“Ya, tentu saja saya masih layak memimpin timnas Indonesia. Suporter selalu memiliki opini mereka sendiri tapi tidak mewakili 250 juta masyarakat yang ada. Ini sepakbola, memang seperti ini, dan itu tidak mengejutkan,” tutur Simon McMenemy kepada awak media selepas memimpin timnas Indonesia bertanding melawan Thailand.
Bukan tanpa sebab Simon berbicara seperti itu. Hal itu ia lakukan semata-mata demi mempertahankan posisinya yang sedang terpojok akibat kekalahan 0-3 timnas melawan Thailand Selasa (10/9) September lalu. Hasil yang kemudian memicu teriakan “Simon Out” dari segelintir suporter yang datang. Teriakan yang bisa didengar jelas bahkan oleh para penonton yang menyaksikan laga lewat layar kaca mengingat kondisi stadion yang sepi karena minimnya minat dan atensi penonton.
Ada beberapa momen lain yang tertangkap atau terdengar oleh kamera televisi. Yang paling mencuri perhatian adalah ketika sorakan “booo” selalu muncul setiap para penggawa timnas memegang bola. Mustahil rasanya jika sorakan tersebut datang dari para pendukung Thailand yang hadir memadati satu sektor di stadion GBK. Kejadian ini kemudian dipertegas oleh beberapa pendukung timnas yang hadir menyaksikan langsung pertandingan.
Penjaga gawang, Andritany Ardhiyasa menjadi pemain yang disoraki paling keras. Hal ini tidak lepas dari kesalahannya yang dianggap menjadi penyebab Indonesia dua kali takluk di kandang dari dua pertandingan yang sudah dijalani.
Pada pertandingan melawan Malaysia, penjaga gawang Persija Jakarta ini dianggap melakukan kesalahan untuk proses gol kedua dan ketiga. Ia dianggap tidak memiliki keberanian untuk memotong dua umpan silang yang menjadi gol bagi Harimau Malaya. Pada laga melawan Thailand, aksinya yang menjatuhkan salah satu pemain Thailand di kotak penalti menyebabkan ia menjadi sasaran kekecewaan para penonton yang hadir.
“Kiper adalah posisi tersulit dalam sepakbola. Dia bisa membuat 4-5 penyelamatan, tapi satu kesalahan saja bisa berbuah gol. Kiper adalah posisi yang di ujung tanduk. Kadang dia pahlawan, tapi kadang dia dicaci. Saya rasa dia dan para pemain lain tidak layak untuk disoraki. Para pemain sudah berjuang, dan mereka sudah berjuang dengan sangat bagus,” tuturnya.
Dua Sisi Sorakan untuk Timnas
Sekilas, apa yang dilakukan suporter tim nasional memang sangat mengecewakan. Dalam laga tersebut, mereka tidak hanya menyoraki para pemainnya sendiri, mereka juga disebut-sebut justru memberi dukungan kepada timnas Thailand untuk mencetak gol lebih banyak lagi ke gawang mereka. Ironis memang, mengingat dalam situasi seperti inilah para pemain timnas butuh dukungan dari para pendukungnya.
Meski begitu, kita juga sulit untuk menyalahkan mereka yang menyoraki pemain timnas dengan anggapan mereka tidak loyal atau hanya ingin mendukung timnas pada saat menang saja. Mereka semua adalah suporter yang memiliki hak untuk bersuara dan menyampaikan keluh kesahnya terhadap sepakbola, olahraga yang begitu digilai masyarakatnya ini. Lagipula, seorang Cristiano Ronaldo saja sudah sering memakan cacian dari pendukungnya sendiri.
Saya mencoba untuk memaklumi apa yang mereka rasakan ketika menyaksikan timnas yang bermain 90 menit terlihat kesulitan untuk menguasai pertandingan. Setiap kali memegang bola, build-up pemain kita selalu diakhiri dengan long ball. Hal ini yang membuat serangan menjadi tidak efektif. Setelah kebobolan oleh Supachok Sarachat, permainan kemudian menjadi amburadul setelah pada babak pertama mereka sebenarnya tampil cukup baik.
Selain itu, saya cenderung melihat aksi sorakan yang dilepaskan pendukung ini sebagai kulminasi atau tingkat tertinggi dari rasa kecewa suporter timnas yang haus akan prestasi. Selama enam tahun terakhir, prestasi justru lebih banyak diberikan oleh timnas junior. Piala AFF U-19, U-16, dan U-22 menjadi gelar yang diraih. Di sisi lain, timnas senior masih terlena dengan medali emas Sea Games 1991 atau Piala Kemerdekaan 2008 yang diwarnai aksi WO Libya di pertandingan final.
Babak kualifikasi Piala Dunia 2022 seharusnya bisa menjadi momen titik balik bagi timnas senior untuk bangkit setelah gagal total di Piala AFF 2018 lalu. Selain itu, kita juga diuntungkan dengan tiga lawan kita yang sama-sama berasal dari Asia Tenggara yaitu Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Laga ini juga berguna untuk meningkatkan rangking kita di FIFA mengingat ini adalah kualifikasi untuk ajang tertinggi. Akan tetapi, timnas justru sudah menderita dua kekalahan dan keduanya didapat di kandang sendiri, lokasi yang seharusnya bisa menjadi tempat timnas mendulang poin penuh.
Turunkan Ekspektasi, Level Kita Masih ASEAN
Dalam akun Twitter pribadinya, Justinus Lhaksana mengeluarkan komentar yang sedikit nyelekit bagi para pendukung timnas. Pria yang saat ini menjabat sebagai Direktur Teknik timnas Futsal Indonesia ini menulis kalau timnas sepakbola Indonesia itu seperti semut yang digajahkan. Ucapan ini berarti kalau timnas kita itu masih kerdil namun kerap dianggap raksasa.
Sulit dibantah memang karena kenyataannya timnas Indonesia memang cukup kerdil di level Asia bahkan Asean. Juara Piala AFF saja belum pernah. Meraih medali emas Sea Games pun selalu kesulitan. Ikut Piala Asia dengan jalur non tuan rumah pun kita sudah tiga kali gagal secara beruntun. Lalu, kita diminta untuk berbicara masuk ke (setidaknya) kualifikasi tiga Piala Dunia dan bergumul dengan kesebelasan elit macam Jepang, Korea Selatan, dan Australia.
Jika menghilangkan ekspektasi nampak sulit dilakukan, maka menurunkan ekspektasi bisa menjadi solusi. Dengan lower expectation, kita tidak sakit hati hingga menyoraki pemain timnas seperti Selasa kemarin jika hasil yang didapat tidak sesuai dengan harapan kita. Jika harapan dipasang terlalu tinggi, maka Anda akan rentan kecewa jika hal tersebut tidak bisa diraih. Lagipula, Simon sendiri sudah meminta para suporter untuk menurunkan ekspektasinya bahkan sebelum laga melawan Thailand.
“Thailand datang dengan dua pemain yang bermain di Liga Jepang. Tim mereka diisi pemain bagus. Setelah kalah dari Malaysia, suporter tentu punya ekspektasi untuk menang melawan Thailand. Ekspektasi seharusnya disesuaikan dengan realita yang ada. Suporter punya pendapat, tidak masalah. Saya di sini melatih timnas, dan ada ratusan ribu kepala yang pendapatnya tidak mungkin sama dengan saya,” tuturnya.
Banyak yang sudah mulai untuk menurunkan ekspektasinya. Rekan penulis, Zakky BM menyebut kalau sebaiknya sisa laga tim nasional ini digunakan untuk fokus membentuk tim menyambut Sea Games 2019 atau memperkuat tim pada Piala AFF 2020 nanti. Kedua ajang ini adalah target yang paling realistis untuk diraih tim nasional.
Tidak Bijak Mengganti Simon
Imbas dari dua kekalahan timnas, posisi Simon McMenemy dikabarkan sudah dipantau oleh PSSI. Dikutip dari Liputan 6, evaluasi nampaknya akan dilakukan kepada juru racik asal Skotlandia tersebut ketika mereka akan melakukan Rapat Exco dalam waktu dekat.
“Menunggu laporan dari McMenemy dulu. Nanti Danurwindo (Direktur Teknik PSSI) juga akan melapor kepada Exco PSSI. Teriakan Simon Out akan saya bawa ke rapat Exco. Silakan Exco menentukan ke depan seperti apa,” tutur Pelaksana Tugas (Plt) PSSI, Gusti Randa.
Namun mengganti Simon hanya karena dua laga sebenarnya tidak bijak untuk dilakukan. Selain Simon masih baru menangani timnas, pelatih baru pun juga akan kesulitan jika harus menghadapi problema sepakbola kita yang sangat rumit.
Simon mengeluhkan padatnya jadwal yang diterima para pemain di level klub. Hal ini jelas berhubungan langsung dengan kompetisi Liga 1 di mana para pemain kerap bermain tiga kali hanya dalam tempo satu pekan. Inilah yang membuat stamina pemain sudah habis ketika datang melakukan pemusatan latihan.
Hal ini yang membedakan pemain timnas dengan pemain di belahan Eropa yang jadwalnya juga tidak kalah padat. Namun perlu diingat, intensitas mereka bermain tiga kali dalam sepekan tidak sebanyak yang dilakukan di Indonesia. Selain itu, beberapa faktor lain juga memberikan pengaruh seperti gizi para pemain yang kerap tidak terkontrol ketika mereka kembali ke klubnya masing-masing.
Persoalan jadwal dan gizi adalah sebagian kecil dari permasalahan sepakbola Indonesia yang begitu dalam untuk diungkit. Yang paling utama sudah pasti pembinaan dan penyediaan infrastruktur yang masih minim. Begitu juga munculnya para pelatih berlisensi pro yang masih bisa dihitung jari.
Kalau hal-hal seperti ini tidak bisa diselesaikan, maka mengganti Simon jelas bukan pilihan yang bijak. Mau Pep Guardiola sekalipun, jika sistem sepakbola Indonesia belum berjalan dengan benar maka meraih prestasi hanya akan menjadi angan-angan belaka. Karena yang salah adalah sistemnya, bukan individunya.