dari jajaran 10 pemain pemegang rekor pencetak gol terbanyak Die Mannschaft, Bierhoff adalah satu-satunya striker yang tak pernah meraih gelar Torschützen der Bundesliga.

4 tahun pertama karier profesionalnya ia habiskan di 3 klub berbeda: Bayer Uerdingen (kini KFC Uerdingen), Hamburger SV, dan Borussia Mönchengladbach. Selama itu pula, Bierhoff hanya berhasil mencetak 4 gol.

Titik balik karier Bierhoff terjadi di Bundesliga Austria, bersama SV Salzburg (ya, kini berubah menjadi RB Salzburg). Di musim itu (1990/1991), pemain bertinggi badan 191cm ini mencetak 23 gol dari 32 pertandingan.

Karena itulah, bakat Bierhoff terendus tim pemandu bakat kesebelasan Serie-B, Ascoli. 3 musim bermain apik di Serie-B, potensinya berkembang pesat ketika bergabung dengan skuat asuhan Alberto Zaccheroni di Udinese. Kolaborasinya di lini serang bersama striker Brazil, Amoroso dan Tomas Locatelli menjadikan Udinese salah satu giant-killer di Serie-A.

Bergabungnya Mister Zac ke AC Milan turut memboyong dua anak emasnya, Oliver Bierhoff dan Thomas Helveg.

Maestro Gol Sundulan

“He has incredible abilities in the air, he could score always header goals, but he is also very intelligent and charismatic: players like him are always needed in every team” – Berti Vogts

Pujian eks pemain dan pelatih timnas Jerman, Berti Vogts terhadap Bierhoff bukanlah sesuatu yang berlebihan, terutama bila melihat torehan yang berhasil ia capai. Setidaknya, 70 persen dari keseluruhan gol yang berhasil Bierhoff cetak ke gawang lawan berasal dari sundulan kepala.

Rekornya di Serie-A dalam urusan mencetak gol dengan kepala belum terpecahkan sampai saat ini. Di musim debutnya bersama AC Milan yakni musim 1998/1999, Bierhoff mencetak 15 gol header dari total 20 gol! Torehan tersebut juga membuatnya menjadi Capocannoniere sekaligus mengangkat trofi Serie-A. Ia pula satu-satunya Deutsche yang berhasil menjadi pencetak gol terbanyak di Serie-A hinga saat ini.

Salah satu ingatan saya, adalah ketika Bierhoff mencetak gol ke gawang Sampdoria di laga Serie-A dengan cara yang saya sebut “banana header“. Mirip yang dilakukan David Beckham, tapi ini dengan kepala!

Seiring bertambahnya usia dan juga hengkangnya Zaccheroni dari AC Milan, kesempatan yang didapatkan Bierhoff perlahan pudar. Masuknya striker muda berbakat, Andriy Shevchenko serta superstar Filippo Inzaghi yang dibajak dari Juventus, membuat Bierhoff harus tersingkirkan. Ia dipinjamkan ke AS Monaco selama semusim, sebelum akhirnya kembali ke Serie-A bersama Chievo.

Pertandingan terakhir Bierhoff adalah melawan Juventus. La Vecchia Signora diberi pengingat terakhir akan kecemerlangan sang penyerang. Dalam laga yang harusnya terjadi pembantaian sebelum melakukan victory lap, legenda yang pensiun itu melakukan segala daya untuk merusak pesta Juventus.

Layaknya bintang rock tua yang memainkan lagu hit untuk terakhir kalinya, Bierhoff memberikan kursus dalam hal efisiensi menyerang dengan melesakkan hattrick ke lini pertahanan yang dikawal Lilian Thuram, Ciro Ferrara, Mark Iuliano, dan Gianluca Pessotto.  Meskipun Juventus akhirnya menang 4-3, momen itu menjadi milik seorang Bierhoff, yang memberikan pesta perpisahan yang pas untuk karirnya yang indah dan layak dikenang.

***

Oliver Bierhoff dengan segala pencapaian dan warisannya di sepakbola, adalah bukti konkret efisiensi khas Jerman dalam hal mencetak gol. Bierhoff, tak perlu memeragakan permainan yang semenawan para pendahulunya seperti Gerd Müller atau Rudi Völler.

Layaknya pesawat tempur Messerschmitt Bf 109 pada PD II yang pernah menjadi simbol kedigdayaan dan efisiensi Jerman dalam duel udara, atau layaknya mobil-mobil Jerman yang dikenal sangat tangguh dan fungsional namun mendunia. Oliver Bierhoff adalah penyerang terbaik yang pernah “diciptakan” Jerman. Efisien dan “ditakuti” oleh lawan-lawannya.