“Kejuaraan ini benar-benar keajaiban! Tentu saja, kerja, konsentrasi, ketekunan, dan faktor lainnya adalah bagian darinya…”
Adalah ungkapan kebahagiaan Thomas Schaaf saat berhasil membawa tim kebanggaannya, Werder Bremen menjuarai titel Bundesliga musim 2003/2004.
Cerita keberhasilan Schaaf dan Werder Bremen layaknya cerita dalam buku dongeng. Bagaimana tidak, di seumur hidupnya, Schaaf hanya mengabdi pada satu klub: Werder Bremen. Dimulai dari masuk tim akademi Werder pada usia 11 tahun, hingga gantung sepatu pada usia ke-34.
Para penikmat sepakbola yang tumbuh besar di era 2000-an awal, Werder Bremen punya memori tersendiri. Werder kala itu tak diperhitungkan menjadi juara, rupanya tak hanya berhasil menjuarai Bundesliga, namun juga berhasil menjuarai turnamen DFB-Pokal alias membuat “Si Hijau Putih” meraih gelar double.
Gelar juara kedua bagi mereka juga terasa sangat heroik tatkala mereka berhasil mengalahkan pesaing terdekat mereka kala itu, Bayern Muenchen, di Olympiastadion, kandang mereka saat itu. Padahal, 12 bulan sebelumnya, Werder tertinggal 23 poin dari Bayern di klasemen Bundesliga 2002/2003.
Ailton: Si “Pemalas” yang Mendadak Trengginas
Lupakan stereotipe striker Brazil yang lincah, atletis, dan lihai menggocek bola. Ailton adalah definisi bahwa bekerja haruslah cerdas. Karena berat badannya yang bisa dibilang tambun, namun cepat dan kuat berduel saat berada di kotak penalti, Ailton dijuluki “Kugelblitz” (Si Bola Petir) oleh media Jerman kala itu.
Pada mula kedatangannya ke Weserstadion dari kesebelasan Meksiko, Tigres, pada bursa transfer musim panas 1998, Ailton harus bersaing ketat dengan bintang Bremen, Marco Bode dan Claudio Pizzaro. Bahkan di musim debutnya, striker bertubuh gempal ini cuma berhasil mencetak 2 gol dalam semusim.
Kepergian Pizzaro ke kesebelasan rival, Bayern, serta menurunnya performa Bode yang memasuki usia senja rupanya membuka jalan bagi Ailton untuk membuktikan potensi. Bersama kompatriotnya di lini depan, Ivan Klasnic, Kugelblitz mampu menjadi tumpuan di lini depan Werder Bremen. Sejak itu, sebanyak 3 musim berturut Ailton menjadi pencetak gol terbanyak bagi Die Grün-Weißen.
Performa apik Aílton Gonçalves da Silva menjadi salah satu kunci penting dibalik keberhasilan Werder menjuarai titel Bundesliga. Selain moncernya Ailton-Klasnic, kehadiran striker timnas Yunani, Angelos Charisteas kerapkali menjadi senjata rahasia untuk meneror lini pertahanan lawan.
Lini Tengah Mumpuni Meski Tidak Mentereng
Sekilas tak ada nama mentereng yang menghiasi skuat Werder musim 2003/2004. Saat itu Schaaf mempercayakan lini tengahnya dengan gabungan nama-nama berpengalaman dan muda. Salah satu yang menjadi pemain kunci mereka kala itu adalah gelandang tim nasional Les Blues, Johan Micoud.
Micoud menjadi dirigen di lini tengah Bremen, plus andalan bagi Schaaf untuk mencetak gol dari lini kedua. Micoud yang direkrut dari AC Parma, ternyata sukses beradaptasi di Bundesliga dan menemukan performa terbaiknya.
Kestabilan lini tengah Werder kala itu ditopang oleh Tim Borowski. Performa ciamik gelandang Jerman berdarah Polandia itu bahkan membuatnya dipanggil oleh pelatih timnas Jerman saat itu, Rudi Völler.
Perayaaan Sempurna di Kandang Bayern
Musim yang menakjubkan itu memang benar-benar terjadi pada Werder Bremen. Tak hanya menjadi kampiun Bundesliga, semuanya menjadi terasa sempurna berkat satu hal: Memastikan trofi di Olympiastadion, markas Die Rotten.
Pekan ke 31, Werder hanya perlu 3 poin untuk memastikan gelar juara. Bayern yang saat itu ada di peringkat kedua, perlu mengejar ketertinggalan poin di klasemen akibat kalah memalukan 0-2 dari Borussia Dortmund pada pekan ke-29. Bremen sendiri sedang on-fire karena tampil tak terkalahkan di 22 pertandingan terakhirnya.
Bisa dibilang, laga Werder kontra Bayern kala itu tak ubahnya laga “final” perebutan trofi Bundesliga 2003/2004. Werder dengan 71 poin hanya perlu memastikan titel, sementara Bayern dengan 65 poin, memiliki sisa 3 laga berpeluang menyalip Werder jika mampu menyapu bersih kemenangan hingga akhir musim.
Sang juara bertahan Bayern, tentu tak mau kandangnya menjadi tempat perayaan juara. Bayern juga tak mau kegagalannya di ajang Liga Champions menjadikan musim itu nirgelar.
Kehebatan skuat Werder Bremen 2003/2004 terbukti pada laga panas ini. Tiket pertandingan Bayern Vs. Werder ludes terjual. Sebanyak 65 ribu penonton ingin menjadi saksi sejarah, apalagi dengan masih terbuka peluang bagi Werder memenangkan gelar double Bundesliga dan DFB-pokal.
Di babak pertama, kubu Bayern terlihat tampil tertekan secara psikologis. Pada menit ke-19, kesalahan individual dari Oliver Kahn mampu dimanfaatkan Ivan Klasnic. Tujuh menit berselang, lagi-lagi Kahn hanya mampu terdiam sambil melihat sepakan lob dari Johan Micoud. Di menit ke-35, tuan rumah harus terdiam karena Ailton memperlebar keunggulan 3-0. Kali ini bomber asal Brazil mencetak gol spektakuler dari luar kotak penalti. Sementara Bayern hanya mampu mencetak 1 gol “penghibur” pada menit ke-56 lewat sepakan Roy Makaay.
Perayaan dari pendukung Bremen dilakukan di dalam hingga luar stadion. Mereka bahkan menonton melalui layar besar di luar Olympiastadion hingga pub-pub di Muenchen. Replika Salatschüssel diangkat tinggi-tinggi di udara oleh para pendukung. Tentu saja para pemain Werder yang tak sabar mengangkat mangkuk juara khas Bundesliga tersebut, ikut pula melakukan selebrasi sambil mengangkat “piring salad juara” di kandang Bayern.
Teriakan “König Thomas!” (Jerman: Raja) diteriakkan untuk memuji sang pelatih, Thomas Scaaf. Bahkan euforia kemenangan terjadi di bandara Bremen, sampai-sampai Schaaf mengeluarkan badannya dari rooftop cockpit pesawat dan mengibarkan bendera Werder Bremen sambil memegang kamera untuk merekam atmosfer juara.
Tujuh hari kemudian, Werder dibantai 2-6 oleh Bayer Leverkusen. Dan di laga pamungkas musim itu, Werder takluk dari Hansa Rostock 1-3. Namun Werder Bremen sepertinya tak peduli, karena 7 hari kemudian, mereka memastikan gelar double dengan memenangkan DFB-pokal mereka yang kelima kali.