Disgrace of Gijon, Skandal Sepakbola Gajah di Piala Dunia 1982

Penikmat sepakbola Indonesia mungkin pernah mendengar kisah “sepakbola gajah”. Ini adalah aib besar dalam sejarah sepakbola Tanah Air.

Istilah ini muncul setelah pertandingan Indonesia vs Thailand dalam laga terakhir fase grup Piala Tiger 1998. Kedua tim sudah sama-sama memastikan lolos dan berpeluang jadi juara grup jika menang. Namun, permainan malah berjalan dalam tempo lambat, karena sama-sama enggan menang agar tak bertemu tuan rumah Vietnam pada fase berikutnya.

Jauh sebelumnya, skandal “sepakbola gajah” rupanya juga pernah terjadi di Piala Dunia. Tepatnya pada Piala Dunia 1982 di Spanyol. Aktornya dua negara Eropa. Bedanya, saat itu ada korban yaitu Aljazair.

Semuanya berawal dari kejutan yang dicatatkan Aljazairdi awal turnamen. Aljazair datang ke Spanyol dipimpin sang legenda, Rachid Mekhloufi, sebagai pelatih yang membawa sejumlah pemain muda. Di antaranya Rabah Madjer dan Lakhdar Belloumi.

Tetapi, mereka tetaplah tim antah berantah, hingga diremehkan kontestan lain di Grup 2. Apalagi, harus langsung bertemu dengan juara Eropa, Jerman Barat dalam laga perdana, sebelum menghadapi Austria dan Chile.

“Kami akan mendedikasikan gol ketujuh kami untuk istri kami dan yang kedelapan untuk anjing kami,” kata seorang pemain Jerman Barat sebelum pertandingan pada 16 Juni 1982 tersebut, dikutip dari website resmi CAF.

Mereka pun turun ke lapangan Estadio El Molinon, Gijon, dipimpin oleh Karl-Heinz Rummenigge, yang kemudian turut mencetak satu gol.

Sayangnya, itu jadi satu-satunya gol yang mampu disarangkan Jerman Barat di laga itu. Sementara Aljazair malah tampil mengejutkan dengan membukukan lebih banyak gol. Mereka bahkan unggul lebih dulu melalui gol Rabah Madjer ketika laga baru berjalan sembilan menit. Skor sempat imbang menit ke-67, sebelum Lakhdar Belloumi mencetak golden goal dalam babak perpanjangan waktu.

Peluang Lolos dari Grup

Aljazair akhirnya sukses menundukkan Jerman Barat dengan skor 2-1. Meski harus tunduk 0-2 di tangan Austria pada pertandingan kedua, namun tim berjuluk “Rubah Gurun” itu kembali meraih kemenangan ketika menghadapi Chile pada laga berikutnya. Mereka berhasil unggul tiga gol tanpa balas di babak pertama, sebelum lawan dari Amerika Selatan itu membalas dua gol di babak kedua.

Berkat dua kemenangan itu, Aljazair pun berpeluang lolos ke babak berikutnya. Mereka duduk di posisi dua klasemen Grup 2, dengan empat poin; saat itu satu kemenangan masih dinilai dua poin. Sementara itu, Jerman Barat malah berada di bawah dengan dua poin setelah menang melawan Chile. Sedang pucuk klasemen dikuasai oleh Austria, juga empat poin, dan Chile menjadi juru kunci.

Namun, Jerman Barat masih menyisakan satu pertandingan, menghadapi Austria. Laga ini kembali digelar Estadio El Molinon, Gijon pada 25 Juni 1982, sehari setelah Aljazair menang atas Chile. Rabah Madjer dan kawan-kawan berharap Austria bisa menang atau imbang. Jika tidak, Jerman Barat yang menang dengan tiga gol atau lebih, sehingga posisi mereka akan tetap aman ke babak selanjutnya.

Sementara dua negara bertetangga di wilayah Teutonik itu mengetahui bahwa kemenangan Jerman Barat akan memastikan kedua tim lolos, asalkan Austria tak kalah lebih dari dua gol dalam laga itu. Ternyata Austria memang benar-benar mengalah, dan Jerman Barat menang dengan skor tipis 1-0. Keduanya pun melenggang, sementara Aljazair harus memupus harapan dan pulang lebih cepat.

Persekongkolan di Lapangan

Striker Hamburg SV yang saat itu berusia 31 tahun, Horst Hrubesch, berhasil membawa Jerman Barat unggul cepat, ketika duel baru berjalan sebelas menit. Setelah gol itu, pertandingan tiba-tiba tampak membingungkan. Permainan tak berjalan seperti laga sepakbola yang seharusnya. Kedua tim hanya mengoper bola satu sama lain di lini tengah tanpa usaha merebut bola atau membangun serangan.

Bahkan, Karl-Heinz Rummenigge sempat mengembalikan umpan balik ke garis tengah pada menit ke-52, dilaporkan Guardian. Statistik Opta pun mencatat hanya ada tiga tembakan di babak kedua, tak ada yang tepat sasaran. Operan kedua tim memang di atas 90 persen. Tapi, Jerman Barat melakukan 98 persen operan di wilayah sendiri, sedang 99 persen operan Austria terjadi sebelum garis tengah.

Benar-benar pertandingan yang sangat membosankan. Sepuluh menit terakhir pertandingan pun semakin mengerikan. Di dalam stadion, sejumlah penonton Spanyol berteriak dengan nada kesal, “Fuera, fuera” atau “keluar” dalam bahasa Indonesia. Sementara beberapa fans melambai-lambaikan uang kertas kepada para pemain, menyiratkan bahwa pertandingan itu telah dijual ke Jerman Barat.

Di televisi, penyiar Jerman Barat, Eberhard Stanjek, menolak berkomentar lebih lanjut. “Apa yang terjadi di sini memalukan, dan tak ada hubungannya dengan sepakbola. Anda bisa mengatakan apa yang diinginkan, tapi tidak setiap tujuan membenarkan segala cara,” ucapnya kala itu.

Sementara komentator dari Austria, Robert Seeger meminta para penonton segera mematikan televisi mereka.

Kemenangan Jerman Barat atas Austria dengan skor tipis 1-0 akhirnya mengantarkan mereka naik ke puncak klasemen Grup 2, diikuti sang lawan di bawahnya. Aljazair sendiri turun ke posisi tiga. Meski sama-sama mengoleksi empat poin, mereka harus rela tersingkir dan pulang lebih dulu karena kalah selisih gol. Pada akhirnya, Jerman Barat terus melaju ke final, namun malah kalah di tangan Italia.

Setelahnya, federasi sepakbola Aljazair mengajukan protes resmi ke FIFA. FIFA memang merevisi sistem pertandingan dalam penyisihan grup di Piala Dunia berikutnya. Tetapi, itu tentu saja tidak mengubah keadaan bagi Aljazair, karena mereka telah dikalahkan dengan cara sangat menyedihkan. Aib besar itu di kemudian hari dikenal dengan Nichtangriffspakt von Gijon atau Disgrace of Gijon.

Sumber: CAF Online, The Guardian (1), (2), Bleacher Report, Wikipedia